Dia Kembali
Kematian Istriku 3

Aku berdiri lemah menatap jenazah bibiku diturunkan ke tempat peristirahatan terakhirnya. 

Habis sudah keluargaku, hanya bibi satu-satunya yang kupunya. Namun, beliau malah pergi dengan cara gantung diri.

Kenapa? 

"Yang sabar, ya. Doakan bibimu supaya tenang di sana," ucap Buk Narti, tetangga kamu, yang kini memegangi bahuku agar kuat berdiri.

Langit menjelang sore mulai ditutupi awan hitam, angin di pemakaman berembus kencang membawa wangi kamboja serta aroma tanah basah.

Setelah selesai, para pelayat satu per satu mulai meninggalkan pemakaman. Apalagi hujan setipis jaring sudah berjatuhan. 

Kini tinggal aku sendiri, awalnya mereka membujukku untuk pulang, tetapi aku ingin menunggu sebentar lagi. Rasanya sulit menerima kematian bibik, beras langkah untuk meninggalkannya.

"Wahisya," panggil suara lelaki mendekatiku, bersama kedua putrinya.

Aran baru saja tiba, dia menggendong Miana di punggungnya, sedangkan putri sulungnya, Nawa memakai payung kecil sendiri. Wajahnya tampak panik dan cemas, mungkin ia baru tahu bibiku meninggal dari kabar orang lain karena itu Aran terlambat datang, sebab aku belum memberitahunya.

"Mas, bibik ...." Aku berdiri, dia merangkul bahuku, mengusap-usap lengan atasku.

"Apa yang terjadi? Aku baru mendapat kabar bibimu meninggal," tanyanya.

"Bi-bibik bunuh diri," jawabku terisak-isak.

"Astagfirullah! Kenapa bibik melakukan ini!" kaget Aran dengan suara begitu terkejut.

"Mama," panggil Nawa, ia sudah berjongkok di dekat nisan bibi sembari menarik ujung bajuku. Kedua anak Aran memang sudah memanggilku begitu, karena kami sangat dekat.

Nawa mendongak menatapku, masih dengan pandangannya yang kosong. "Bibi tidak bunuh diri," lirihnya.

Aku mengernyit bingung padanya. Ah, mungkin saja Nawa masih belum mengerti hal ini. Langit semakin gelap saja. Petir menyambar setelah kilat yang begitu terang. Suara gelegar petir membuat tersentak dan memekakkan telinga.

"Bibi tidak mau mati. Tapi dipaksa untuk mati," lanjut Nawa sembari mengusap nisan tersebut.

"Nawa, jangan bicara seperti itu!" tegur papanya.

"Tapi, bibi benaran tidak bunuh diri, Mama. Dia membunuh bibi. Leher bibi diikat tali ... lalu digantung," lanjutnya. 

Setelah itu angin berembus kencang, membawa udara dingin menusuk kulit, apalagi pakaianku basah. Hujan semakin deras, mengharuskan kami agar pulang.

"Sebaiknya kita pulang. Nawa, ayo," ajak Aran. 

Aku berjalan satu payung di samping Aran. Menoleh ke belakang, karena Nawa berjalan lembat di belakang kami. Gadis kecil itu terus memperhatikan kakiku.

"Nawa, ayo," panggilku. Nawa mendekati kami.

"Kamu sedang apa?" tanyaku lantang, mulutnya tadi terus bergerak seperti mengucapkan sesuatu, tetapi samar karena suara hujan.

"Menghitung langkah Mama," jawabnya.

Aku menoleh pada Aran yang hanya diam. Sungguh aku tak terlalu mengerti dengan cara berpikir Nawa. Dia penuh kejutan dan berbagai keunikan hingga mencapai tahap membingungkan.

"Kenapa dihitung?"

"Empat puluh langkah Mama meninggalkan makam bibi, maka bibi akan bangun lagi," jelasnya.

"Nawa, jangan bicara aneh-aneh. Mama sedang berduka!" tegur Aran membentak.

"Tidak apa-apa. Namanya juga anak-anak. Kadang asal bicara. Ayo, Nawa. Jangan berjalan di belakang lagi," ujarku. Kami kembali berjalan.

