JAWA
Part 3 

Di Pekalongan Malik tinggal bersama kakak dan kakak iparnya. Kakak iparnya seorang guru agama di Minangkabau, A.R. Sutan Mansur. Sutan Mansur adalah pemimpin lokal Muhammadiyah di Pekalongan.
  Suatu hari kakak ipar Malik memanggilnya dan menceritakan sesuatu.
  “Malik! Kemarilah!” Sutan Mansur membuka pembicaraan.
  “Ya, Bang Sutan!” jawab Malik.
  “Aku akan menceritakan kisah seorang pembaru Islam di tanah Jawa ini. Beliau adalah pendiri gerakan tempat abang bergerak sekarang ini. Beliau pendiri Muhammadiyah. Beliau adalah Kiai Haji Ahmad Dahlan!”
  “Bagaimanakan kisah beliau itu, Bang?”
  “Begini! Suatu hari ada seorang Kristen yang menghina Islam, namanya  Doktor Zwemmer. Zwemmer mengatakan bahwa agama Islam merendahkan posisi perempuan. Kata bahasa Arab bikr atau perawan dikatakannya satu akar kata dengan baqr atau sapi. Keruan saja hal ini dibantah oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan. Beliau juga mengatakan bahwa dalam Islam laki-laki yang beramal shaleh sama derajatnya dengan perempuan yang beramal shaleh. Jadi ada persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan. Pak kiai juga menantang debat terbuka dengan Zwemmer. Zwemmer yang sudah mengiyakan tidak datang karena takut kalah berdebat. Kemudian Ki Hajar Dewantara menulis artikel di koran yang berjudul “Dr. Zwemmer tidak berani menanggapi tantangan Dahlan”.
  Di hari lain Pak kiai menantang Dr. Laberton seorang misionaris Katholik untuk berdebat.
K.H. Ahmad Dahlan: “Seandainya saja, setelah mendengar ceramah anda mengenai agama anda, saya berhasil teryakinkan mengenai kebenarannya, maka saya bersedia memeluk agama Kristen. Tetapi bagaimana reaksi anda jika anda menemukan kebenaran dalam Islam? Apakah anda bersedia mengorbankan keyakinan anda yang sekarang?”
Dr. Laberton: “Maaf, saya tidak akan berpindah agama. Saya memilih untuk tetap memeluk agama nenek moyang saya karena kewajiban sayalah untuk melakukan hal itu”.
  Demikianlah, Dr. Laberton juga takut,” Sutan Mansyur menutup ceritanya tentang K.H. Ahmad Dahlan.
  “Sehebat itukah Pak Kiai, Abang?” tanya Malik.
  “Ya!”
  “Awak ingin melihat hasil kerja Pak Kiai!”
  “Mari kita keliling ke Panti Asuhan Muhammadiyah dan Polikliniknya.” 
  Merekapun berjalan-jalan. Di tengah jalan mereka melihat seorang pastor sedang menceramahi para pengemis.
  Sutan Mansyur langsung menyuruh para pengemis itu ke kantor Muhammadiyah seraya memberikan bekal uang secukupnya untuk mereka makan.
  “Nanti di sana dapat lagi, Pak!” kata Sutan Mansyur.
  Malik terkesan dengan peristiwa ini. Ia berfikir bahwa Muhammadiyah tidak omong doang seperti ayahnya, tetapi langsung berbuat kepada umat Islam yang miskin.
  Sejak saat itu Malik masuk Muhammadiyah daan aktif di sana. Iapun sering menjadi sukarelawan di Poliklinik Muhammadiyah.
  Sebulan kemudian pamannya Ja’far Amrullah datang ke Pekalongan.
  “Kau ikutlah dengan paman ke Yogya!” kata pamannya.
  “Ada apa di Yogya paman?” tanya Malik.
  “Ada kursus politik Islam yang diadakan oleh Sarekat Islam!”
  “Baguskah itu, Paman?”
  “Bagus sekali! Ada kursus Sosialisme Islam oleh HOS Tjokroaminoto. Ada kursus Sosiologi oleh Raja Mogok dari Jawa Raden Mas Suryopranoto. Ada kursus keislaman oleh wakil ketua Muhammadiyah H. Fakhrudin!”
  “Wah kelihatannya bagus, Paman!”
  “Iya! Tapi kamu harus bilang bahwa umur kamu 18 tahun, bukan 15 tahun! Karena di bawah 18 tahun belum boleh ikut kursus! Tapi Paman menyuruh kamu ikut karena Paman lihat kamu cerdas. Paman kira kamu bisa menangkap ide-ide yang akan disampaikan tokoh-tokoh di sana!”
  “Baik Paman, awak ikut!”
  Merekapun berangkat naik kereta ke Yogyakarta.
  Malikpun mendengarkan ceramah HOS Tjokroaminoto.
  “Sosialisme yang wajib dipelajari dan diwujudkan oleh umat Islam tak lain adalah sosialisme yang berdasar kepada asas-asas Islam belaka. Sosialisme yang kita tuju bermaksud mencari keselamatan dunia sekaligus keselamatan akhirat,” demikian ceramah HOS Tjokroaminoto dalam kursus yang diikuti Malik.

Bersambung

Komentar

Login untuk melihat komentar!