Pacar Kesiangan

"Lo menyalahi perjanjian kita," cerca Roverio dingin. Kata-katanya membuat Arla seperti sedang dihakimi. Cowok itu yang memberi respon paling masuk akal. Bagaimana tidak? Dengan gampangnya Arla memilih seseorang yang notabene bukan peserta audisi, di mana letak keadilannya? Tapi Roverio tidak bisa menyentuh Arla karena ada Ketua OSIS dan cowok rese yang mengapit di kanan kirinya mengawalnya dengan sangat ketat.

"Lo pernah bilang kalau penampilan bukan hal yang utama. Tapi ternyata ...," Dhea yang merasa Arla mungkin mendepaknya karena alasan wajahnya yang penuh jerawat dan membandingkannya dengan Joyan yang bening. Dari ekspresinya tergambar jelas kekecewaan sehingga Arla semakin merasa bersalah.

"Selera lo bagus juga!" Giliran Jeamie yang mengomentari Joyan dengan sinis.

"Lo semua dengar dulu penjelasan gue!" Arla tidak kuat lagi untuk berdiam diri. Angel yang mendelik marah pun tidak dihiraukannya, padahal Angel tadi sudah wanti-wanti dia agar Arla tidak usah kasih alasan apa-apa pada ketiga cowok ini sehubungan dengan masalah audisi yang dibatalkan.

"Gue minta maaf ... banget sama kalian karena gue terpaksa ambil keputusan ini. Gue baru tahu kalau gue udah ditunangkan!"

Semua orang kaget mendengar pengakuan Arla. Mereka semua tidak tahu kalau Arla telah bicara apa adanya. Tapi, enggak ada yang menduga kalau tunangannya adalah Prudence, bukannya Joyan.

"Selamat ya!" komentar Jeamie pendek, tanggapannya masih lebih baik daripada Roverio yang langsung pergi begitu saja.

"Dhea, maafkan gue ... Semua ini di luar rencana gue ...." Arla meminta maaf pada Dhea yang masih bersedia tinggal untuk mendengarkannya.

"Ya ... kalau emang begitu keadaannya, gue enggak apa-apa, kok," kata Dhea sesumbar kecewa.

"Tapi, lo mau enggak jujur sama gue?" tanyanya pada Arla setengah berbisik karena takut pada Joyan yang mendelik tak suka. Arla yang juga merasa tidak nyaman dengan cowok di sebelahnya itu lantas mengajak Dhea menyingkir ke pelipir. Marah sih marah, tapi siapa Joyan? Dia hanya cowok yang baru datang dalam kisah Arla dan belum punya hak untuk mencampuri privasinya.

"Apa yang lo mau tau?" tanya Arla setelah cukup aman dari jangkauan telinga Joyan.

"Sebenarnya, siapa yang lo pilih di antara kami bertiga?" Ternyata itu yang ingin Dhea coba cari tahu. Pertanyaan itu membuat Arla salah tingkah sendiri, sementara Joyan semakin memandang curiga dari kejauhan.

"Apa gue mesti jawab itu sekarang?" tanya Arla enggak yakin.

"Iya! Gue mesti tahu hasilnya biar enggak penasaran seumur hidup. Gak penting kalau audisinya sekarang batal!" Dhea bersikeras.

"Ya udah ..." ujar Arla pasrah. "Tapi lo jangan menyesal, ya, kalau gue jawab?" pinta Arla. Dhea pun mengangguk antusias. Dasar cewek, jawaban yang mengalir keluar dari mulut Arla cukup panjang dan berbelit-belit.

"Dalam seminggu ini, gue udah mikir siapa yang bakal gue pilih. Gue sadar kalau keputusan ini penting buat gue, lalu cowok itu tiba-tiba muncul dan diperkenalkan sebagai tunangan gue— " cerita Arla pahit, "Seharusnya gue menepati janji kalau gue telah memilih seseorang di antara kalian bertiga. Tapi, maaf, Dhea. Gue sekarang enggak bisa memenuhi janji gue ke elo ...."

Dhea tercekat pas tahu jawaban kalau dialah yang dipilih oleh Arla. Impiannya nyaris menjadi kenyataan andai cowok rese yang kini sedang memaki-maki Angel tidak muncul tiba-tiba di depan Arla. 

