High Quality Jomlo

"Ssst, Arla, tuh!"

Begitu Romi yang bertugas memantau di balik jendela kasih aba-aba, belasan cowok di salah satu ruang kelas siaga. Sebisa mungkin mereka mendapatkan tempat yang terbaik untuk "beraksi" di pagi yang indah ini. Seorang gadis dengan rambut dikucir kemudian muncul dari balik pintu. 

Suasana kelas mendadak lengang. Tanpa ragu, Arla menuju tempat duduknya di pojok kiri depan tanpa menoleh ke arah "serdadu pagi" di belakangnya. Setelah meletakkan tas di bangku, Arla langsung mengeluarkan sebuah buku dan membacanya dengan santai— pemandangan rutin.

Silent stalkers ... begitu Arla menyebut mereka. Mendekati akhir semester kedua tahun pertama, dia merasakan atmosfer aneh di kelas. Arla memang punya kebiasaan datang ke sekolah pagi-pagi sebelum siswa lain tiba. Namun, lama-kelamaan makin banyak cowok yang berkumpul di kelas sebelum waktu kedatangannya. Dan anehnya lagi, mereka sama sekali tidak berisik sehingga suasananya makin mencekam. Mereka hanya diam-diam mengawasi keberadaannya.

Tahulah Arla bahwa mereka adalah para penguntit, tapi gadis itu adem ayem saja. Kasus begini, sih, bukan pertama kali buatnya. Pikirnya, selama para cowok itu tidak mengganggunya, ia enggak peduli. Asalkan tidak seperti pengalaman pribadinya yang amit-amit waktu SMP dulu ... ada yang usil ambil foto atau video tanpa ijin. Bahkan ada yang lebih parah lagi ... memasang cermin intip di bawah meja. Alamak.

Arla memang punya daya tarik tersendiri. Gadis itu selalu tampil tenang dalam keadaan apa pun. Kepribadiannya yang feminin terpancar lembut di wajahnya. Arla memang terkenal sebagai cewek yang manis dan baik hati. Begitu banyak yang mengidolakan dirinya, tapi sikapnya bisa dibilang kelewat cuek menanggapi. Itulah yang justru bikin penasaran. 

Begitu pula halnya para cowok yang mencoba menguji peruntungan mereka hari ini-- berharap Arla sudi menengok muka mereka sekali-kali, siapa tahu ada berkah jatuh dari langit, tuh cewek bisa jatuh hati. Tapi, sampai sekarang enggak ada satu pun gayung mereka yang bersambut. Arla hanya mengabsen mereka tak lebih dari lima detik, kemudian gadis itu lebih tertarik untuk menenggelamkan waktu bersama buku-buku tersayangnya.

Arla memang punya prinsip "selama tak ada wilayah dan kepentingan pribadi yang dilanggar, maka setiap orang wajib menghormati hak masing-masing". Gemas, deh. Rumput bergoyang pun bakal gigit jari.

"Anaknya serius amat ...," gumam Jeamie. Ia berkali-kali mengelus sebuah surat cinta yang sudah dipermaknya menjadi pesawat kertas di tangannya dengan gelisah. Namun, entah kenapa sekarang nyalinya lenyap ditelan oleh aura ketenangan Arla yang tak terbaca.

Awalnya, Jeamie pun tak menyangka bakal mencapai kemajuan yang revolusioner dengan ikutan bergabung dalam sejenis perkumpulan "datang pagi demi Arla", wadah berkumpulnya para pemuja yang merasa senasib setujuan, apalagi kalau bukan sama-sama mengincar gadis itu maksudnya.

Dan, di sinilah Jeamie sekarang. Dengan kesungguhan hati dan tekad luar biasa, dia berjuang bersama belasan sesamanya yang berasal dari segenap penjuru sekolah, tapi mereka semua memiliki satu tipikal. Junior. Ya, hanya para junior yang rela melakukan rutinitas sekonyol ini setiap pagi. Tapi enggak ada salahnya juga karena teknik pendekatan konvensional yang dilakukan oleh para senior sudah terbukti ditolak mentah-mentah. Jadi, bisa dibilang ini adalah metode terakhir untuk mendekati sang target.

"Apa, itu?"

Romi tertarik pada pesawat kertas yang ada di tangan Jeamie. Ditatapnya benda itu penuh rasa ingin tahu sehingga Jeamie salah tingkah. Rencananya, pesawat kertas ini akan ia lemparkan diam-diam ke meja Arla tanpa ketahuan. Tapi, mau bagaimana lagi? Inilah resikonya menjalankan aksi dalam "keramaian" seperti ini.

"Surat cinta, ya?" tebak Romi jitu ketika memerhatikan ekspresi Jeamie yang mendadak gelisah.

"Not your bussiness!" Jeamie mencoba berkilah. Romi penasaran dan berusaha merebut pesawat kertas itu dari tangan Jeamie yang kukuh mempertahankannya. Alhasil, mereka terlibat dalam pergulatan hening yang seru tak jauh dari kursi yang ditempati oleh Arla sehingga mulai mengganggu konsentrasi yang lain. 

