Ayam Geprek
Dua puluh menit berlalu dari terakhir Daniel meninggalkan Wina. Pria itu kembali masuk ke ruang perawatan karena merasa badannya sudah sangat pegal. Dia juga sengaja mematikan ponselnya agar Bella tak bisa mengganggunya lagi. "Saya tidak tahu kamu suka yang mana, jadi saya belikan dua-duanya." ucapnya saat melihat Wina baru akan membuka plastik berisi makanan. Daniel tadi membelinya di sebuah outlet di dekat toko baju tempatnya membeli pakaian. Wina juga telah berganti baju dengan dress warna putih yang dipadukan dengan cardigan warna cokelat. Daniel tak tahu model pakaian seperti apa yang biasa gadis itu kenakan. Daniel tadi hanya asal tunjuk saja dan menyamakan ukurannya dengan si penjaga toko yang kebetulan memiki perawakan yang mirip dengan korbannya ini. Ternyata, pakaian pilihannya itu cukup manis saat dikenakan oleh Wina.

"Bapak udah makan?" tanya Wina yang memberanikan diri untuk sekilas menatap sang bos. Hanya sebentar, mungkin tidak ada dua detik karena Wina merasa mata sipit lelaki itu menjadi sangat tajam kala membalas tatapannya.

Seumur hidupnya, Wina adalah orang pertama yang menanyainya sudah makan atau belum. Asisten rumah tangga di kediamannya akan langsung menyiapkan makanan begitu ia sampai di rumah. Kedua orang tuanya... tidak ada yang mempedulikannya sama sekali. Mereka terlalu sibuk memburu dunia.

"Saya nggak bisa makan makanan yang pedas. Ini untuk Bapak saja." Wina menyodorkan kotak nasi yang berisi lauk ayam geprek. Ayamnya sudah dilumuri sambal cabai hijau, dia tidak mungkin memakannya. Ia lebih memilih ayam yang dilengkapi dengan saus pedas dalam tempat terpisah. Ayam di kotak itu masih original.

Daniel mengangguk singkat, perutnya juga sudah minta diisi. Saat jam makan siang tadi dia hanya sempat minum secangkir kopi dan dua keping biskuit. Memilih duduk di sofa lain dari yang diduduki oleh gadis itu, Daniel kemudian mengambil plastik wadah makanan yang telah kosong.

"Bapak cari apa?" tanya Wina yang baru akan menyuir ayamnya. Kepo karena Daniel sampai membalikkan plastik yang terbuka itu.

"Sendok sama garpunya ...."

Dahi Wina mengernyit, bukankah biasanya dalam paket ayam geprek memang tidak ada alat makannya? Kecuali si pembeli meminta sendiri. "Bapak tadi minta sendok sama garpu?"

Menggeleng polos, Daniel lalu membuka plastik lainnya yang berisi minuman. Dia tidak akan bisa makan tanpa sendok dan garpu.

"Pak, maaf... kalau membeli makanan ini, biasanya memang tidak ada sendok sama garpunya. Ini dimakan langsung pakai tangan." papar Wina sambil mengangkat ayamnya, lalu menyuirnya.

"Kamu yakin?" tanya Daniel yang mengerutkan kening saat melihat Wina dengan lincah menyuir daging ayam dan lantas melahapnya.

Wina mengangguk dengan gigi yang masih mengunyah. Dalam hatinya menebak, orang kaya pasti tidak pernah makan makanan seperti ini. Dia melirik bosnya itu yang kembali menaruh plastik ke atas meja disertai dengkusan pelan. Cukup berani, Wina menarik kotak makan milik Daniel dengan menyondongkan badannya lebih maju. Gadis itu lalu menyuir ayam berlumur sambal cabai hijau tersebut. Setelah selesai, ia kemudian mendorong kotak nasi itu kepada sang bos. "Maaf, saya pikir ini akan memudahkan Bapak untuk makan. Silakan."

Daniel terpekur menatap kotak nasinya. Potongan ayamnya tadi sudah menjadi suiran yang cukup banyak. Sekali lagi, ini juga kali pertama ada orang lain yang memperlakukannya begini. Hatinya yang dingin berangsur menghangat. Sudut bibirnya lalu terangkat sedikit.

"Sebentar."

Tangan kirinya yang baru akan mengambil suiran ayam, mengambang di udara. Daniel menoleh kepada Wina yang malah meringis kikuk.

"Bapak belum cuci tangan." cicit Wina lirih, menyesali suaranya yang keras tadi saat menahan bosnya yang akan makan.

"Saya sudah cuci tangan di luar." sahut Daniel enteng lalu melanjutkan makan. Sambal pedas itu menyentuh permukaan lidahnya. Lagi, dahinya berkerut dalam sambil mengunyah ayam pelan-pelan. Menurutnya, perpaduan rasa makanan ini sangat aneh. Sambalnya terlalu pedas dan daging ayamnya terlalu asin. "Kelihatannya kamu suka makanan itu?"

"Saya laper, Pak." jawab Wina jujur kemudian melihat kotak nasi milik si bos yang masih sama seperti tadi. Nasinya bahkan belum dikeluarkan dari kertas pembungkus. "Bapak nggak lapar?"

Daniel mengikuti arah pandang Wina, dia menggeleng singkat. "Saya nggak suka. Makanan ini rasanya aneh."

"Bapak harus makan ayam sama nasinya secara bersamaan. Pasti rasanya jadi enak."

"Bagaimana kamu bisa tahu? Bukankah kamu tidak suka makanan yang pedas?"

