Sampai detik jam pelajaran terakhir usai, Arla telah mendapatkan dua grand finalist dari 109 orang peserta. Dia tersenyum puas, enggak menyangka ternyata event-nya cuma satu hari. Cowok-cowok Peninsula antusias banget, sih, sampai pada enggak mau kena delayed. Yang penting, masa-masa yang melelahkan sudah lewat dan tinggal selangkah lagi buat menentukan pilihan terakhir.
Kelas sudah kosong dan Arla masih membereskan buku-buku ke dalam tasnya. Seperti biasa, walaupun Arla datang lebih awal, bukan berarti dia pulang lebih dulu (he-he, beda banget sama kita-kita, ya). Bahkan pernah gara-gara keterusan baca buku, Arla baru sadar kalau semua orang sudah pulang setelah dia ditegur sama penjaga sekolah yang mau mengunci ruang kelas.
Tiba-tiba Arla mencium sesuatu yang wangi sekali di udara. Dia mengendus heran dan mempertajam indra penciumannya kalau-kalau ia saja yang berhalusinasi. Dan tatkala mendongak, belasan cowok mengepung. Rupanya aroma tersebut berasal dari seorang cowok di depan yang sedang menatapnya tajam. Arla pun jadi gugup. Baru kali ini ia merasakan bagaimana takutnya menghadapi sekumpulan cowok seorang diri. Dalam hati Arla komat-kamit berdoa semoga mereka tidak punya niat buruk.
"Ada apa, ya?" tanya Arla. Jantungnya berdebar kencang ketika kepungan mereka makin merapat. Arla sampai tersudut di bangku sambil memeluk tasnya erat-erat saat si "wangi" membungkukkan tubuh ke arahnya. Cowok itu dengan santainya bertumpu siku di atas meja. Aroma parfum cowok itusungguh menyengat hingga Arla nyaris bersin. Namun, sekuat tenaga ia tahan sampai hidungnya berair dan matanya basah.
"Hei, jangan ketakutan gitu, dong, gue jadi enggak enak, nih!" ujar si "wangi".
Ih, pede banget! Cowok itu saja yang keliru mengartikan bahasa tubuh Arla. Parfum yang dia pakai overdose!☺Tapi kegugupan Arla itu tak berlangsung lama karena dia memang cewek yang selalu tenang.
"Elo lebih cantik kalau dilihat dari dekat, ya?" senyum si cowok sambil mengagumi wajah Arla.
"Apa yang kalian mau dari gue?" Arla mulai merasa riskan.
"Soal ini." Cowok itu menunjukkan poster audisi yang Arla buat.
"Ada apa lagi memangnya? Gue udah kasih tau hasilnya, kan?" jelas Arla. "Di antara kalian semua enggak ada yang gue terima ...." Hati-hati Arla menambahkan, tapi cowok itu sepertinya tak mau mendengarkan penjelasan Arla.
"Elo tau siapa kita?" tanyanya serius.
"Kalau tak salah, kalian Catastrophe, 'kan?" ujar Arla datar.
"Iya." Dagu cowok itu terangkat angkuh.
Arla sudah sering, sih, mendengar cerita tentang geng satu ini. Setingkat lebih tinggi dari saingannya, Romeo. Kumpulan cowok-cowok elit, punya kelas dan nama yang cukup untuk membuat cewek-cewek pada bertekuk lutut. Tapi kabarnya Catastrophe agak liar, hedonis, juga— psst ... ada anggotanya yang terlibat dalam arisan berondongnya tante-tante! Hak asasi, sih, hak asasi. Tapi jangan sampai, deh, dia bersentuhan dengan hal-hal semacam itu. Ogah, ah, punya cowok yang pergaulannya bebas banget.
"Gue rasa elo paham maksud gue, 'kan?" Suara cowok itu merendah seperti mengancam. "Elo harus milih satu dari Catastrophe buat jadi calon pacar elo!"
Yah, Arla yang lupa mengantisipasi bakal ada interupsi kayak gini pun tak berkutik. Sebenarnya, berat bagi Arla untuk mengabulkan permohonan itu. Dia tidak berminat mengubah keputusan yang sudah final. Dia sudah dapat dua kandidat, ya, cukup segitu saja. Tapi, sepertinya kali ini dia harus bikin pengecualian. Biarlah mengalah sedikit daripada nantinya menangis karena audisinya malah jadi pembawa bencana sungguhan.
"Jadi, gue boleh milih sendiri?" Arla memastikan.
"Hmm ... boleh! Terserah elo milih siapa."
"Dan orang yang gue pilih itu mesti memenuhi semua syarat gue juga nantinya. Kalau enggak ... gue enggak jamin." Arla menawar lagi. Kening cowok itu pun berkerut, tapi akhirnya dia mengangguk setuju.
"Don't worry, babe. Gini-gini kita bermartabat. Kita enggak akan maksa dengan cara curang. Jangan panggil kita Catastrophe kalau kita melanggar janji. Elo tenang aja!"
Fiuh, baru Arla bisa bernapas lega berkat perjanjian itu. Seenggak-enggaknya dia gak bakal menyesal karena telah memilih salah satu dari cowok yang bermartabat, katanya ....
"Deal?"
"Deal."
"Jadi siapa yang elo pilih?"
"Yang nge-jones di antara elo." Arla menjawab simpel.
"Oke. Nice choice. You get." Cowok itu setuju.
Ya ampun, ini orang memang jubir kagak ada matinya, dari tadi dia melulu yang omong.
"Yang mana orangnya? Gue mau omong ke dia," keluh Arla.
"Gue."
Oalah, ternyata si jubir jones toh, pantas saja parfumnya wangi banget kayak pelet pemikat sukma.
☻☼☺