1
Bakar saja!"

"Bakar saja rumah mereka, ayo!"

Seruan itu menggema memenuhi langit yang hendak tergelincir gelap.

Puluhan obor menyala terang, menerangi halaman rumah panggung kami di pinggir hutan, tepat di kaki bukit barisan

Aku yang tertidur karena kelelahan bermain pun terbangun karena terkejut. Lalu melihat,
dua pasang mata saling bersitatap, bertanya-tanya. Apa yang sedang terjadi di luar?

Bapak yang hendak beringsut pergi pun di tahan mamak. Mereka memutuskan mengintip dari celah-celah dinding. Aku yang terbangun pun ikut mengintip.

Terdengar kembali seruan ancaman dan penuh kemarahan. Suara itu seolah hendak merubuhkan rumah pondok kami.

Aku pun beringsut ketakutan memeluk mamak. Mamak yang menyadari aku bangun segera mendekapku.

"Mereka lah penyebab hilangnya para gadis di desa ini. Mereka menumbalkan para gadis untuk para puyang. Agar mereka bisa mendapatkan kesaktian mandraguna!"

Laki-laki yang sekilas seperti tuan besar itu berteriak lantang. Tampaknya, ia yang memimpin kelompok itu. Ia kembali berseru, membakar amarah warga.

"Kita usir saja mereka!"

"Tidak, bakar dan habisin saja mereka!"

Teriak yang lain membuat suasana begitu memanas.

Terlihat wajah bapak dan mamak menahan gemuruh hatinya. Terutama mamak, mulai menggeram marah. Baru kali ini aku melihat mamak semarah itu.

Namun tangan bapak menyentuh bahu mamak dengan lembut lalu berisyarat.

"Biarkan, aku menemui mereka. Bawalah putri kita ke tempat yang aman, Ningmas."

Bapak mengusap lembut kepalaku dengan penuh kasih sayang.

"Anak baik, patuh sama mamak ya," ucapnya sambil tersenyum. Aku tidak tahu kalau itu adalah senyum terakhirnya. 

Lalu bapak membisikkan sesuatu ke telinga mamak. Kemudian cepat-cepat melangkah pergi meninggalkan kami.

Sebelum sempat mamak mencegah, bapak sudah pergi untuk menemui warga.

Laki-laki kesayanganku itu terlihat buru-buru menuruni anak tangga. Aku dan mamak beralih ke dinding lain untuk melihat apa yang bapak lakukan.

Kedatangannya di sambut warga yang berkerumun dengan tatapan marah.

Kilatan mata mereka membara sesaat mengamati bapak turun dari rumah

Setibanya bapak, cepat-cepat salah satu dari warga itu meraih kerah bapak.

"Katakan sebenarnya kepada kami! Kalau kau pembunuh para gadis di desa ini. Tadi sore, kami menemukan mayat gadis itu. tepat di aliran sungai tak jauh dari rumahmu!"

"I-itu tidak benar tuan. Seperti yang kita ketahui, air sungai ini mengalir. Ia membawa apa saja di alirannya lalu melewati rumah kami."

"Bohong, dia pembohong! Bakar saja beserta rumahnya!"

Melihat kemarahan warga seperti itu, bapak tanpa gentar memohon kebaikan hati mereka. Bapak masih berharap ada yang berbaik hati menolak fitnah keji itu.

Namun tampaknya tak berhasil, bapak kemudian berlutut. Berharap warga yang berkumpul di depan rumah mengurungkan niat.

Tampaknya bapak hendak mengulur waktu, memberi kesempatan untuk kami berdua. Agar segera mencari tempat berlindung.

Aku yang hendak berteriak pun di bekap mamak. Lalu setengah memaksa, menarikku untuk segera keluar dari pintu belakang. 

"Dengarkan mamak, Nim. Kita keluar dari sini tanpa suara, berjanjilah," bisik mamak pelan, aku pun menganggukkan kepala.

Kami pun mengendap pelan agar tidak ketahuan.

Aku masih sempat melihat bapak yang masih berlutut. Namun, semuanya tidak sesuai harapan.

Di saat Bapak mencoba membuat warga untuk berubah pikiran. Teriakan mereka semakin mengudara, aku menatap ngeri.

"Habisi saja dia! Kalau ingin dusun kita aman!"

Mendengar itu, sesaat hatiku memberontak, aku hendak menuju ke tempat bapak. Bagaimana pun juga, walau aku anak perempuan aku anak yang pemberani. Meski harus menghadapi orang dewasa sekali pun.

Tetapi mamak menarikku paksa sambil menyusutkan air matanya menggunakan ujung bajunya.

Mamak membawaku pergi menjauh dari pondok. Langkah kaki kami terburu-buru menuju semak padang ilalang di balik kebun nanas. 

Mengabaikan tajamnya daun nanas dan ranting berduri yang kami lewati. Rasa perih karena goresan ranting maupun duri tak lagi di rasa demi menyelamatkan diri.

Mamak terus memegang tanganku dengan erat. Tangannya menuntunku dengan setengah menarik. Langkah kakinya terburu-buru, aku berusaha menjajari.

Setibanya di tempat yang dianggap aman, mamak pun berhenti. Terdengar nafasnya memburu karena kelelahan. Raut khawatir dari wajahnya menyemburat di sela-sela bulan purnama.

Ketika mamak hendak pergi, aku menarik bajunya sambil melihat kiri-kanan. Pancaran rasa takut menyemburat di mataku.

Mamak pun berbalik lalu memegang tanganku sambil berjongkok.

"Berjanjilah pada mamak Nim, kau tetap di sini. Apa pun yang terjadi." Mamak mendekapku erat lalu meninggalkanku begitu saja.

Sesaat aku hendak mengejarnya karena tidak ingin sendirian di tempat ini. Tiba-tiba ada sesuatu yang menahanku begitu kuat, tubuhku tak bisa digerakkan

Kupaksa sekuat mungkin, tetap saja tidak berhasil. Aku pun mencoba berteriak memanggil mamak. Tetapi ...

Deg!

Aku memegang leher lalu merabanya dengan cepat. Ada apa denganku? Mengapa suaraku mendadak hilang?

Sesaat kesiur angin dingin menerpa tengkuk. Tubuhku mulai menggigil menahan dingin. Di tambah dengan rasa takut dengan gelapnya malam. Selain itu, aku juga takut dengan ular. 

Air mataku jatuh dengan derasnya. Aku tidak tahu apa yang mamak lakukan padaku. Mungkin mamak ingin melindungiku dari bahaya, kemarahan warga yang membabi buta.

Kini, aku hanya bisa menangis tanpa suara di padang ilalang ini. Kukuatkan hati sambil menunggu mamak dan bapak datang menjemputku.

Aku menatap sekitar, suasana di sini gelap dan sepi. Kuputuskan untuk duduk sambil memeluk kaki. Untuk menahan hawa dingin bercampur rasa takut.

Sesaat ketika aku mengusap air mata, tiba-tiba ada suatu hal yang aneh dari pandangan mataku.

Kembali aku mengucek mata berkali-kali. Merasa tidak percaya. Aku bisa melihat, kalau aku mendekati kerumunan itu.

Jangan-jangan ...

Mamak!

***

Nb: Puyang/Poyang : Sesepuh pendiri desa ( membuka belukar atau hutan rimba untuk rumah penduduk)



Hai reader setia, jangan lupa tinggalin jejak ya🤗
Tabik othor,
Rini Chan Ciptowiharjo


Komentar

Login untuk melihat komentar!