PLOK!
"Aduh... maaf, ya, Dek."
Seorang bocah lelaki mendongak kepada seorang perempuan di depannya, perempuan yang telah menabraknya hingga es krim yang baru ia cicipi itu jatuh ke lantai yang penuh ribuan kuman.
"Kakak akan ganti es krimnya. Please, jangan nangis." Perempuan itu, Wina menangkupkan kedua telapak tangan membentuk sebuah permohonan maaf.
"Siapa yang mau nangis?" tanya bocah itu.
Wina menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Hehe, ayo kakak beliin lagi." ajaknya pada bocah itu seraya mengulurkan tangannya. Namun, bocah itu tak segera menyambut ulurannya.
"Kata Ayah aku nggak boleh ikut sama orang asing." ucap anak itu dengan polos.
"Ha!" Gadis itu agak kaget. "Tapi kakak ini bukan orang asing lho, Dek. Kakak ini asli Indonesia. Emang ada tampang bulenya gitu? Atau mata Kakak sipit?"
Bocah itu malah menatap perempuan di hadapannya dengan raut muka yang keheranan. "Aku nggak kenal sama Kakak."
Perempuan itu menepuk dahinya sendiri sebelum tersenyum dan akhirnya ia berjongkok agar tingginya setara dengan anak itu lalu mengulurkan tangannya. "Kalau gitu ayo kita kenalan. Nama kakak Dewina Oktavia. Nama kamu siapa?"
"Bima." bocah itu menyebutkan namanya sambil tersenyum.
Masih dengan senyumnya yang merekah, Wina lalu mencubit sebelah pipi Bima yang gembul. "Karena kita udah kenalan, sekarang kita udah jadi temen 'kan?" lanjut gadis itu dan membuat Bima mengangguk polos. "Es krimnya Kakak ganti, ya." Dia tidak mungkin memanfaatkan keadaan karena Bima yang terlihat tak masalah dengan es krimnya yang jatuh. Tetap saja dia harus bertanggung jawab untuk menggantinya.
Ketika Bima mengangguk lagi, Wina kembali tersenyum lalu mengajak anak itu untuk masuk ke outlet es krim yang sama seperti yang terjatuh tadi. 'Abis deh, abis. Mana belum gajian lagi.' batin gadis itu meringis mengingat harga es krim milik Bima tadi bisa dikatakan cukup mahal baginya. "Kamu tadi ke sini sama siapa?" tanya Wina ramah, mencoba mencairkan suasana agar tak terlalu kaku.
"Sama Ayah kak Dew ...."
"Wina. Panggil Kak Wina aja." sahut Wina seraya mengusap rambut tebal Bima. Gadis itu tak mau dipanggil Dewi. Bocah itu pun mengangguk patuh sambil terus berjalan mengikuti langkah orang dewasa yang sedang menuntunnya.
Sampai di outlet es krim, Wina memesan satu cup es krim yang sudah ia jatuhkan tadi. Merogoh saku kemejanya dan membayar dengan sebuah ringisan dalam hati. Senyumnya terpaksa ia tampilkan. "Terus, Ayah kamu di mana?" tanya Wina sambil menuntun tangan kecil Bima menuju sebuah bangku di dekat outlet itu. Jangan sampai es krim itu jatuh lagi. Bisa-bisa uangnya akan habis semua.
"Ayah ada di sini." jawab Bima sambil duduk dan bersiap menerima es nya.
"Kamu nyasar, ya?" tanya Wina mulai khawatir. Sepertinya anak di hadapannya ini baru berusia sepuluh tahunan. Dia ikut duduk di samping anak itu. Jam istirahatnya masih beberapa menit lagi. Jika benar anak ini tersesat, maka ia akan mengantarnya ke pos keamanan.
Bima baru akan mencicipi es, sebelum ia mendongak menatap Wina lagi. "Enggak kok, Kak."
Wina mengangguk-angguk. Mencoba percaya dengan jawaban Bima yang penuh keyakinan. "Umur kamu berapa?"
"Sembilan tahun." jawab Bima yang kali ini tak melihat pada Wina. Anak itu sibuk memakan es krimnya. Kepala Wina mengangguk-angguk lagi. Tebakannya meleset satu tahun.
"Bima."
