3. Gadis itu Bernama Nabila (pov. Sabiru)
Kasih ulasan dan bintang 5 ya?? komentar kalian dibutuhkan untuk memberikan semangat pada saya membuat lanjutan. Happy reading

Gerimis membungkus kota. Air langit  membasahi bumi sejak satu jam yang lalu. Menciptakan hawa dingin yang menembus tulang. Namun, itu tak menyurutkan niatku untuk menerobos rintik hujan. 

Pasalnya aku sudah berjanji pada Kamila untuk tidak telat pulang. Hari ini  dia tengah berulang tahun yang ke dua puluh lima tahun. Aku ingin merayakan hari jadi wanita mungil itu dengan menikmati makan malam di luar. Namun, sepertinya agenda itu harus dibatalkan. Karena hujan yang turun kian menderas saja.

Setelah memakai mantel hujan dan memasang helm, aku mulai menstater motor besar kesayangan. Sempat melambaikan tangan pada beberapa teman kantor yang memilih menunggu hujan reda. Dengan kecepatan yang sedang, kuda besi yang  kutumpangi membelah hujan. 

Ketika melewati sebuah toko tas, aku menepikan motor. Lalu memarkirkan kendaraan dan berlari kecil masuk ke toko tersebut. Tidak butuh waktu lama aku sudah menemukan barang yang dicari. Karena tahu apa warna favorit Kamila. 

Maka tanpa ragu lagi kuambil sebuah tas kecil berantai dengan warna emas yang berkilau. Sembari tersenyum tipis, aku membayangkan wajah Kamila yang akan mengukir senyum tulus saat menerima kado sederhana ini.

Setelah membayar tas tersebut di kasir, kembali aku melajukan arah motor menuju rumah. Rasanya sudah tidak sabar ingin berjumpa dengan perhiasan duniaku. Walaupun sudah dua tahun membina mahligai pernikahan, tetapi aku masih merasa seperti pengantin baru yang selalu saja didera rasa rindu menggebu bila berpisah sekejap. Itu karena perlakuan Kamila yang begitu tulus melayani.

Dengan menambah kecepatan laju motor, sampai juga aku di peraduan mungil ini. Bergegas kumasukan motor kesayangan ke garasi kecil rumah. Lalu dengan langkah yang ringan lekas menuju pintu. 

"Assalamualaikum ...." 

Aku mengucap salam sembari mengetuk pintu. Tepat di ketukan ke tiga, daun pintu terbuka lebar. Namun, mataku menyipit heran melihat sosok perempuan yang menyembul dari dalam. Siapa dia? 

Aku kian dibuat terkesiap melihat sosok gadis yang menyambut. Dengan kaos putih tanpa lengan pendek dan celana hitam ketat yang membungkus kaki jenjangnya, gadis ramping itu berdiri tegak dan melempar senyum ramah padaku. Dilihat dari garis muka pemudi di hadapan sangat mirip dengan istriku. Mirip banget malah.

"Kak Sabir, ya?"

Gadis itu menyapa. Terdengar begitu lembut, walau tak semerdu suara Kamila. Setelah dua detik terdiam, aku mengiyakan sapaan gadis itu dengan anggukan kecil.

"Aku Nabila. Adiknya Kamila."

Gadis berambut sebahu itu kembali mengulas senyum ramah. Tak sungkan pula dia mengulurkan tangan padaku.

"Mas ...."

Belum sempat aku membalas jabatan gadis itu, datang sang belahan jiwa dari dalam. Setelah mengelap tangannya pada celemek yang melekat di badan, wanita berhijab merah muda itu meraih tanganku. Kamila mencium dengan takzim punggung tanganku seperti biasa.

 "Oh ya, Mas. Kenalkan ini yang namanya Nabila. Adik aku yang tinggal di Medan. bersama ayah." Kamila mengenalkan sang adik ke padaku.  

Aku mengangguk ramah pada gadis berkulit kuning langsat di hadapan. Dan dibalas anggukan ramah juga oleh gadis bergigi gingsul itu. 