"Aku tidak bicara aneh-aneh," jawab Nawa. "Mama sudah empat puluh langkah. Dan bibi sekarang ada di belakang Mama," lanjutnya.

Membuatku kembali berhenti berjalan. Mungkin karena sugesti tubuh setelah mendengar itu. Leherku meremang dan terasa dingin. 

"Jangan dengarkan Nawa. Dia memang suka berhalusinasi," ucap Aran. 

Setelah beberapa langkah lagi, kami tiba di mobil. Aku duduk di jok depan di samping Aran yang sedang menyalakan mesin mobilnya.

Miana dan Nawa di jok belakang. 

Aku menyandarkan punggung. Tubuh yang basah membuat kedinginan dan sedikit menggigil. 

Ketika melihat kaca spion, aku tersentak kaget melihat wanita mirip bibiku dengan tubuh kotor oleh tanah basah, berdiri di belakang samping mobil, dan tengah menatapku juga.

"Ada apa?" Aran menepuk bahuku, membuatku terpekik terkejut. Lalu menoleh padanya.

"Aku baik-baik saja. Tidak ada apa-apa," jawabku gugup. 

Dia mengangguk, lalu melajukan mobil meninggalkan area pemakaman. 

*** 

Malamnya, para tetangga sudah pulang. Aku dan kedua putri Aran tidur di kamar bibi.

Rumah sudah rapi, dan para tetangga sudah pulang. Aran tidur di kamarku. Sudah sangat larut, ditambah hujan masih sangat deras. Sebaiknya mereka menginap.

Aku terbangun dari tidur ketika mendengar suara Nawa memanggil. 

Nawa duduk di sampingku sembari memeluk lututnya. Dalam keadaan remang, mataku mulai menyesuaikan agar melihat dengan baik. Dia menatap ke pintu yang entah sejak kapan terbuka, memperlihatkan ruang tengah yang gelap.

"Mama," panggil Nawa lagi tanpa menoleh padaku.

"Sayang, kenapa? Belum bisa tidur?" tanyaku sebari duduk.

Nawa mengangkat tangannya ke ruang tengah, lalu jari telunjuknya menunjuk ke sana. Aku mengernyit heran.

"Mama, dia datang," lirih Nawa dengan suara gemetar. Bisa kulihat matanya basah, dia menangis. Raut wajahnya menunjukkan ketakutan. "Dia datang ...."

"Nawa, dia siapa?" tanyaku kebingungan.

"Nawa takut, Mama. Usir dia! Mama ...." Nawa kini menangis sesenggukan. Matanya melotot tak berkedip, tubuhnya semakin gemetar ketakutan.

"Tidak apa-apa. Tidak ada siapa-siapa di sana." Aku mendekapnya erat, mengusap punggungnya agar ia tenang. 

"Dia di sana. Dia bilang sesuatu. Mama tidak dengar?" tanya Nawa. 

"Dia tidak ada. Kamu harus tidur, ya." 

"Tapi ... dia bilang ... Mama akan mati," lanjut Nawa.

Aku melepaskan pelukan. Kemudian mengusap pipinya. "Siapa pun, dia. Dia tidak ada dan tidak nyata." Beranjak turun dari ranjang, Nawa menahan tanganku sembari menggeleng.

"Tidak apa-apa. Biar mama lihat siapa itu." Aku melepaskan tangannya. Kemudian menghidupkan lampu kamar. Setelah itu beranjak menuju pintu.

Kini aku berdiri di ruang tengah dekat pintu kamar yang terbuka. 

"Lihat, tidak ada siapa-siapa," ucapku sembari menghadap Nawa yang semakin melotot ketakutan. Aku semakin mundur ke tengah-tengah. Mengedarkan pandangan, ruangan yang remang dan sunyi.

"Mama ...!" jerit Nawa.

BRAK!

Pintu kamar tiba-tiba tertutup dengan kuat. Nawa langsung menangis kencang di dalam kamar.

Aku berlari menuju pintu, lalu berusaha membukanya, akan tetapi sepertinya terkunci dari dalam. Lalu memukul-mukulnya. "Nawa ...." 

"Mama ...." 

Panik, aku berlari ke kamarku untuk memanggil Aran. 