Baik Wina ataupun Bima sontak menoleh ke arah seseorang yang memanggil nama anak itu. Kening Wina berkerut heran ketika melihat manager tampan itu lagi setelah beberapa hari lalu ia dipanggil menghadap sang direktur.
"Ayah." seru Bima, tapi tak segera beranjak dari tempatnya duduk.
Hah Ayah? Pak Andi sudah punya anak? Batin Wina diam-diam bertanya. Pria idola kaum hawa di seantero mal tempatnya kerja ini ternyata sudah punya anak. Dan parahnya si anak sudah berusia sembilan tahun. Benar-benar kenyataan yang mencengangkan. Pak Andi terlihat masih sangat muda untuk ukuran seorang pria yang memiliki anak yang sudah duduk di bangku sekolah dasar.
"Wina, apakah putera saya mengganggu kamu?" tanya Andi sambil menatap mata Wina.
"Pak Andi. Eng,.. tidak kok, Pak." jawab Wina sambil meringis. "Saya tadi tidak sengaja menabrak Bima waktu dia habis beli es krim. Saya minta maaf, Pak." imbuhnya.
"Oh, nggak apa-apa. Anak saya mungkin juga kurang hati-hati." sahut manager itu sambil melirik anaknya yang sedang asyik menikmati es krimnya.
Wina tersenyum lalu mulai beranjak dari tempat duduknya. "Kalau begitu saya permisi dulu, Pak." pamitnya lalu menoleh pada Bima. "Bima, Kakak pergi dulu, ya. Maaf tadi Kakak udah nabrak kamu." Bima mengangguk dan memamerkan ibu jari tangannya membalas permintaan maaf Wina.
"Oh ya, kemarin itu gimana?" tanya Andi setelah Wina berdiri.
Dahi Wina tambah berkerut. "Gimana apanya Pak?" balasnya bertanya, dia memang belum paham.
Tiba-tiba Andi menyentil dahi Wina, hanya pelan dan itu membuat Wina seperti terkena setruman listrik untuk sesaat. "Kamu kemarin dipanggil Pak Direktur? Kenapa dipanggil?"
Bibir tipis Wina membentuk huruf vokal o cukup lama, sambil kepalanya mengangguk-angguk. Sekarang ia paham. "Nggak gimana-gimana, sih, Pak. Cuma diancam mau dipecat aja." jawab Wina enteng.
"APA?"
Kepala Wina sedikit mundur saat kata tanya yang bercampur dengan kekagetan itu menghinggapi telinganya. Menurutnya reaksi pria itu terasa agak berlebihan. "I-iya, gara-gara saya kelihatan judes sama pelanggan. Padahal mah enggak, Pak, cuma rada emosi sedikit." sahut Wina sambil mengatupkan jempol dan jari telunjuknya ketika mengucapkan kata sedikit sambil tertawa kecil.
Andi dibuat terbahak oleh jawaban Wina yang menurutnya konyol. "Yang penting nggak jadi dipecat beneran 'kan." serunya karena Wina saat ini masih memakai seragam kerjanya. Berarti gadis itu masih aman.
"Iya Pak, baru diancam." sahut Wina yang lagi-lagi membuat senyum Andi merekah hingga menampilkan lesung pipit di pipi kanannya.
"Mari, Pak." ucapnya berpamitan lagi. Waktu istirahatnya sudah hampir usai. Lagipula, dia tak mau berlama-lama melihat manager tampan itu. Selain menghindari hosip-hosip yang pasti akan dengan cepat merebak. Dia juga tak mau senyum lelaki itu lancang menggerogoti hati. Pria itu sudah berkeluarga. Dan lagi, Wina tak mau berhubungan dengan kaum Adam lebih dari sebatas teman.
Manager itu mengangguk seraya memamerkan senyumnya. Heran, pria itu seperti tak lelah untuk tersenyum. Selepas Wina pergi, Andi lalu duduk di bangku bekas Wina duduk tadi. "Ayah nggak dikasih, nih?"
Bima langsung memberikan satu suapan kepada sang ayah. "Mama Bima cantik kayak Kak Wina nggak, Yah?" tanya bocah itu dan dibalas dengan senyum manis dan anggukan oleh ayahnya.
Bersambung.