"Yah--" Dhea meringis sambil menyugar rambutnya dengan gusar. Sakitnya gagal punya cewek sesempurna Arla tuh kebangetan! Nasib.

Sebagian cerita Arla memang benar. Tapi, dia menyembunyikan kebohongan yang terpaksa tak bisa ia ceritakan. Tak ada yang tahu bahwa dia telah menjadikan Joyan sebagai alat untuk menutupi pertunangannya dengan Prudence dan dia telah membiarkan orang-orang menimpakan semua kesalahan pada sepupunya itu. Maafkan gue, semuanya ... bisik Arla lirih. Pada dasarnya, dialah yang kebingungan sendiri menghadapi semua hal ini bersamaan, sampai-sampai tak penting lagi siapa yang mau dia pilih sekarang. Prudence, Dhea, atau ... Joyan.

♪♫♪♫

Akhirnya Arla bisa terlepas dari Joyan ketika bel tanda masuk berbunyi. Kelasnya kembali ramai. Namun, Angel masih belum puas dengan semua kejutan tadi sehingga dia masih bertahan di tempat itu.

"Ar, semua ini bikin gue bingung! Elo mesti jelaskan semuanya ke gue!" tuntutnya.

Baru kali ini Arla merasa bosan dengan Angel karena sahabatnya itu sekarang seperti detektif yang ingin menyelidiki segalanya. Saat ini, Arla cuma ingin menenangkan diri dengan pikirannya.

"Tapi enggak bisa sekarang atau hari ini. Tolong biarkan gue sendiri dulu, ya? Bukannya gue mengusir elo, tapi bel udah bunyi dan lo juga harus masuk kelas." Arla menolak.

Walaupun agak kesal, Angel akhirnya menyerah dan meninggalkan Arla. Padahal maksudnya biar beban Arla bisa sedikit berkurang dengan berbagi cerita ke dia. Namun, bila sahabatnya itu tak mau dibantu, masa bodoh, ah. Nanti Arla bakal mencari dia juga bila butuh sesuatu. Tapi, ia sebal saja dengan sifat Arla yang keras kepala dan suka mengundang nasib buruk. Setelah semua menjadi masalah, baru gadis itu kebingungan. Dan sering Arla datang padanya saat semua sudah terlambat. Kan jadi dia juga yang repot?

Arla bernapas lega karena akhirnya dia bisa sendirian, walau tidak benar-benar sendiri karena sekarang kelasnya sudah penuh orang. Yang penting, tak ada lagi orang yang mencecarnya dengan pertanyaan macam-macam. It's time to relax and take everything out from her mind!

Rupanya perkiraan Arla salah besar karena hari itu dia belum sepenuhnya terbebas dari Joyan. 

Joyan sepertinya serius amat berniat membayang-bayangi dirinya. Entah bagaimana bisa tuh anak sekarang terlihat mondar-mandir berkeliaran di sekitar kelasnya, padahal sekarang sedang jam belajar. Untunglah tempat duduk Arla berada di seberang ruangan sehingga Joyan yang celingak-celinguk memantau keadaan kelas hanya bisa memanjangkan lehernya dari balik jendela . 

Arla memang tidak peduli, tapi teman-temannya peduli. Mereka lebih tertarik memerhatikan sosok Joyan yang gentayangan di balik jendela daripada penjelasan Bu Diah di depan kelas tentang persamaan reaksi kimia dan rumus entalpi yang membingungkan. Tingkah Joyan yang berusaha menarik perhatian Arla mengundang senyum geli.

"Siapa yang tidak mendengarkan penjelasan saya?!"

Suatu ketika Bu Diah memergoki ulah mereka. Beliau mengetuk-ngetukkan boardmarker dengan keras ke papan tulis dan membuat seisi kelas hening.

"Arla, siapa yang kamu lihat?"

Arla yang berusaha mengusir Joyan pun kena tegur. Duh, baru kali ini dia ditegur sama guru. Siswi teladan gitu lho ....

"Tadi ... ada kucing lewat, Bu." Arla berbohong. Sengaja dia mengeraskan suaranya agar terdengar oleh Joyan yang ada di luar. Dan Bu Diah yang lantas melongok ke arah jendela untuk membuktikan kata-kata Arla pun tidak menemukan apa-apa di sana karena Joyan sudah raib. Lalu sesaat kemudian tawa seluruh kelas langsung meledak ketika terdengar suara meong kecil dari luar. Arla pun lega sekaligus takjub karena Joyan mengerti akan isyaratnya.

