Kematian Istriku 7
Kenapa ada darah di ujung mulut Aran? Apa dia terluka? Aku kembali membangunkannya.
Kali ini dia bergerak, lalu membuka matanya, terlihat mata cokelat jernih yang bersinar bagaikan batu permata saat terkena sinar matahari pagi.
"Wahisya?" Dia duduk sembari mengusap sebelah matanya, lalu menoleh ke jendela. "Sudah pagi?"
"Bangunlah. Ramai orang sedang mencari bayi yang hilang. Sebaiknya kamu bantu cari juga," ucapku.
"Bayi hilang?"
Aku mengangguk. Beranjak menuju jendela, lalu membukanya, sehingga lebih kamar terang lagi.
Dia beranjak dari ranjang. Kemudian beranjak ke luar kamar.
Aku membereskan ranjangnya. Namun, tiba-tiba aku berhenti ketika jari menyentuh sesuatu di bawah ranjang.
Menoleh ke arah pintu sejenak, lalu mengambil benda kecil di bawah ranjang. Aku menautkan alis, menatap paku sepanjang sejengkal, sudah tebal karatnya, juga lengket.
Bau karat bercampur anyir dari paku ini, membuat mual. Bahkan telapak tanganku merah pekat yang berasal dari cairan lengket di paku.
Untuk apa Aran menyimpan benda aneh dan menjijikkan ini?
Aku menarik seprei yang telah kotor karena dia menyimpan paku ini di bawah bantal. Sembari memeluk seprei, aku mengedarkan pandangan.
Kemudian meletakkan paku ini ke atas meja samping ranjang. Ada-ada saja, benda seperti ini disimpan.
Banyak bingkai-bingkai foto di dinding. Namun, tiba-tiba aku teringat akan para tamu semalam ketika melihat salah satu foto buram hitam putih.
Ada lima belas orang, sembilan di antaranya adalah tamu semalam, juga ada paman dan bibik yang menjaga rumah ini, terakhir sepasang suami istri sepertinya, istrinya sedang menggendong bayi laki-laki berusia satu tahun. Mereka memakai pakaian jaman dulu.
Wanita ... yang sedang menggendong bayi lelaki ini, mirip ibunya Aran. Mungkin saja anak satu tahun ini, adalah Aran waktu kecil?
Wajah mereka di dalam foto tampak datar tak ada ekspresi. Berfoto di depan rumah ini. Ada satu keganjilan yang membuatku heran, di samping kanan, sepertinya kertas fotonya dikoyak hingga rusak, ada satu orang lagi di dalam foto ini tapi dihilangkan.
Ujung tangannya kelihatan, sepertinya wanita karena memakai gelang, seperti mutiara hitam. Kenapa gambarnya dikoyak?"
"Wahisya?"
Tubuhku langsung terlonjak, lalu menoleh pada bibik yang melangkah masuk ke kamar.
"Aran mana?" tanyanya.
"Sedang mandi," jawabku.
"Aku akan merendam sepreinya," lanjutku. Kemudian bergegas ke luar kamar.
Masih bertanya-tanya, siapa, ya ... kira-kira wanita yang gambarnya dihilangkan?
***
Aku menggendong Miana di punggungku, sedangkan Nawa berjalan di depanku sembari membawa ember kecil peralatan mandi.
Nawa sangat lucu dengan handuk warna merah muda yang melilit tubuhnya. Kulitnya yang putih dan rambutnya yang panjang, menjadikannya begitu cantik.
Aku sudah melihat rupa almarhumah ibunya melalui foto. Nasera begitu jelita, jadi menurun ke putrinya.
Suara ramai ibu-ibu bercakap, dan tawa riang anak-anak ditambah suara aliran sungai sudah terdengar.
Kami melewati jalan setapak selebar satu meter yang semennya sudah mulai rusak, diapit pagar bambu batas kebun kacang.
"Hati-hati, sini pegang tangan mama." Aku menjulurkan tangan pada Nawa, ketika hendak menuruni jalan agak terjal berbatu untuk ke sungai.
Hingga akhirnya kami tiba. Sudah ramai para wanita yang sedang mencuci piring atau pun pakaian di tepi sungai. Anak-anak berenang menyelam.
Sungai panjang berbatu, di seberangnya ada pohon bambu rimbun berjajar di sepanjang sungai, dan hutan. Beberapa orang cuma lewat saja menyeberangi sungai dengan pakaian kebun membawa ambung ke seberang.
Aku mengganti handuk anak-anak dengan telasan—kain untuk mandi—mereka cukup senang, apalagi ramai anak-anak juga.
"Dari kota, ya?" tanya salah satu wanita yang sedang membilas cuciannya padaku.
Aku mengangguk.
