"Tadi Wina ketemu Ibu lagi, Pak. Ibu sekarang makin cantik, bajunya bagus, uangnya juga udah banyak. Tapi Ibu nggak ngenalin Wina, Pak. Ibu nggak tahu kalau Wina ini anaknya."
Seorang gadis muda berusia dua puluh satu tahun mengusap sebuah batu nisan bertuliskan nama ayahnya. Sore itu seusai pulang kerja, ia mampir ke pemakaman umum tempat peristirahatan terakhir Sang ayah. Sosok tunggal yang ia miliki dan telah meninggalkannya seorang diri di dunia ini semenjak tiga tahun yang lalu. Sepoi angin menggerakkan rambut yang tergerai. Udara musim penghujan memang selalu dingin. Kesunyian menyelinap sampai ke tulang. Sendiri, berteman sepi.
Dewina Oktaviani, nama gadis berambut sebatas bawah bahu itu. Berpijak sendiri, tanpa harapan, tanpa sandaran dan mencoba hidup setegar karang. Ditinggal pergi oleh ibunya ketika usianya baru menginjak tiga belas tahun. Katanya ingin mencari uang yang banyak dan nanti akan menjemput Wina kembali. Belakangan ia tahu, ibunya tak tahan hidup miskin dan memilih meninggalkannya berdua dengan sang ayah.
Hidup mereka memang banyak kekurangan. Ayahnya dulu hanya penjual sayur keliling dengan penghasilan bersih tak seberapa yang harus dibagi untuk makan dan keperluan rumah serta biaya sekolah. Seingat Wina saat masih mengenyam pendidikan sekolah dasar, ibunya dulu adalah orang yang sangat perhatian dan lemah lembut. Ibunya sering menyisir rambutnya dan mengepangnya jadi dua. Ketika Wina beranjak SMP, Bapaknya makin giat mencari nafkah. Sepulang berjualan sayur, Beliau dulu langsung bekerja lagi menjadi tukang parkir di depan sebuah restoran. Hasil bekerja yang tak kenal lelah pun masih belum bisa mencukupi kebutuhan rumah tangga di kota besar macam Jakarta. Biaya kontrakan semakin lama semakin naik. Belum lagi biaya yang harus dikeluarkan mendadak seperti berobat ke rumah sakit. Ibunya sampai ikut menjadi buruh cuci dari rumah ke rumah. Kendati demikian hidup mereka dulu amat bahagia. Ibunya selalu tersenyum ketika ayahnya pulang. Minuman hangat tak pernah terlambat dihidangkan. Sang Ibu selalu mengajari Wina untuk melakukan hal serupa jika beliau belum pulang. Katanya dulu, Bapak sudah lelah bekerja, jadi kita harus menyambutnya dengan baik.
Hingga suatu saat bapaknya mulai sakit-sakitan. Tubuhnya menua dengan cepat mungkin karena kerasnya pekerjaan yang dijalani. Bapaknya sering berpuasa... atau lebih tepatnya menahan lapar demi bisa menghidupi keluarga. Saat itu juga Ibunya yang ramah berubah menjadi sosok yang berbeda. Ibunya sering marah-marah dan meneriaki Wina tanpa sebab. Senyumnya yang lembut seolah lenyap. Pertengkaran mulai sering terjadi dan jika sudah seperti itu maka Wina akan bersembunyi di sudut kamar sambil menutup mata dan telinganya rapat-rapat. Dia tidak suka jika kedua orang tuanya bertengkar.
"Kira-kira... Kenapa Ibu bohongin Wina, ya, Pak? Wina udah nunggu lama Ibu pulang, tapi Ibu nggak pulang-pulang. Wina dulu kayaknya bandel banget, ya, Pak."
Buliran air mata meluncur bebas dari kedua mata Wina. Gadis itu mengusapnya dengan asal. Kemudian tersenyum dan tertawa, tak mau terlihat lemah di hadapan sang ayah, yang sama sekali tak bisa melihatnya.
"Wina sebenernya udah nggak mau mikirin Ibu lagi, Pak. Kayaknya Ibu sekarang juga udah bahagia. Ibu sekarang udah jadi orang kaya."
Wina mengusap kedua pipinya yang seakan tak mau diajak kompromi. Air matanya makin lama makin deras saja.
"Tapi Wina kangen sama Ibu. Wina pengen peluk Ibu. Wina pengen cerita banyak sama Ibu. Wina pengen bareng-bareng sama Ibu lagi ...." ucapnya parau. Menutup wajah dengan kedua telapak tangan demi menutupi tangisnya yang semakin riuh. "Wina takut, Pak. Wina sendirian di sini. Wina nggak ada temen lagi." lanjutnya mencurahkan isi hati.
Jika bukan karena Ibu pemilik kontrakan yang baik hati, mungkin Wina sudah ikut mati dan menyusul ayahnya ke surga. Hidupnya teramat berat untuk seusianya kala itu. Meski ayahnya sering mengajarinya untuk mandiri, tapi dia belum siap ditinggal sendiri di dunia ini. Mandiri bukan berarti harus hidup sebatang kara, bukan?
Puk.