Setelah merasa cukup perkenalannya, Nabila kembali masuk menuju dapur. Sementara aku berjalan beriringan menuju kamar pribadi bersama Kamila. Di kamar tamu terlihat ada seorang pemuda memasuki bilik tersebut.

"Siapa dia?" tanyaku merasa asing.

"Calonnya Bila." Kamila menjawab dengan enteng.

Kami lantas masuk ke kamar pribadi. Begitu masuk dengan cekatan Kamila membuka lemari untuk menyiapkan handuk dan baju ganti untukku. Penuh kelembutan kupeluk wanita mungil itu dari belakang.

"Selamat ulang tahun, Sayang," bisikku lembut di daun telinga Kamila. 

Belum sempat Kamila menjawab, aku sudah terlebih dahulu mengecup tengkuknya dengan lembut. Terlihat wanita itu bergidik geli. Sepertinya dia merinding disko. Padahal itu sudah bukan hal baru bagi dia. Sungguh menggemaskan. Aku tersenyum geli.

"Makasih," jawab Kamila lirih. Wanita itu membalikan badan. Tangan kekarku masih melingkar di pinggang rampingnya. Ketika aku mulai mendekatkan muka dengan cepat Kamila menghalau bibirku dengan telunjuk. "Mandi dulu, gih! Bau asem, tau," suruh Kamila lembut.

Tangan wanita itu melepas dasi yang melilit leherku. Ketika aku duduk di tepi ranjang dengan telaten Kamila melepas sepatu sang suami. Lantas menaruhnya di rak sepatu. Benar-benar istri yang sempurna. Aku mengucap syukur.

 "Ada bingkisan sederhana untukmu."

Aku mengeluarkan kado dari dalam tas kerja. Tersenyum manis kusodorkan bingkisan itu pada Kamila. Dan Kamila dengan senang hati menerima bingkisan berbalut kertas merah jambu itu. Seperti yang telah kuduga, wanita berparas lembut itu terpana melihat pemberian sederhana itu.

"Terima kasih, Sayang." Kamila berucap penuh kelembutan. Dengan sedikit berjinjit wanita itu mencium pipiku yang tengah berdiri di hadapannya. Ketika aku meminta lebih, dia menggeleng kecil. " Mandilah! Aku menunggumu di meja makan." Usai berpesan seperti itu Kamila berlalu menuju dapur.

Sementara diriku lekas menyambar handuk dan baju ganti yang tergeletak di ranjang. Ketika hendak membuka pintu kamar mandi sesosok pemuda bertubuh tinggi dan tegap ke luar dari bilik itu. Cowok berambut cepak di hadapan melempar senyum ramah untukku. Lantas berlalu pergi, sedangkan aku bergegas masuk.

Letak dapur dengan kamar mandi memang berdekatan. Sehingga harum aroma masakan jelas sekali tercium oleh hidungku yang tengah membersihkan badan. Hal ini mendorongku mempercepat kegiatan  tersebut. 

Dengan rambut yang masih basah, aku ke luar dari kamar mandi. Meja makan adalah tempat yang langsung kutuju. Di mana sudah menunggu ibu mertua dan calon dari adik ipar. Sementara Kamila dengan adiknya tengah sibuk menyiapkan hidangan.

"Mas," sapa Kamila lembut begitu melihat kedatanganku.

Wanita itu menepuk kursi untukku. Aku sendiri segera duduk di samping istri tercinta. Diriku tepat berhadapan dengan adik ipar yang juga bersisian duduk dengan pemuda bertampang lumayan tampan itu. Sementara ibu mertua sudah duduk di ujung meja.

"Sabir, inilah Bila adik kandung Mila yang lama terpisah dari kami. Dan itu calon tunangannya. Mereka baru tiba siang tadi." Ibu mertua mengenalkan anak gadisnya padaku.

"Iya, Bu. Tadi Mila sudah memperkenalkan padaku," jawabku sopan.