"Oh, dia ini calon bininya Aran Sambari? Kemarin Marna cerita," sahut wanita lain.
Aku kembali mengangguk, sembari menggendong Miana yang ingin sekali memasuki sungai, tubuhnya berlonjak-lonjak sembari menunjuk air.
Aku menggandeng Nawa, berjalan memasuki sungai.
"Dingin, Mama," ujar Nawa sembari tersenyum menggigil.
Kami tiba di tengah-tengah. Bawa sudah basah kuyup karena anak-anak yang tertarik padanya, mencipratinya air.
Dalamnya di bawah pinggangku.
Aku harus berjongkok agar bisa terendam sampai dada.
Miana berteriak kegirangan sembari memukul-mukul permukaan air hingga masuk ke mulutnya.
Nawa yang asyik berenang tiba-tiba mendekatiku. Dengan kepala tertunduk.
"Nawa, ada apa? Anak-anak lain nakal?" tanyaku. Karena tak ada kesenangan lagi di raut mukanya.
Dia menggeleng, lalu menunjuk ke seberang sungai. Aku mengikuti arah telunjuknya.
"Dia ada di sana. Sedang memperhatikan kita," jawabnya lirih.
"Kita sabunan dulu, baru pulang," ucapku. Nawa mengangguk, aku membimbingnya kembali ke pinggir sungai.
"Aku semalam lihat Kuntilanak. Seram sekali. Jangan-jangan Kuntilanak itu yang culik bayinya Pak RT?"
Aku tak sengaja mendengar obrolan para wanita itu.
"Ih, terjadi lagi. Padahal kita sudah kasih sesajen. Dukun wanita itu, matinya malah jadi kuntilanak. Mungkin mau balas dendam sama warga yang dulu bakar dia hidup-hidup," sahut yang lain.
"Hust, jangan ngomongin itu. Nanti calon istrinya Aran dengar, terus mengadu. Bisa didatangkan demit kita malam nanti."
"Mereka, kan, mantan pengikut pemuja ilmu hitam."
"Jangan bicara seperti itu! Desa kita aman sekarang karena bantuan keluarga mereka."
Aku tak mengerti sama sekali dengan apa yang mereka obrolkan sesekali melirik sekilas padaku.
Setelah membilas badan, aku membawa anak-anak pulang.
"Mama, tadi mereka membicarakan papa. Itu, kan, bahaya. Tidak bisa menjaga lisan, sama saja dengan tidak bisa menjaga nyawa, kan?" celetuk Nawa saat kami dalam perjalanan pulang.
"Jangan dengarkan mereka. Tidak ada yang seperti itu," tegurku.
"Dia akan mengambil Miana jika papa tidak segera memberikan gantinya," jelas Nawa lagi.
Aku hanya diam. Otakku tak sampai berpikir ke sana-sana. Keanehan ini, terlalu sulit untuk dicerna.
"Ma," panggil Nawa. Merapatkan badannya padaku.
"Hm?"
"Itu ...." Nawa menunjuk keramaian di depan salah satu rumah. Wajah-wajah orang itu terlihat cemas dan takut.
Nawa menarikku untuk melihat ke sana. Ternyata dia sama sepertiku, tukang kepo.
Aku melotot melihat dua orang sudah mengeras dengan kulit hitam gosong. Lalu warga kembali ke luar dari rumah itu sembari mengangkat satu lagi mayat yang seperti habis terbakar.
"Apa yang terjadi?" tanyaku.
"Mereka kelompok tukang santet. Katanya mereka bisa mengirimkan penyakit santet pada anggota keluarga lemah dari orang membuat arwah dukun itu bangkit untuk meneror penduduk desa. Mereka baru sampai ke desa ini seminggu yang lalu. Satu keluarga kayaknya," jelas seorang bapak-bapak di sampingku.
Jumlahnya ada tiga mayat, tak tahu wanita atau laki-laki.
"Lalu, kenapa mereka ... bisa seperti itu?" tanyaku lagi.
"Entahlah. Sepertinya sudah seperti ini sedari kemarin. Tak ada yang tahu kenapa. Karena tercium bau gosong busuk, jadinya warga memeriksanya. Mereka ditemukan dalam keadaan seperti ini. Di ruangan perdukunan seperti habis melakukan ritual!"
Aku mengangguk. Ada-ada saja. Mengirimkan santet pada orang lain, adalah perbutan yang sangat berisiko besar.
Mengingat Miana kemarin juga terkena santet. Seram sekali.
"Ayo kita pulang, nanti bibik khawatir kalau kelamaan." Aku menarik tangan Nawa untuk beranjak pergi.
Desa ini memiliki cover yang indah, dan tetapi begitu banyak duri mengerikan di baliknya.
______