Wina merasakan bahu kirinya ditepuk pelan. Dia memejamkan mata. Siap jika itu adalah malaikat pencabut nyawa. Di dunia ini dia sudah putus asa. Sudah tak ada yang ingin ia raih lagi. Bapaknya sudah meninggalkannya sendirian. Ibunya yang pergi sudah tak mengenalinya. Wina sendiri dan dia membenci hal itu. Andaikan bunuh diri tidak berdosa, pasti sudah ia lakukan sejak dulu. Tapi, dia bersyukur sekarang karena malaikat pencabut nyawa sudah datang menjemputnya. Wina bersyukur, dia akan mati di samping makam Sang ayah. Berdoa dalam hati supaya orang yang menemukan jasadnya nanti mau menguburkannya di sini pula.
Puk.
Tepukan itu terulang lagi. Wina mengomel dalam hati. Mengapa malaikat pencabut nyawa itu lama sekali menjalankan tugasnya. Tinggal menghirup ruhnya, apa susahnya?
"Neng."
Gadis itu terkesiap. Apa malaikat pencabut nyawa bisa berbicara bahasa manusia? Bukankah di buku agama yang ia pelajari dulu, mereka akan memanggilnya dengan sebutan Wahai hamba Allah, begitu?
"Neng, ini udah mau Magrib. Pamali kalau di kuburan lama-lama. Mending Neng pulang aja. Doain Bapaknya di rumah."
Wina membuka mata lalu mendongak melihat ke samping kirinya. Ia dapati seorang Ibu-ibu yang memakai jilbab warna hijau dan sedang menatapnya sendu. Mungkin kasihan melihat keadaannya yang kacau. Gadis tersebut lalu mengangguk seraya mengusap wajahnya yang basah. "Iya, Bu. Terima kasih sudah diingatkan. Saya permisi." ucap Wina lalu beranjak berdiri. Membungkuk sedikit sebelum benar-benar pergi. Dia ingat, Ibu itu adalah penjual air bunga di dekat gerbang masuk pemakaman.
_________
Turun dari kendaraan angkutan umum, Wina mengeluarkan gawainya dari saku kemeja. Rupanya ada pesan masuk dari salah seorang temannya di tempat kerja. Ia membalas pesan itu sambil berjalan perlahan. Kontrakannya sudah dekat.
"Baru pulang, Win?"
"Eh." Wina mendongak dan mencari-cari sumber suara. "Iya, Kak." jawabnya sambil tersenyum ramah ketika melihat anak pemilik kontrakan yang bertanya padanya itu.
"Kalau lagi jalan jangan main ha-pe. Harus fokus." ucap pria itu sambil menggerakkan dua jarinya menunjuk matanya sendiri lalu beralih ke mata Wina.
Gadis itu terkekeh pelan seolah melupakan kesedihannya di pemakaman tadi. "Iya, Kak. Siap." jawabnya seraya berpura-pura hormat pada anak pemilik kontrakan. "Wina masuk dulu, ya, Kak."
Pria itu mengangguk. "Udah makan kamu?" tanyanya hingga membuatnya berhenti melangkah.
Gantian Wina yang kini mengangguk. "Udah kok, Kak." jawabnya berbohong. Sore ini dia tak ada nafsu makan. Sudah biasa pria tersebut bertanya seperti itu kepadanya. Dan jika jawaban Wina sebaliknya, pasti pria itu akan mengajaknya masuk ke rumahnya dan akan memberinya banyak makanan. Wina tak mau merepotkan mereka lebih banyak lagi.
Dean, nama anak pemilik kontrakan itu mengacungkan jempolnya. "Bagus... Inget, hidup ini keras. Jangan lupa makan biar selalu kuat."
Bibir Wina mencebik. "Huu, basi."
Wina dan Dean memang sudah akrab. Sejak Wina kecil, dia sudah tinggal di kontrakan milik Ibunya Dean. Wina seumuran dengan adiknya Dean yang terakhir. Tak jarang Wina juga main di rumah Dean. Saat ayahnya Wina meninggal, Dean dan adiknya lah yang selalu menghiburnya.
Hidup ini keras. Kamu harus makan biar kuat. Nggak cukup kalau nangis doang.
Begitu ucap Dean ketika ayah Wina meninggal dunia. Maka ketika Dean mengucapkan itu dan itu lagi, Wina sudah merasa terbiasa. Cukup sering Wina merasa iri kepada Dean dan adik-adiknya. Meski Sang kepala keluarga juga sudah lebih dulu berpulang, tapi Sang ibu masih ada bersama mereka. Mereka terlihat rukun dan saling mendukung. Berbeda dengan dirinya yang hanya sebatang kara.
Wina mendesah panjang. Mungkin di kehidupan sebelumnya dia ada banyak dosa dan akhirnya baru ia tanggung sekarang. Tuhan menghukumnya harus hidup sendiri dan ia merasa itu sangatlah berat. Pundaknya terasa tak mampu menopang. Dia bahkan tak tahu apa itu arti sebuah keluarga dan kebersamaan.
Bersambung.
Ini ceritanya Dewina yang dulu sempat aku up di Innovel, tapi karena satu dan lain hal jadi aku hapus lagi dan akhirnya up di sini. Aku dulu udah pernah bilang kalau cerita Dewina akan gratis sampai tamat dan baru akan dikunci setelah tamat. Jadi, ini nanti beneran nggak akan aku kunci sebelum tamat. Bagi yang mau baca, silakan baca sebelum terkunci, ya... jangan lupa subscribe, vote, love dan komen di setiap babnya.