SELAMAT TINGGAL MANINJAU
Part 2 

Sebulan kemudian Malik pergi meninggalkan Maninjau. Tujuannya adalah Padang Panjang. Ia sudah mendapat persetujuan dari ayahnya untuk belajar di sana. Ia diantar kakeknya. Tak heran walaupun Malik jago silat, umurnya baru 8 tahun.
Di Padang Panjang ternyata ketekunan belajarnya hanya sebentar. Ia kembali menjadi anak nakal. Gurunya yang lebih muda dari ayahnya menyerah. Malik sebenarnya anak yang cerdas. Dalam waktu singkat ia mengerti bahasa Arab. Tujuan ayahnya mengajari bahasa Arab agar ia mampu mengerti Al Qur-an, Hadits, dan mempelajari kitab-kitab kuning[4]. Tetapi Malik malah membaca novel-novel romantis Barat yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Ia membaca buku perpustakaan milik Zainudin Labai el Junusy, salah seorang murid terpandai ayahnya.

Tidak lama kemudian Malik juga memasuki sekolah Belanda, HIS, Holland Inlandsche School[5].
Hari pertama di sekolah tiba-tiba saja gurunya dengan nada kasar dan keras menghardik Malik, “Zeg, Inlander!”
Sangat dirasakan oleh Malik bahwa perkataan itu mengandung rasa penghinaan. Inlander! Dan iapun teringat bahwa kata-kata ‘inlander’ sering nampak tertulis di gedung-gedung bioskop dan di rumah makan.
Pada waktu istirahat ada seorang murid Belanda, menghardik dan mendorong Malik, “Inlander! Inlander!” katanya.
Si murid Belanda itu memukul punggungnya dari belakang. Malik terjerembab. Ia bangun lalu mengayunkan tinjunya ke ulu hati lawannya. Si bule mencoba menangkis dengan tangannya. Tapi Malik yang jago silat dan rajin berlatih kekuatannya jauh di atas Si Bule, pertahanan Si Bule tembus dan ulu hantinyapun terpukul. Si Bule langsung muntah, “Hoek! Hoek! Hoek!”
Sepuluh orang teman Si Bule membantunya mengeroyok Malik. Tanpa kesulitan Malik menghajar mereka semua satu persatu sampai semuanya terjerembab. Malikpun dihukum gurunya. Disetrap. Tapi ia tersenyum puas karena sudah mengalahkan 10 orang sekaligus.
Tapi saking bandelnya, Malik tidak betah di sekolah ini. Setelah beberapa tahun ia keluar dari sekolah ini.
Pada umur 14 Malik masuk sekolah agama di Parabek, tapi ia sering bolos. Ia lebih tertarik pergi mendengarkan cerita dari pendongeng di sebelah sekolah. Selama satu tahun Malik lebih sering mendengarkan cerita daripada sekolah. Hal ini dilakukan karena ia semakin kecewa dengan ayahnya yang menurutnya tidak memperhatikannya. Puncak kekecewaannya terbukti dengan keinginannya pergi jauh. Ke mana? Ke tanah Jawa.
“Jawa! Awak datang!”, teriak Malik. Ia pergi naik perahu. Lalu ia transit di Bengkulu. Di perahu ia merasa ada benjolan kecil aneh di ketiaknya. Menggelembung dan seperti berisi air.
Sesampai di Bengkulu ternyata benjolannya makin banyak dan iapun terkapar di Bengkulu di rumah familinya. Ia demam tinggi. Ternyata ia sakit cacar. Malik terkapar dan dirawat oleh familinya.
Dua bulan sudah berlalu. Akhirnya Malikpun sembuh. Malang sekali Malik. Rambut yang hitam legam dan tebal miliknya kini telah rontok. Mukanya cacat alias bopengan. Terutama pada hidung. Seluruh badannya bertanda bopeng. Si Kuning Langsat Malik, Si Manis Langsing tidak ada lagi. Malik menjadi bersedih hati.
“Aku selama ini punya kekasih banyak. Setiap kukirim surat cinta pada gadis cantik pastilah diterima cintaku. Aku punya banyak kekasih! Tapi sekarang ... aku bopengan!” batin Malik.
Malikpun bersedih hati berkepanjangan. Kondisi badannyapun menurun dan semakin lemah. Akhirnya ia sakit lagi. Kali ini malaria menyerbu. Panas dinginlah badannya. Tiga minggu lamanya ia terkapar.
Akhirnya Malikpun sembuh juga. Ia sudah tidak betah lagi tinggal di Sumatra. Sekarang ia sudah menjadi pemuda buruk rupa.
“Buat apa aku di Sumatra lagi!” batinnya.
“Aku harus pergi ke Jawa sekarang juga!” lanjut Malik.
Malikpun berangkat dengan kapal laut ke Jakarta. Dari Jakarta ia naik kereta ke Pekalongan.
[1] Kakek dalam bahasa Minang
[2] Kembalikan uang saya
[3] Sebuah gerakan miring dengan melebarkan kaki dan berat badan bertumpu pada tangan. Tujuannya menjepit lawan dengan kakinya.
[4] Kitab Klasik agama Islam
[5] Sekolah Pribumi

Komentar

Login untuk melihat komentar!