"Oh ya? Baguslah. Perlu kamu ketahui, Bila akan tinggal di sini bersama kita selamanya. Karena ayahnya sudah tidak ada." Ibu mertua mengabarkan. Aku sendiri hanya mengangguk kecil menanggapi ucapan mertua.

Makan malam pun dimulai. Seperti biasa Kamila melayaniku dan ibunya dengan baik. Sementara Nabila tampak begitu perhatian dengan calon tunangannya. Kedua sejoli itu terlihat begitu mesra. 

Sepanjang acara makan malam Ibu mertua mendominasi pembicaraan. Wanita berusia lima puluh tahun itu bercerita sebab musabab Kamila dan Nabila terpisah. Menurutnya perceraianlah yang menyebabkan kejadian itu terjadi. Saat itu usia Kamila baru sepuluh tahun, sedang Nabila masih tujuh tahun. 

Mertuaku yang bernama Maryam itu bercerita bahwa mantan suaminya berwatak keras. Sebelas tahun mengarungi biduk rumah tangga, Ibu Maryam tak mampu mempertahankan pernikahan. Dirinya terpaksa berpisah dan kembali ke rumah orang tuanya dengan hanya membawa Kamila. Putri sulungnya yang sewaktu kecil bertubuh ringkih. Sering sakit-sakitan dan terpaksa merelakan Bila tinggal bersama ayah dari anaknya.

Walau sudah mengetahui kisah itu dari Kamila, demi kesopanan aku menanggapi cerita Ibu mertua dengan baik. Sebenarnya aku sudah hapal cerita itu dari lama. Kamila kerap kali berbagi kisah tentang adik kandungnya. Bahkan istriku lebih detail dalam bercerita. 

Keburukan perangai mantan suami yang tidak diceritakan oleh Ibu Maryam, sudah aku dengar dari istri sendiri. Kamila yang kadang didera rasa rindu pada sang adik dan ayah kerap kali bercerita tentang penderitaan sang ibu saat masih menjadi istri ayahnya.

Acara makan malam itu semakin terasa hangat saat Ibu Maryam mengenalkan sosok pemuda yang duduk di sebelah kanan putri bungsunya padaku. Nama pemuda itu adalah Zayn. Karena memang belum mengenal lebih jauh, Ibu Maryam menyuruh Nabila yang melakukannya.

Dengan sedikit tersipu Nabila memperkenalkan siapa calon tunangan. Katanya, Zayn adalah teman semasa SMA-nya. Namun, mereka baru menjalin hubungan ketika memasuki bangku kuliah. Saat ini Zayn tengah menempuh pendidikan pasca sarjananya di universitas kota Medan. Dan berjanji akan segera menghalalkan hubungannya dengan Nabila bila pendidikannya telah usai dan mendapat pekerjaan.

Acara makan malam berakhir dengan penuh kekeluargaan. Aku yang memang seorang anak tunggal segera menganggap Zayn layaknya adik kandung sendiri. Kuajak pemuda itu berbincang di teras depan. Sementara para perempuan sibuk membereskan meja makan.

Perbincangan yang seru dengan Zayn membuat aku melupakan waktu. Padahal esok pagi harus bekerja.  Akhirnya, setelah puas mengobrol, aku dan Zayn masuk ke peraduan.

Ketika masuk ke kamar pribadi, aku mendapati Kamila sudah terbuai mimpi dengan memeluk guling. Perlahan kurebahkan badan di samping sang pujaan.

"Sayang ... tidakkah kamu kedinginan malam ini," bisikku lembut di telinga Kamila. Kamila terbangun. Dengan mata yang masih terpejam, wanita itu mengangguk kecil. "Tidakkah kamu ingin membuat baby di malam indah ini," lanjutku masih dengan suara yang lirih nan mendayu. Mencoba merayu.

Kamila membuka mata. Tersenyum kecil dia mengangguk.