"ARLA!"

Seorang gadis tiba-tiba masuk ke dalam kelas dan berteriak nyaring mengagetkan mereka semua. Gadis itu langsung menyamperi Arla. Rambut panjang ikal terpilin bak gulungan ombaknya yang dibingkai oleh bandana tampak bergoyang indah karena dia melangkah tak sabaran. Wajahnya yang imut seperti boneka terlihat cantik walau suasana hatinya sedang diliputi oleh amarah.

Para cowok membeku canggung. Baru juga lima menit mereka menikmati pertemuan bisu bersama Arla, ada intermeso tak diharapkan. Jeamie sampai mengurungkan niatnya semula karena cewek yang baru datang itu sudah berhasil membuat illfeel suasana.

Cewek itu bernama Angel, sahabat baik Arla, ketua OSIS yang dikenal sebagai cewek judes sehingga cowok-cowok agak segan sama dia. Meskipun begitu, Angel punya rekor pacaran kilat yang panjang. Kebanyakan putus karena selera Angel yang agak susah dipenuhi atau tak tahan diperintah-perintah oleh cewek itu. Entah kemunculan Angel di sini dianggap sebagai berkah tambahan atau justru pengganggu.

"Tolong jelaskan apa maksud semua ini, Ar!" Angel melempar selembar kertas dengan kasar ke atas meja Arla ... sebuah poster norak, penuh dengan corak amor yang sudah kucel, sepertinya habis diacak-acak, terbentang di hadapannya. Dan Arla pun langsung mengerti akan maksud kedatangan sahabatnya. Bukan karena dia hebat bisa membaca pikiran atau punya antena canggih yang bisa mendeteksi isi otak Angel, tapi karena dia tahu apa yang menjadi penyebab kemarahan Angel.

Arla baru saja melakukan sesuatu di depan mading dengan sebuah poster yang— yakin, deh ... tak butuh otak sepintar Angel, orang bego pun tahu betapa konyolnya isi poster itu.

"Enggak usah berlagak pilon!" omel Angel ketus pada Arla yang pura-pura tak peduli. Dalam hati, Arla ngedumel. Duh, Jel ... elo enggak ada kasian dikit-dikit ama gue, marah-marahin gue kek gitu di depan orang.

Arla mulai merasakan tatapan curiga di sekitar mereka sehingga gadis itu buru-buru menarik Angel keluar kelas, tepat ketika Jeamie menunjukkan gelagat mau ikut campur. Dan hebatnya, Angel masih sempat mengamankan poster di atas meja Arla dan merenggutnya seolah-olah poster itu adalah barang bukti berharga yang harus diselamatkan sebelum terlihat oleh mata Jeamie atau siapa pun.

"Hei!"

Jeamie yang belum keburu menuntaskan misi pun berseru kecewa. Padahal ini adalah kesempatan bagus untuk mendekati dua cewek itu sekaligus. Jeamie yang berasa jadi pecundang segera melengos pergi dari tempat itu dibarengi oleh koor 'huu' yang panjang. Dia sudah terlanjur malu untuk balik jadi mendingan pura-pura pergi saja.

Jeamie memang sedang tidak beruntung. Mungkin ceritanya bakal beda kalau tadi dia sempat membaca poster yang dibawa oleh Angel. Jadi, sebenarnya apa, sih, isi poster itu? Itu juga yang sedang ingin Angel klarifikasikan ke Arla sekarang. Mereka sudah pergi jauh dari kelas—Cukup jauh untuk membuat Angel semakin kesal. Arla mau menyeret dia pergi ke ujung dunia?

"Brenti, brenti!" perintahnya, tapi Arla tak menggubris sampai mereka tiba di taman belakang sekolah. Saking emosinya, Angel bahkan tak sadar ke mana Arla telah membawanya. Dan akhirnya mereka berhenti juga di tepi kolam yang terdapat sebuah pohon beringin tua. Andai sikonnya sedang tidak dalam kondisi emosi, nih, si Angel pasti sudah pingsan, soalnya tempat itu jarang ditongkrongi oleh para siswa karena terkenal angker. Itulah alasan Arla. Biar saja Angel puas memaki-maki dirinya tanpa takut kedengaran oleh siapa pun. 

"Sekarang elo jelaskan semuanya, Ar! Otak elo kebentur apa, sih, pagi tadi?! Masa gue nemu poster konyol ini di mading!"

Satu lagi sifat jelek Angel: tangannya sering tak terkontrol kalau sedang keasyikan mengomel. Arla pun kelabakan menyelamatkan mukanya dari serbuan poster di tangan Angel. Mungkin niat Angel mau mengelap otak Arla, kali, tapi Arla memang orang paling sabar sedunia menghadapi Angel.

