"Kalau saya bisa sendiri, saya nggak akan minta tolong sama kamu." tutur Daniel kala Wina menolak membantunya mengoles minyak di bagian punggung.
Wina membuang napasnya yang berat, kemudian duduk di belakang Daniel, di sofa yang sama. Sedangkan Daniel sudah mulai menaikkan kemejanya di bagian punggung. Tangan Wina gemetaran ketika mulai mendekatkan kepala botol minyak ke permukaan kulit punggung Daniel yang putih. Cepat-cepat gadis itu melaksanakan titah sang bos agar dia bisa segera kembali ke tempat tidur.
"Yang di atas juga."
"Kalau banyak-banyak nanti kepanasan lho, Pak."
Daniel menolehkan kepalanya ke belakang, masih dengan kedua tangan yang menahan naik kemeja biru yang ia pakai. "Kata kamu ini bisa menyembuhkan sakitnya."
"Yang sakit 'kan perut Bapak, kenapa ngolesin minyaknya sampai ke atas?"
Mencebik kesal, Daniel lalu berbalik menghadap Wina. Jari telunjuknya mengacung di depan hidung gadis yang sontak memundurkan posisinya tersebut. "Asal kamu tahu, waktu perut saya sakit, rasanya menjalar sampai ke punggung. Ini semua gara-gara makanan yang kamu bilang rasanya enak ...."
"Lho... yang beli ayam geprek tadi 'kan Bapak sendiri. Bukan saya." sela Wina yang tak mau disalahkan. Karena ini memang bukan kesalahannya.
Telunjuk Daniel bergerak ragu, melihat wajah Wina dari jarak sedekat ini membuat jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Mata bundar Wina seolah mampu menyihirnya hingga ia tidak sanggup berpaling. Dibanding Bella yang selalu memakai riasan, wajah Wina yang alami nyatanya malah bisa menarik perhatiannya. "Kamu yang maksa saya buat makan sambal tadi."
Wina meraih tongkatnya dan beranjak berdiri, menjauh dari bosnya itu. "Terserah Bapak aja lah. Saya mau tidur." ucapnya lalu melangkah menuju ke pembaringan.
Mendesis kesal sembari melihat punggung Wina yang semakin menjauh. Ada setitik ketidakrelaan yang menggelayut di hati Daniel saat berjauhan dengan gadis itu. Daniel merasa... cukup nyaman ketika berdekatan dengan Wina meski mereka bisa dibilang baru saja bertemu. Selang enam menit kemudian, pria itu merasa perut dan punggungnya berangsur panas lalu setelahnya menjadi agak gatal. Lama kelamaan gatalnya malah semakin menjadi-jadi.
Wina yang hampir terlelap kembali mendengar sang bos yang tidak bisa tenang. Dibalik selimutnya, gadis itu mendecak kesal. Bagaimana dia bisa cepat sembuh jika mau istirahat saja tidak bisa? "Bapak bisa diem nggak, sih?" tanyanya yang kembali membuka selimut pada bagian kepala. Cukup berani karena sudah tak sanggup menahan kekesalan.
"Badan saya gatal-gatal, panas."
Mata dan bibir Wina melebar, tak mampu berkata-kata saat melihat Daniel yang akan melepaskan kemejanya. Wina semakin membatu kala si bos malah mendekat ke arah tempat tidurnya. Pria itu sepertinya memang setengah gila, pikir Wina sebelum Daniel berkata.
"Tolong tiupin punggung saya."
Otak Wina mendadak tak bisa mencerna perintah sang bos. Meniup punggung yang selebar papan penggilasan cucian? Mana mungkin? Bisa kaku bibirnya nanti.
Tok tok.
"Assalamu-a-la-i-kum ...."
Keduanya menoleh ke arah pintu. Risma yang baru membuka setengah pintu melotot kaget. Lingkaran matanya seolah ingin melompat. Bibirnya terkatup maju.
____
Tidur berdua di ranjang pasien, terlentang menatap langit-langit ruangan. Risma yang berada di sisi kanan Wina seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya tadi. Mungkin ada sekitar sepuluh menit setelah kepergian Daniel, Risma baru beralih dari tempatnya berdiri di depan pintu. Dia seperti boneka manekin yang kaku.
"Lo bener nggak diapa-apain 'kan?"
"Maksud lo apa?" Wina membalas pertanyaan Risma yang menurutnya aneh.
"Bilang ke gue, Win. Kalau dia macem-macem, kita bisa laporin dia ke polisi. Gue nggak pa-pa kalau dipecat, yang penting lo dapat keadilan."