❤❤❤

Seperti yang telah direncanakan, Zayn hanya seminggu menginap di rumah mungil kami. Pemuda itu bertolak kembali ke kota kelahirannya saat aku masih bekerja. Sehinga ketika pulang dari kantor aku sudah tidak mendapati pemuda itu lagi. Namun, kesan baik yang Zayn tinggalkan membuat aku lekas menyayangi pemuda berwajah tampan bersih itu.

Waktu berlalu dengan cepat. Hubunganku dengan adik dari Kamila mulai dekat. Tidak kaku lagi. Nabila yang pada dasarnya adalah gadis yang supel tidak butuh waktu lama untuk bisa mengakrabkan diri denganku. Kami saling menghormati satu sama lain.

???

Malam itu. 

Ketika baru saja menyelesaikan semua tugas lemburnya, tiga rekan kerja mendekati meja kerjaku.

"Bro, malam ini ikut kita, yuk!" ajak salah seorang kawanku.

"Ke mana?" Aku menyahut sembari menutup laptop. Lantas memberesi berkas-berkas di meja kerja.

"Hang out-lah. Refresing," jawab temanku yang berkaca mata minus  semangat. 

Aku terdiam tak langsung menjawab. Kulirik jam di pergelangan tangan. Masih sore.

"Ayolah! Kebetulan malam ini Doni sedang berulang tahun. Dia berjanji akan mentraktir kita," desak pria berkaca mata itu sedikit memaksa.

Aku masih belum mengiyakan. Hanya menatap rekan kerja yang bernama Doni itu. Merasa ditatap dengan cepat Doni mengangguk mantap.

Aku berpikir sejenak. Teringat pesan WA dari Kamila yang memberi tahukan  kalau wanita itu tengah menunggui pamannya di rumah sakit bersama sang ibu. Jika aku pulang nanti hanya akan mendapati adik iparnya saja. Maka untuk membuang waktu,  akhirnya aku penuhi ajakan ketiga rekan kerja. 

Kami berempat meninggalkan ruang kerja menuju parkiran. 

"Kita naik mobilnya Reza aja," usul Doni. Temanku yang masih lajang.

Ketika semua merasa setuju, kami lantas masuk mobil. Reza sang empunya mobil yang mengambil kemudi. Perjalanan diisi dengan saling bergurau satu sama lain. Sehingga kami tidak menyadari bila telah sampai di tempat tujuan. Begitu turun menginjakkan kaki, aku terperangah melihat tempat yang akan di kunjungi.

"Ayo masuk!"  Doni menarik lenganku masuk ke diskotek yang mulai ramai pengunjung.

"Tapi, Don ...."

"Ayolah, Bro!" Kali ini Reza mendorong tubuhku yang belum sempat menyelesaikan ucapan.

"Gak tiap malam ini," timpal Heri. Pria berkaca mata itu ikut menarik lenganku masuk.

Dengan langkah terseok karena dipaksa tarik teman-teman, aku  menginjakkan kaki di tempat yang ramai oleh hingar bingar musik itu. Kami segera duduk di kursi yang telah dipilih oleh Reza. Lajang itu juga segera melambai tangan pada pelayan. Lantas memesan minuman dan kudapan.

"Apa ini?!" tanyaku tersentak kaget saat menenggak minuman yang terasa asing di tenggorokan. 

Kusemburkan minuman dari dalam mulut. Ketiga kawan terkekeh geli mendengar pertanyaan polos yang dilontarkan olehku.

"Udahlah, Bir! Abisin aja. Gak tiap hari ini," sahut Heri sembari menenggak minumannya sendiri.

"Engak-engak! Aku ...."

"Udahlah gak usah kuno begitu!" Reza menyambar ucapanku dengan cepat.

Lajang itu kembali memaksaku menghabiskan minuman.

"Bro, hargai Doni yang sedang berulang tahun," pinta Heri ketika melihat dengan tegas aku menggeleng.

"Heri benar. Acara kayak gini gak setiap malam ini kok." Timpalan ucapan Reza membuat hatiku menjadi bimbang.

"Tapi ...."