"Meong ...." Suara itu terdengar meyakinkan. Seenggak-enggaknya berhasil menyingkirkan kecurigaan Ibu Diah. Akting bocah bandel itu hebat juga, pikir Arla dalam hati.

"Diam anak-anak, pelajaran kita lanjutkan lagi!" perintah Bu Diah. Untung beliau tipe orang yang tidak suka memperpanjang masalah. Arla selamat, begitu juga Joyan yang sedang sakit perut menahan tawa di luar.

Tapi cowok itu emang kagak ada kapok-kapoknya menciptakan masalah. Setelah menunggu keadaan kelas aman, dia menitipkan segumpal kertas berisi pesan untuk disampaikan pada Arla. Setelah estafet dari tangan ke tangan, akhirnya kertas itu sampai juga di meja Arla. Gadis itu sempat bingung, tapi ketika membaca isinya, dia langsung tahu siapa pengirimnya -- Gue minta nomor HP lo, dong, Sayang! Sekarang juga atau gue bikin masalah lagi!

Arla menoleh ke arah jendela dengan marah dan Joyan tampak cengar-cengir di sana. Kenapa Joyan terus mengganggunya cuma untuk minta nomor ponselnya? Pake 'sayang-sayang', lagi. Bagaimana kalau sampai dibaca orang? Benar kata Angel, sepupunya ini memang joran pancing kagak tahu malu!

Karena mejanya berada di deret paling depan persis berhadapan dengan meja guru, Arla harus ekstra hati-hati meminta bantuan teman di belakangnya untuk mengoper pesan balasan itu. Dan dia benar-benar bersyukur pada Tuhan ketika Joyan berlalu dari sana setelah memperoleh apa yang ia mau dan tak lupa melemparkan senyum manis tanpa dosa.

***

Hari itu menjadi sungguh berat dan panjang buat Arla. Sepertinya Joyan dikirim ke dunia ini untuk merusak hidupnya yang damai. Waktu istirahat yang seharusnya ia nikmati dengan ketenangan sambil melahap buku ensiklopedia yang baru dia beli bersama sekotak besar jus kacang ijo, dirusak oleh kunjungan Joyan yang ketiga kalinya di kelas.

"Sepupuku kekasihku ..., kita keluar, yuk!" ajak Joyan lantang sehingga seisi kelas mendengar.

Arla terpaku dengan sedotan masih kecantol di mulutnya. Joyan enggak tanggung-tanggung memanggilnya dengan status lengkap sehingga Arla dibuat kewalahan sendiri ketika teman-temannya mengonfirmasi. Jadilah dia seperti korban yang terombang-ambing di tengah lautan paparazzi. Penglaris-penglaris. Laris manis .... Arla angkat tangan sampai Joyan yang mengambil alih situasi.

"Lo semua ingat wajah gue, ya. Gue pacarnya Arla," umbar Joyan begitu bangganya pada semua orang.

"Kita keluar, yuk, Sayang! Istirahat gini elo baca buku?" Joyan merebut di tangan Arla tanpa menghiraukan mendung di wajah Arla akibat perbuatannya.

"Lo jangan lemas gitu, dong. Gue enggak suka," paksa Joyan. Arla berjengit. Dari tadi Joyan terus yang bicara.

"Ayo!"

"Kenapa sih elo suka maksa?" keluh Arla berusaha melepaskan tangannya karena kini mereka menjadi pusat perhatian. Joyan sudah memproklamasikan kalau mereka resmi pacaran, pasti sebentar lagi berita ini akan menyebar dan semua orang bakal tahu identitas sepupu 'gelap'-nya ini.

Joyan lantas mengajak Arla ke tempat yang sering dia datangi. Tempat di mana dulu dia menemukan sebuah poster dan berkat itulah mereka akhirnya dapat bertemu lagi. Betapa bodohnya dia baru menyadari kalau Carlyle yang ia cari selama ini berada di sekolah yang sama dengannya.

"Mau apa kita ke sini?" tanya Arla ketika Joyan malah mengajaknya ke bawah pohon beringin di tepi kolam belakang sekolah. Dia jadi meragukan selera Joyan yang aneh.