"Elo juga kenapa rese banget, sih, Jel? Barusan beberapa menit gue tempel tuh di mading, udah elo cabut ...." Arla cemberut.

"Eh, syukur gue liat nih barang sebelum terlambat! Terima kasih, dong, karena gue udah menyelamatkan hidup elo! Kalau enggak, orang-orang udah pada baca, tau?!"

"Yeey, emang gue bikin itu buat dibaca, kok, Jel." Arla berkilah membela diri. Dalam hati dia kepingin ngakak. Namanya juga poster ... kalau enggak ditempel, buat apa, coba? Masa mau dipakai buat bungkus kacang?

"Elo gila, ya!" Angel mencak-mencak.

"Mau ditaruh di mana muka gue kalau orang-orang pada tau yang bikin poster ini adalah sahabat gue??? Ya ampun, Ar. Elo dapat wangsit darimana, sih? Udah putus asa, ya? Elo kagak mati juga, kali, walau enggak punya pacar! Elo itu sudah sempurna, Ar, enggak butuh siapapun lagi untuk melengkapi diri lo! Lagian bisa-bisanya kepikiran buat bikin rencana gila kayak gini. Kalau mau, tinggal jentik aja satu jari, elo udah bisa dapat cowok yang bagaimana pun dengan gampang!" Angel mencibir. Seandainya yang di depannya sekarang bukan Arla, pasti sudah berang dan ingin membalas mencak-mencak.

"Jangan berlebihan gitu, dong, Jel. Gue, kan, bukan tuhan yang bisa semaunya. Lagian gue juga bikin poster ini pake jari, sama aja, kan, maksudnya?" Arla menyengir lebar menanggapi kata-kata Angel. Saking lebarnya, matanya kini membentuk bulan sabit dan gusi-gusinya kelihatan. Untung wajahnya cantik. Kalau tidak, senyumnya itu susah dibedakan sama kuda!

"Ya jelas enggak sama, Non! Jangan mempelesetkan kata-kata gue, dong!" semburnya kesal pada Arla.

"Jadi, maunya elo sekarang apa, Jel?" Arla bersikap masa bodoh seolah kata-kata Angel tadi tak berefek sama sekali padanya. Mata Angel membulat tak percaya.

"Ah, udah ah! Capek gue ngomong sama orang keras kepala!" tukas Angel kecewa lalu membuang poster di tangannya. Lucu juga kalau dia marah-marah tapi Arlanya sendiri merasa enggak ada masalah sama sekali. Ujung-ujungnya, dia yang repot!

"Terserah elo, deh, Ar!" cetusnya sambil mengelap-ngelap kedua tangannya kayak jijik sehabis memegang poster, lalu beranjak pergi meninggalkan Arla.

"Jel, tunggu bentar, Jel!" Arla menggamit lengan Angel.

"Apa lagi, sih? Omongan kita udah selesai, 'kan?" Angel sok gabut. Tapi Arla tak menggubris keberatan sahabyaatn. Dia justru menggoyang tangan Angel untuk mencuri perhatian gadis itu.

"Jel, coba liat, deh! Kok tiba-tiba ada cowok di sana? Dia menguntit kita, ya?"

"Cowok?" tanya Angel bingung.

"Itu lo, Jel ... di bawah pohon," kata Arla setengah berbisik, tapi telinga Angel langsung menegak begitu menangkap kata "pohon". Sadarlah dia ada di mana mereka sekarang. Memorinya pun berproses dengan panik.

"Aaa ...!!!"

Belum juga melirik ke arah tempat yang dimaksud oleh Arla, Angel sudah kabur terbirit-birit sambil berteriak sejadi-jadinya. Arla mencoba mencari tahu apa yang telah membuat Angel ketakutan— padahal Angel yang dia kenal adalah gadis pemberani-- tapi dia tidak menemukan sesuatu apa pun yang mencurigakan. Ia pun mengedik bahu dan beranjak balik ke kelas.

Seorang cowok berdiri di balik akar-akar beringin yang bergelayutan. Sejak tadi dia berada di sana sampai dua orang gadis tadi datang mengganggu ketenangannya. Kalau orang berpikir yang tidak-tidak, sekilas keberadaannya di sana terkesan menakutkan. Tapi, tak ada tempat setenang ini buat menemukan inspirasi.

Cowok itu menghampiri tempat Arla dan Angel bertengkar tadi, lalu dia menemukan sebuah poster dan memungutnya. Setelah membacanya, seringai lebar tersungging di bibirnya. Siapa sangka dia telah menemukan sesuatu yang lebih menarik dari inspirasi lagu yang sedang dia cari mati-matian.


Are you? The boy that I'll call "Sweetheart"
BUAT KAMU COWOK-COWOK PENINSULA YANG MASIH SINGLE
DAN JUGA LAGI NYARI PUJAAN HATI ....
SIAPAPUN KAMU, TERTARIK DENGAN PESAN INI?
Contact person: [Arla] Tamara Putri
Anytime, anywhere!