Aku tidak melanjutkan perkataan. Dengan berat hati kutenggak gelas berisi minuman yang disodorkan oleh Reza. Begitu cairan itu mengaliri rongga mulut, terasa begitu aneh. Dan begitu minuman itu mengalir di dada, seluruh badanku mulai berasa gerah. 

Melihatku tidak menolak minuman itu lagi, teman-teman tertawa senang. Bahkan Reza semangat menuangkan minuman ke gelasku. Aku yang pada dasarnya memang belum pernah meminum minuman seperti itu di gelas ketiga sudah mulai merasa mabuk. Aku mengeluh karena kepala terasa pening. Namun, itu justru membuat teman-temannya terbahak mendengar keluhanku.

"Parah lu, Bir! Baru segitu aja mabok," olok Heri disertai kekehaan geli.

Dirasa sudah cukup bersenang-senang,  kami menyudahi acara tersebut. Dengan dipapah Heri dan Doni, aku berjalan dengan jalan yang tidak seimbang. Merasa bumi yang diinjak berputar-putar hebat.

Di dalam mobil terdengar teman-teman tertawa geli dan menggeleng. Entah ucapan apa yang ke luar dari mulutku sehinga mereka tampak begitu geli. Sepertinya aku meracau tak jelas. Mungkin. Dan tak lama kemudian mobil yang dikemudikan Reza telah sampai di halaman rumah. Dengan setia Doni dan Heri memapah tubuhku hingga depan pintu. Pintu terbuka setelah beberapa kali diketuk oleh Doni.

"Kak Sabir?!"  

Aku melihat Kamila terkejut menyambut kedatangan. Istriku malam itu tidak seperti biasanya. Dia hanya mengenakan tank top hitam dan celana pendek tidur. Setahuku dia tidak punya koleksi busana mini. Leher jenjangnya terlihat begitu menggoda karena rambut indahnya hanya diikat asal ke atas.

"Adiknya Mila, ya?" 

Aku heran saat Doni bertanya seperti itu pada Kamila. Apakah dia juga sudah minus sama seperti Heri. Ketika dengan cepat istriku mengangguk, Doni tersenyum ramah. "Kakakmu sedikit mabuk," ujarnya dengan cengengesan. 

Lalu setelah berbasa-basi sebentar Doni dan Heri pamit pulang. Kamila sendiri lekas menutup pintu rumah dan  menguncinya rapat. Tangannya segera menyangga tubuhku yang sempoyongan.

"Mila ...."

Kamila menutup hidung saat aku berucap. Aroma mulutku mungkin tidak sedap. Wajar karena memang belum mandi dan gosok gigi.

"Mila, kamu can-tik ba-nget malam i-ini," tuturku terbata.

"Aku Bila, Kak. Mila sama ibu malam ini menginap di rumah sakit menunggui paman." Sepertinya istriku sedang bergurau dengan bertutur seperti itu.

Kamila berkata sambil terus memapah tubuhku menuju kamar. Dengan hati-hati ia merebahkan badanku 
di ranjang. Seperti biasa penuh ketelatelan dia melepas sepatuku. 

Ketika bidadariku akan meninggalkan ruangan, kutarik lengannya hingga jatuh ke dalam.

"Mau ke mana, Mil?" Aku mendekap erat wanitaku.

"Kak ... aku ini Bila. Lepas!" Sekuat tenaga Kamila mencoba melepas pelukanku. Aneh.

"Malam ini kamu terlihat seksi sekali, Mil. Begitu meng-goda," pujiku.

Di dorong hasrat yang mulai timbul. Demi melihat penampilan seksi Kamila malam ini, kulumat bibir tipis kemerahan alami itu dengan lembut.

PLAK! 

Kuat Kamila menampar pipiku. Sejenak aku tertegun. Kamila tidak sekasar ini. Kenapa? 

"Mila?" gumamku pelan.

"Aku Bila bukan Mila!" Kamila terlihat begitu geram.

Bahkan dia mendorong tubuhku. Namun, itu justru semakin memancing birahiku. Maka ketika dia hendak berdiri bangkit kembali kutarik lengannya ke dalam pelukan.