Wina merasa ada yang mengganjal di tenggorokannya. Lelaki di hadapannya ini mengapa menjadi begitu serius? "Saya tahu karena teman-teman saya sering makan ayam geprak, Pak. Dan mereka bilang itu rasanya enak." jawab Wina karena Meisya dan Risma sering mengatakan jika ayam geprek dengan sambal cabai hijau adalah yang terbaik. "Mereka makannya dicampur antara nasi dan sambal, begini ...." Wina lalu mencontohkan cara makan menggunakan tangan secara langsung.

Daniel memperhatikan cara Wina makan, dia jadi penasaran dengan makanan di depannya itu. Apakah rasanya memang seenak ucapan gadis itu yang bahkan dia sendiri belum pernah merasakannya. Pria itu lalu membuka nasi dari bungkusannya, hanya di satu bagian dan dia memakan nasi itu seperti memakan burger. Menggigit gumpalan nasi terlebih dulu, setelah itu baru menyuap suiran ayam.

_________

Wina berusaha untuk tetap terjaga walau ia memejamkan mata. Dia sedang ada di sebuah ruangan dengan seorang pria yang bukan siapa-siapanya. Meski bosnya itu tadi bilang tidak akan berbuat macam-macam dan kenyataannya memang lelaki itu tidur di sofa, tapi Wina tidak bisa percaya begitu saja. Dia harus tetap waspada.

Sementara di atas sofa, Daniel meringkuk memeluk badannya sendiri. Ini kali pertama ia tidur di sofa yang sempit. Pertama kali pula ia tidak memakai selimut yang hangat. Sedari tadi ia menahan-nahan perutnya yang terasa sakit. Dia sudah dua kali mengendap ke kamar mandi untuk buang air besar. Hatinya mengumpat, ini pasti gara-gara sambal tadi. Beringsut bangun dari sofa, Daniel melihat Wina yang sudah terpejam. Dia lalu beranjak ke kamar mandi lagi.

Dug.

"Aduh." Daniel meringis pelan kala jempol kakinya menabrak sudut kaki meja di depannya. Karena terus memperhatikan gadis yang tertidur itu hingga membuatnya menjadi tidak fokus.

"Bapak nggak tidur?" Wina akhirnya membuka suara. Sedari tadi telinganya mendengar bunyi-bunyi aneh dari bosnya tersebut. Mulai dari bunyi perut, pintu yang dibuka tutup dan dengkusan yang berulang. Membuatnya semakin waspada karena ternyata Daniel tidak tidur. Belum sampai dijawab, Daniel sudah berlalu masuk ke kamar mandi.

Selepas dari membuang hajat, Daniel mendapati Wina yang malah terduduk di pembaringannya. "Maaf kalau saya udah ganggu kamu, tapi perut saya sakit."

"Gara-gara sambal tadi mungkin, Pak." sahut Wina yang diangguki pelan oleh Daniel. Dia kembali duduk di sofa sambil memegangi perutnya sendiri. "Periksa ke dokter saja, Pak."

"Nggak perlu." jawab Daniel yang sebenarnya hanya malas berjalan keluar. Pemuda tersebut lalu kembali membaringkan badannya di sofa. Berusaha menutup mata agar bisa segera tidur. Namun, bukannya ketenangan yang ia rasakan, tapi perutnya malah kembali melilit. Sakitnya bahkan sampai ke punggung bagian bawah.

"Bapak bisa pakai minyak ini untuk meredakan sakitnya."

Pasang mata Daniel terbuka sedikit, Wina sudah berdiri di sampingnya sembari menyodorkan botol kecil dengan tutup berwarna merah. "Nggak perlu." timpalnya, menolak pemberian dari korbannya. Minyak itu pasti mempunyai bau yang aneh. Sama seperti makanan yang katanya enak, tapi malah membuat sakit dan harus bolak-balik ke kamar mandi.

"Bapak nggak akan bisa tidur kalau perutnya nggak diobatin dulu. Ini udah di rumah sakit, Pak. Lebih baik Bapak ke dokter kalau nggak mau pakai minyak ini." tukas Wina yang masih bersikeras memberikan minyak angin  itu.

Daniel mencebik, melirik Wina dengan tajam. Gadis itu lama-lama jadi cerewet seperti Bella. "Bagaimana cara pakainya?" tanya Daniel yang sudah membuka tutup ulir botol kecil itu, tapi tak menemukan lubang untuk menuang isinya.

Wina hampir menepuk jidatnya sendiri. Namun, itu ia urungkan karena tak mau membuat bosnya itu tersinggung. Gawat jika dia sampai tersinggung lalu marah, bisa-bisa Wina langsung dipecat dan ditelantarkan di sini sendirian. "Begini, Pak." Gadis itu mengoleskan kepala botol di lengan. Menyontohkan kepada Daniel cara menggunakan minyak itu dengan benar.

Daniel hanya mengangguk-angguk kemudian meraih botol minyak yang telah disodorkan oleh Wina. Ia lalu mengoleskannya di bagian perut. setelahnya, ia mengembalikan botol tersebut kepada sang pemilik sambil berkata, "Tolong oles minyak itu pada punggung saya."

Bersambung.

Susahnya move on dari Pak Dean, Ya Allah 😢
Tiga bulan nulis pakai pov 1, giliran mau pindah ke pov 3 jadi susahnya minta ampun.

Btw, Sekelumit Rindu open pre order lho. Kuy yang mau meluk Pak Dean silakan hubungi WA aku yang tertera di lapak Sekelumit Rindu. Terima kasih semua.

Komentar

Login untuk melihat komentar!