"Gue suka merenung untuk mencari inspirasi di sini," kata Joyan seraya tersenyum memerhatikan Carlyle-nya yang enggak banyak berubah, kecuali namanya yang sekarang berganti menjadi Arla.

"Carlyle ...."

"Udah gue bilang jangan panggil gue dengan nama itu!" Arla melengos.

"Kenapa?"

"Gue juga enggak tau kenapa. Gue lupa," keluh Arla.

Hm. Sepertinya Joyan tahu kenapa Arla membenci nama itu. Dia tertawa sendiri.

"Lo meledek gue, ya?" protes Arla.

"Iya. Biar gue bantu mengembalikan ingatan lo yang berkarat itu, Lil."

"Diaaam! Sekali lagi lo ngomong gitu — " Arla mengancam.

"Kenapa? Lo sekarang sudah ingat semuanya? Lo ingat juga enggak sama ini?" Joyan memancing Arla ketika menyibak poni dan memperlihatkan sebuah bekas luka di jidatnya.

"Apaan, sih? Mau mengaku lo itu Harry Potter?" tanya Arla tak paham.

"Lo benar-benar udah lupa, ya? Asal elo tahu saja ... kalau gue Harry Potter, elo Voldemort-nya!"

"Maksud l-lo?" Arla bingung.

"Waktu kita masih anak-anak dulu, lo pernah nimpuk gue pake batu sampai berbekas begini. Masih enggak mengaku juga?" cecar Joyan.

"Emangnya kenapa gue sampai menimpuk lo?

"Karena gue ngomong: gue suka Carlyle, gue cinta Carlyle, gue mau jadi pacarnya Lilil ... lalu elo langsung nimpuk gue sambil nangis-nangis: gue benci elo ... pergi, pergi!" ujar Joyan dengan suara dibuat-buat persis menirukan kata-kata Arla, lengkap dengan ekspresi lebaynya.

"Idiiih ...." Arla kontan menjerit malu dan sebal. Dia ingat sekarang kenapa ia jadi membenci sepupunya yang nakalnya minta ampun ini. Meneriakkan kata-kata yang konyol bagi Arla kecil sambil joget-joget tak karuan-- maklumlah anak TK. Mangkanya dia jadi trauma banget dipanggil Carlyle karena mengingatkan dia akan masa lalu yang memalukan itu. Enggak sudi, deh, ia kenang. 

Arla juga sangat jarang ketemu Joyan sehingga sudah lupa dengan wajahnya. Dan Joyan sepertinya sudah jauh berubah sampai enggak bisa lagi dikenali. Sepupunya ini sekarang sudah enggak ingusan lagi kayak dulu. Arla juga tak pernah ingat dengan nama Joyan karena dulu dia kesulitan untuk mengucapkan nama itu lalu menyingkatnya cukup 'J' saja. Tak heran kalau ingatannya tentang Joyan sangat terbatas. Jadi, sungguh ajaib rasanya mereka bisa bertemu lagi di sini. Dan siapa sangka, cinta monyet Joyan malah berujung serius!

"Kalau gue panggil lo sayang aja, gimana?" usul Joyan. Arla enggak tahu kenapa tiba-tiba dia jadi gugup bertatapan dengan mata Joyan yang tajam.

"Mending lo panggil gue Arla aja biar enggak terlalu menarik perhatian," tukas Arla langsung.

"Yah, padahal gue pikir lo romantis," gumam Joyan kecewa.

"Gue belum percaya sama lo ...." Arla beralasan.

"Jadi lo lebih percaya sama tiga cowok itu daripada gue, sepupu lo sendiri?"

"Mereka kan punya alasan yang jelas, dan caranya juga enggak salah. Tapi elo? Lo cuma mau pamer gue ke orang-orang, 'kan? Mentang-mentang lo sepupu gue, enak aja lo pake cara curang kayak gitu ...."

Joyan enggak ngomong apa-apa. Mau dikata apa lagi, tuduhan Arla sebenarnya enggak keliru sepenuhnya. Cara Joyan memang salah. Andai dia jelaskan sekarang, Arla juga tak semudah itu bakal percaya. Apalagi sejak dulu Arla memang tidak menyukainya dan selalu menangis setiap kali ia kukuh mengekori gadis ini. Mungkin Arla masih berpikir kalau dia masih seorang anak laki-laki yang menyebalkan. 