"Mau ke mana, Mil? Aku ... aku meng-inginkanmu," ujarku sayu. Kudorong tubuh Kamila ke ranjang.

"Jangan Kak Sabir!" ratap Kamila takut. 

Ada apa? Kenapa malam ini dia selalu memanggilku kakak. Bukan mas seperti biasanya. Bahkan dia beringsut ketakutan saat aku merangkak mendekatinya.

"Kak Sabir, tidaaak!"

Aku yang tengah dikuasai nafsu tidak memedulikan ratapan itu. Toh sudah sepantasnya sang istri melayani suami. 

???

Pagi menyapa

Suara adzan di mushala yang tak jauh dari rumah berkumandang. Seperti alarm alami, seberapa mengantuknya diriku pasti lekas bangun bila sudah mendengar seruan suci itu. Dengan kepala yang terasa berat aku membuka mata. Menggeliat malas.

Ketika nyawa sudah terkumpul semua, aku tertegun melihat ada noktah merah di seprai. Darah apa ini? Diriku semakin terkesiap kaget tatkala menyadari badan ini polos tanpa sehelai benang pun. Baju dan celana beserta dalamannya teronggok begitu saja di lantai. Lekas kupunguti dan memakainya.

Deg!

Jantungku serasa lompat dari tempatnya. Saat melihat ikat rambut yang biasa dikenakan Nabila ada di ranjang. Kuambil benda kecil berhias boneka itu. Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa ikat rambut ini ada di sini?

Tiba-tiba ponsel berbunyi. Kuraih benda layar datar lima inchi itu. Ada pesan chat dari Kamila.

'Mas Sabir kenapa semalam tidak menyusul? Lembur sampai malam, ya?'

'Aku dan Ibu sebentar lagi pulang. Mau dibelikan apa buat sarapan?'

Aku meremas rambutku dengan gemas. Kamila ada di rumah sakit. Jadi ... semalam aku******Nabila? Oh tidak!

Memory kejadian semalam terlintas di mata. Dari mulai ajakan teman-teman untuk hang-out bersama. Pesan dari Kamila yang mengabarkan kalau dirinya tengah menunggui sang paman, tetapi tidak minta dijemput. Teringat pula saat teman-teman menyuguhi minuman setan dan aku tak dapat menolak. Hingga tergodanya diriku melihat penampilan Kamila yang tidak biasa. Samar teringat saat Nabila menampar pipiku sembari berteriak marah dan menyebut kalau dirinya adalah Nabila.

"Ya Alloh ... kenapa aku harus sebejat itu pada Nabila," gumamku penuh penyesalan. Kuraup muka dengan kasar.

ARGHHH

Aku menyesal dan takut. Kesucian Nabila telah kurenggut paksa. Bagaimana nasib Nabila selanjutnya? Apakah ... Zayn akan menerimanya kelak bila tahu kekasihnya sudah ternoda? Ya ... Tuhan. Aku menggeleng takut. Masa depan Nabila akan hancur dan suram olehku. Kasihan dia. Sebagai lelaki sejati, aku akan bertanggung jawab bila terjadi sesuatu dengan gadis manis itu. Tapi, bagaimana pula dengan Kamila? Separuh napasku itu ... ahhh semua ini gara-gara minuman haram itu. 

ARGHHH

Kutinju tembok dengan keras. Berusaha meluapkan kekesalan hati. Namun, bukan kelegaan yang didapat melainkan rasa perih pada telapak tangan ini. Kujatuhkan badan di ranjang. Aku harus berpikir tenang.

Setelah ada satu jam termenung, akhirnya aku melangkah ke kamar mandi. Sembari membawa seprai yang ranjang yang telah kotor terkena noktah merah itu. Aku tak mau Kamila tahu. Setelah itu akan kubersihkan badan hina ini. Lantas menghadap Tuhan untuk memohon pertolongan.     