Aku mengetuk-ngetuk pintu kamar tempat Aran tidur sekarang. Berkali-kali dan semakin kuat, tetapi tidak ada respons. Bahkan pintunya pun dikunci.

"Mas Aran, tolong ...!" teriakku. 

Apa yang terjadi? 

Aroma jeruk nipis bercampur kapu barus tercium menyengat, ditambah udara yang entah mengapa tiba-tiba sangat dingin yang tak wajar. Timbullah prasangka yang tidak-tidak hingga membentuk ketakutan.

Aku membalik badan lalu melangkah pergi untuk meminta bantuan di luar. Baru beberapa langkah, tiba-tiba pintu kamar di belakangku terbuka menimbulkan suara derit yang pelan tetapi nyaring.

Perlahan aku membalik badan kembali. Tubuhku langsung mematung melihat sosok bibik berdiri di samping ranjang sembari menghadap pintu, menatapku melotot dengan mulut menganga sangat lebar serta merintih panjang.

Telunjuk Bibik mengarah pada Aran yang sedang tidur. Bibik terus menunjuk lelaki itu dan semakin kencang merintih.

Namun, kini telunjuk Bibik beralih menunjuk ke arahku. Tangannya gemetar, kepalanya menggeleng kuat. 

Apa aku ... sedang bermimpi.

Akan tetapi, barulah kusadari ... sebenarnya telunjuk bibik bukan mengarah padaku, tapi sesuatu di belakangku yang menguarkan aroma busuk dan berbisik kata-kata yang tak dimengerti.

Perlahan kepalaku menoleh ke belakang. Sosok wanita berwajah buruk dengan rambut panjang kusut dan lidah panjang terjulur, begitu dekat denganku.

"Aaaaaaa ...!" jeritku, menutupi wajahku sembari berjongkok ketakutan. Aku berteriak-teriak tanpa henti. 

"Wahisya!" Suara Aran memanggilku. Kemudian kurasakan di mendekapku. 

Aku langsung memeluknya dengan tubuh gemetar hebat, dan rasa ngeri merinding di sekujur tubuh. Perasaan takut yang luar biasa hingga tak bisa dijabarkan.

Aku menangis kencang di pelukannya.

"Tidak apa-apa. Tenanglah ...."

***

"Ini, minumlah." Aran memberikan secangkir teh hangat padaku yang duduk di kursi ruang tamu masih dalam keadaan syok berat.

"Anak-anak sudah tidur. Mungkin kamu kecapean, apalagi setelah mendengar omongan Nawa, jadinya halusinasi," ujar Aran sembari duduk di kursi hadapanku.

Aku mengusap air mata di pipi menggunakan lengan bajuku. "Aku ... aku takut sekali."

"Tidak apa-apa. Sekarang semua akan baik-baik saja, hm. Minum tehnya agar lebih tenang."

Aku memegang cangkir teh dengan tangan gemetar, lalu menghirupnya perlahan.

"Wahisya," panggil Aran. Aku mendongak menatapnya yang terlihat serius hendak mengutarakan sesuatu. 

"Apakah harus kita membatalkan pernikahan kita? Wahisya, bisakah kita melanjutkannya? Aku ingin menemuimu. Anak-anak juga sudah menganggapmu," ucapnya memelas.

Aku begitu mencintainya, sungguh. Dia lelaki yang baik, banyak membantuku selama ini. Terlepas dari istri-istri sebelumnya yang telah meninggal, itu tak berpengaruh padaku.

"Hisya, kamu mau, kan, menikah denganku?" tanyanya.

Aku mengangguk pelan. Membuatnya tersenyum senang. 

Setelah beberapa saat, aku meletakkan cangkir teh yang sudah kosong ke meja. Aran menyuruhku untuk kembali tidur.

Aku melangkah memasuki kamar. Anak-anak benar-benar sudah terlelap. Perlahan membaringkan diri di ranjang di samping mereka yang ada di sebelah kananku.

Masih memikirkan tentang kematian bibik dan segala keanehan yang menimpaku. Kantuk mulai mendera, aku membalik badan ke kiri.

Di saat itulah aku melihat sosok wajah bibik dari dekat.

"JAUHI LELAKI ITU ...!" jerit bibik sangat kencang.

______



Komentar

Login untuk melihat komentar!