Selanjutnya, mereka jadi terdiam kehilangan topik pembicaraan. Mereka berdua seperti orang aneh berdiri di bawah akar-akar beringin yang bergelayutan. Suasananya hening, lumayan untuk membuat Arla terhanyut dalam lamunan tentang semua kejadian baru dalam hidupnya selama dua hari ini. Lalu ada desakan dari dalam dirinya yang membuat dia merasa perlu segera menceritakan yang sebenarnya pada Joyan.

"J ...," panggil Arla pelan.

"Eh, lo manggil gue?" tanya Joyan bingung. Arla mengangguk dan menatapnya.

"Hm. Masih aja lo manggil gue gitu. Pelit amat!" keluh Joyan.

"Abis nama lo aneh sih. Atau lo mau gue panggil Jojo?"

"Iya deh, 'J' aja! Tapi coba dong, Joyan, gitu ...." Joyan mengalah setengah hati.

Arla malah tertawa geli melihat tampang kecut Joyan.

"Apanya yang lucu?" protes Joyan.

"Enggak ... gue pikir, lo imut juga kalau lagi cemberut," timpal Arla geli. Joyan balas tertawa. Senang dia melihat Arla yang sudah mulai merasa nyaman dengan dirinya. Joyan pun mulai mencoba terbuka untuk bercerita sesuatu tentang dirinya biar Arla bisa lebih mengenalnya.

"Ingat enggak, dulu kan lo pernah bilang gue jelek? Sejak saat itu gue bertekad akan menjadi cowok yang keren biar kalau gue ketemu lo lagi suatu hari nanti, gue akan membuktikan kalau yang lo bilang itu salah!"

Wuih, pede banget, Arla mencebik.

"Emang gue ada bilang lo keren?" cemooh gadis itu.

Enggak disangka Joyan malah tersipu-sipu. Arla kira tuh cowok bakal membual lagi dengan mulut besarnya. Ternyata reaksinya malah berbeda.

"Emang gue masih jelek, ya, Ar?"

"Mmm." Arla tampak sibuk berpikir sebentar. Dia pura-pura mengamati wajah Joyan dengan serius, sementara cowok itu berdebar-debar menunggu jawabannya.

"Elo tuh aneh deh, J! Gitu aja elo nanya." 

"Hah? Muka gue aneh?" Joyan lantas mendesah kecewa.

Lagi-lagi salah paham, keluh Arla. Dia terpaksa menjelaskan.

"Maksud gue ... aneh kalau lo enggak pede. Lo sendiri kan yang bilang kalau lo keren. Dan kenyataannya ... itu emang benar, kok!"

Mata Joyan membulat enggak percaya. Apa telinganya enggak salah? Arla baru saja bilang dia keren?

"Lo bo-ong, ya?" selidik Joyan tak percaya.

"Masa gue bo-ong sih. Lo kan nanya baik-baik jadi gue juga jujur jawabnya."

Seketika senyum lebar menghiasi wajah Joyan.

"Akhirnya, elo enggak mandang gue sebelah mata lagi. Makasih, ya, Say .... Gue bahagia." ucap Joyan tulus dengan mata berbinar-binar. Sikapnya itu malah bikin Arla salting.

"Sepertinya elo harus membiasakan diri gue panggil Sayang, karena gue emang sayang lo dari dulu. Mulai sekarang, gue ingin terus manggil lo Sayang, Ar..."

Dari dulu Arla enggak mengerti kenapa sepupunya ini begitu bandel baik dalam perkataan maupun perbuatan. Gadis itu melengos malu. Tapi ... masih ada satu yang mengganjal dalam hatinya. 

"J, gue mau bicara soal tunangan ...."

"Tunangan?" desis Joyan.

"Pagi tadi kan gue bilang kalau gue udah tunangan ...-"

"Oh itu," tukas Joyan. "Emang lo serius mau tunangan sama gue? Gue kira itu cuman akal-akalan lo aja buat cari solusi masalah tadi. Tapi kalau niatnya serius, gue senang, kok ... serius!" sahut Joyan bersemangat.

"Bukan gitu J," timpal Arla lemah. Dia merasa bersalah melihat pijar yang sempat menyala di mata Joyan.

"Jadi, maksud lo apaan?" tanya Joyan bingung.

"Soal tunangan itu ...- "

***