Ketika melewati kamar Nabila, aku berhenti sejenak. Kamar itu sepi. Di manakah gadis itu? Bila ... maafkan kakak. Menit berikutnya, aku lekas membersihkan badan. Mengguyur seluruh tubuh ini dengan air dingin. Berharap dapat menjernihkan akal. Sambil terus berpikir langkah apa yang kuambil untuk menebus dosaku pada Nabila.

Selepas mensucikan diri, walau sedikit terlambat aku menghadap Tuhan. Memohon ampun padaNya. Dalam sujud panjang aku menangis. Ini adalah dosa terberatku. Aku adalah seorang pria yang selalu berusaha lurus dalam berjalan. Bahkan terkenal alim. Aku jadi malu pada diri sendiri. Sungguh malu, menyesal, dan takut.

Aktivitas mendamaikan ini harus terhenti saat terdengar pintu rumah diketuk orang. Selepas melipat sajadah dan menggantung peci putih, aku melangkah ke luar kamar. Wajah lelah Kamila dan Ibu langsung tersaji begitu pintu terkuak.

"Mas ...."

Walau lelah Kamila menyapaku dengan senyum manisnya. Mencium tanganku dengan tulus. Ibu sendiri yang tampak kepayahan lekas berlalu menuju kamarnya setelah mengangguk kecil padaku.

"Semalam kenapa tidak ikut menyusul ke rumah sakit?" tegurnya datar. Wanita itu mendahuluiku masuk ke kamar.

"Semalam Doni berulang tahun. Dia dan yang lain ngajak jalan," jawabku begitu sampai di dalam kamar. 

Kamila hanya mengangguk pelan. Seperti biasa dengan cekatan dia mengambilkan kemeja, celana, dan dasi untuk kupakai kerja. Lalu menyodorkannya padaku.

"Kenapa seprainya diganti, Mas? Itu seprai baru dipasang kemarin, lho." 

Kembali wanita itu menegur. Kali ini wajahnya terlihat heran menatapku. Aku sedikit tergagap karenanya.

"E ... itu ... ah seprai itu kena pipis kucing semalem," karangku asal.

"Hah?" Kamila semakin menautkan alis.

"Iya ... jadi semalem pas aku pulang, kucing yang biasa ada di dapur tidur di ranjang kita. Langsung saja kuusir. Eh ... pas aku mau tidur bau kencing kucing itu. He ... he."

Aku menyeringai kecil. Sungguh berdusta itu tidak enak. Karena belum pernah sekalipun berbohong pada Kamila. Sementara Kamila hanya melongo mendengar penjelasanku.

"Begitu?" Ketika mata Kamila menatap memastikan, aku mengangguk pelan. "Ya sudah ... aku mau siapkan sarapan dulu, ya."

Wanita mungil manis itu beranjak ke luar kamar usai mendapat anggukan setuju dariku. Begitu pintu kamar ia tutup, aku mendesah galau. Satu kebohongan telah tercipta. Entah ada berapa lagi dusta akan kubuat. Aku belum berani jujur.

Setelah merasa rapi aku menuju meja makan. Tidak ada siapa-siapa. Namun,  suara Kamila yang tengah membujuk adiknya untuk sarapan jelas terdengar. Kamar Nabila memang dekat dengan meja makan. Dengan sedikit ragu aku menuju bilik kecil itu.

"Sayang ...." Aku memanggil Kamila begitu tiba di bibir pintu kamar. Semua orang yang ada di situ menoleh. Bahkan Nabila menatap garang padaku. Aku yang merasa bersalah menunduk.

"Ada apa?" Kamila mendekat.

"Ayo sarapan! Aku harus berangkat," ajakku pelan.

"Sebentar. Nabila sakit. Bisakah kamu mengantarnya ke klinik terdekat?" pinta Kamila begitu perhatian pada adiknya.

"Tidaaak!"

Tak disangka Nabila menjerit histeris. Sontak itu membuat Ibu dan Kamila heran karenanya. Bahkan ketika gadis itu terisak dalam tangis, Ibu dan Kamila semakin bingung dibuatnya. Hatiku ketar-ketir saat Ibu terus saja mendesak pada Nabila. Bertanya sebab apa anak bungsunya menangis tak kunjung berhenti.