Wina makin tak mengerti, kepalanya lalu menoleh ke samping. "Keadilan apaan?"
Risma pun menoleh karena suara Wina yang cukup dekat dengan telinganya. "Lo nggak di ...?" ucapan Risma menggantung, kedua jarinya bergerak dua kali secara bersamaan.
"Di?" Wina melihat jari tengah dan telunjuk Risma yang kembali bergerak. Kepalanya berpikir dengan keras. Setelah mengerti, dia langsung menampik jari yang tak mau diam itu. "Nggak usah mikir macem-macem. Dia tadi sakit perut, gue kasih minyak. Sama dia dipakai mandi, makanya kepanasan terus gatel-gatel."
"Minyak apaan yang bisa dipakai mandi, Win?" Gantian Risma yang tak mengerti.
"Hih, minyaknya dibalurin ke perut sama punggungnya semua, Risma ...." Lama-lama Wina gemas juga dengan salah satu teman setianya itu. "Lo kok ke sini? Katanya tadi nggak bisa?"
"Gue tadi telpon Meisya, yang angkat malah ibuknya dan bilang kalau Meisya udah tidur. Gue pikir lo sendirian. Waktu bokap sama nyokap pulang, gue minta anter bokap ke sini. Eh ternyata lo malah sama pak bos." Alis Risma naik turun saat mengucap kata 'pak bos'. BIbirnya juga tersenyum aneh.
Wina mendengkus pelan sembari merapatkan selimutnya. "Alis lo aneh kayak alis sinchan" balasnya lalu memejamkan mata.
_________
Daniel merapikan berkas terakhir yang harus ia periksa. Beranjak dari kursinya yang nyaman lalu kembali memakai jasnya yang berwarna biru tua. Jam kerjanya sudah usai dan dia sama sekali tidak berniat untuk lembur. Tujuannya kini hanya satu, rumah sakit. Dia tak sabar ingin melihat keadaan Wina. Entah memakai sihir jenis apa, tapi gadis berparas manis itu sudah bisa membuatnya merasakan rindu. Seharian ini enam puluh persen otaknya terus memikirkan Wina. Rambutnya yang pendek dan matanya yang bundar, lalu bibirnya yang tipis. Mengingat hal itu malah membuat Daniel senyum-senyum sendiri dan melupakan rasa kesalnya yang tadi malam.
Langkah kaki Daniel terhenti ketika pintu ruangan kerjanya itu terbuka tanpa ada ketukan atau pun semacamnya. Muncul Bella yang menenteng tasnya yang kecil. Dress sebatas paha yang ia kenakan sangat mengganggu pemandangan mata Daniel. Mengapa Bella jadi senang sekali pamer bagian tubuhnya sekarang? tanya Daniel dalam hatinya.
"Kita harus bicara."
"Aku ada urusan." elak Daniel yang mencoba kembali melangkah, tapi tubuh ramping Bella menghalangi. "Kamu bisa bicara sama sekretaris saya di depan."
"Jangan kira aku nggak tahu kalau semalam Kakak bersama perempuan lain."
Ujung bibir Daniel membentuk senyum yang cukup sinis. "Kamu tahu pun, aku nggak masalah." desisnya dengan suara rendah, tapi terdengar sangat tegas dan berat.
Tangan kecil Bella mengepal. Ia tatap pasang mata Daniel dengan berani. "Kakak nggak niat nyelingkuhin aku 'kan?"
"Apa? Selingkuh?" Daniel menggeleng pelan, matanya masih nyalang menatap pada Bella. Yang ditatap pun merasa tak gentar. Keduanya... sama keras kepalanya. "Harus berapa kali aku bilang sama kamu kalau aku udah nggak mau ngelanjutin pertunangan konyol itu?"
"Tadi malem udah diputuskan kalau pernikahan kita kan dimajukan. Papaku sama mama kamu ...."
"Kalau begitu biar papamu sama mamaku aja yang menikah." tukas Daniel enteng lalu beranjak melewati Bella.
"Kak Daniel!" Bella berteriak, kepalan di tangannya makin menguat. "Kita menikah... atau aku akan buat perhitungan sama cewek itu!"
Urung memutar kenop pintu. Daniel menoleh dan menatap punggung Bella. Kedua bahu gadis itu nampak naik turun seirama dengan tarikan napasnya. "Kalau kamu lupa... kamu adalah orang yang membuat dia celaka." tuturnya lalu beranjak keluar dari ruangannya. Meninggalkan Bella dengan debaman pintu yang cukup keras di telinga.
Bersambung.
Semoga besok bisa update lagi, Aamiin.