Syukurnya Nabila tidak berterus terang. Gadis itu memilih berbohong untuk menutupi kejahatanku. Sepertinya dia juga tidak mau bila Ibu dan kakak tercintanya syok mendengar pengakuan jujurnya. Terima kasih Nabila. Kamu memang gadis yang baik.

Setelah berulang kali menolak ajakan sarapan bersama. Aku, Kamila, dan Ibu meninggalkan kamar Nabila. Sebelum melangkah pergi sempat kutoleh gadis itu untuk mengucap kata terima kasih. Namun, gadis itu justru menatap penuh emosi padaku. Tentu saja aku semakin merasa bersalah. Dengan langkah lunglai aku menyusul Kamila menuju meja makan.

***

Sepanjang hari otakku tidak fokus dalam bekerja. Pikiranku terus saja tertuju pada Nabila. Aku sungguh merasa sangat bersalah. Lalu saat wajah Kamila yang sedang tersenyum tulus terbayang di mata, aku semakin diliputi rasa bersalah. Kedua kakak beradik itu telah kusakiti. Huhhh ... aku mendesah gelisah.

Sorenya aku memilih pulang cepat. Aku ingin bicara dengan Nabila. Meminta maaf padanya dan bila perlu siap menanggung segala hukuman yang akan ia berikan. Teman-teman sedikit merasa heran melihatku buru-buru pulang. Karena biasanya aku lebih memilih menyelesaikan tugas di kantor ketimbang dibawa pulang.

"Salam untuk adiknya Kamila ya, Bir. Dia cantik banget dan juga ... seksi," ujar Doni dengan cengengesan. Tak kutanggapi celotehannya. Aku terus saja memberesi meja kerja. "Semalem kamu mabuk berat. Kamu gak apa-apain ipar cantikmu itu kan?"

Aku tertohok mendengar gurauan yang dilontarkan Doni. Dengan menggeleng pelan aku berlalu meninggalkan lajang itu. Cepat kutuju parkiran motor, lantas memacunya cepat menuju rumah.

Dengan kecepatan yang lumayan tinggi tak butuh waktu lama aku telah sampai di rumah. Kamila sepertinya masih di toko bunganya, sedang Ibu pasti masih menunggui paman. Aku harus segera menemui Nabila.

Ketika melewati kamar gadis itu pintu terbuka. Kamar itu tampak kosong. Ke mana dia? Aku melangkah menuju dapur. Terlihat gadis itu sedang berdiri menenggak segelas air putih di meja makan.

"Nabila," panggilku.

Gadis itu terjingkat kaget. Bahkan gelas yang sedang dipegangnya jatuh dan pecah berkeping-keping. Gadis itu menggeleng ketakutan melihat kedatanganku.

"Jangan mendekaaat! Kak Sabiru biadaaaad!" teriaknya emosi sembari menyetop langkahku.

"Jadi ... benar semalam aku telah menidurimu?" tanyaku parau dan lirih.

"Kakak pikir ada gadis lain di rumah ini selain aku? Kamila semalam ada di rumah sakit. Kak Sabir jahaaat," maki Nabila dengan air mata yang menganak sungai.

"La, maafkan kakak. Sungguh kakak tidak bermaksud ...."

"Kakak telah merenggut kesuciankuuu!" sambar Nabila geram. Matanya semakin basah oleh air mata.

"Bila, maafkan kakak," ucapku seraya meraih tangannya untuk memohon ampun.

"Lepaaas!" jeritnya dengan menepis kasar tanganku.

"Kakak akan bertanggung jawab bila terjadi sesuatu padamu," janjiku yakin. Kembali kuraih lengan halus gadis itu.

"Kaliaaan ...."

Tak disangka Kamila datang. Dia menatapku dan Nabila secara bergantian. Matanya menyipit heran.

Next.



Komentar

Login untuk melihat komentar!