Gantung Diri
Kematian Istriku 


"Istrimu seperti mengalami baby blues, jadi sebaiknya perhatikan dia. Jangan sering-sering meninggalkan istrimu berdua saja bersama bayi kalian. Ibu akan tinggal di sini untuk mengurus mereka!" 

Aran hanya mengangguk mendengarkan ucapan ibunya, sembari membereskan berkas-berkas yang akan ia bawa ke kantor nanti.

"Kamu lihat dong, keadaan istrimu sekarang. Lihat di berita juga, banyak kejadian ibu-ibu muda yang mencelakai anak sendiri karena babyblues!" Marna berdiri di ambang pintu kamar anaknya. Menatap kesal Aran yang sepertinya tak mengambil pusing akan itu.

"Kamu sepertinya tak senang punya anak perempuan? Dengar, laki-laki atau perempuan ... anak adalah anugerah," ucap Marna menasihati.

Aran sangat ingin memiliki bayi laki-laki, waktu USG pun dokter mengatakan jika bayinya laki-laki.

Namun, saat lahir ternyata ada kesalahan karena sebenarnya bayinya perempuan. Aran tidak marah, hanya saja kecewa.

"Ibu rasa kamu sedang menyembunyikan sesuatu, tetapi keadaan istrimu saat ini seolah-olah tahu apa yang kau sembunyikan, Aran," tebak Marna. Berhasil membuat putranya itu tiba-tiba terdiam sejenak.

Aran tersenyum menatap ibunya. "Ibu ngomong apa, sih?"

"Terima kasih, sudah datang untuk membantu. Aku benar-benar sibuk di kantor. Tolong jaga istriku, ya." Aran buru-buru mencium punggung tangan ibunya, lalu bergegas melangkah ke luar kamar.

"Kamu dengarin ibu ngomong nggak, sih? Nanti kamu nyesel baru tahu!" omel Marna mengikuti langkah putranya yang menuruni tangga menuju lantai bawah.

"Aku dengar, Bu. Tapi aku udah telat! Kan, aku ini seorang pemimpin perusahaan, masa telat? Tidak mencerminkan kepemimpinan baik bagi karyawannya!" sahut lelaki berusia awal tiga puluh tahun itu.

Langkah Aran tiba-tiba berhenti saat berpapasan dengan istrinya yang sedang menggendong putri mereka yang baru berusia enam bulan di dada.

Aran menatap sejenak wajah pucat serta tatapan kosong istrinya. Wanita itu seperti bunga yang telah layu. 


Lelaki itu berlalu melewati istrinya. Namun, tangannya tiba-tiba dipegang tangan kanan Nasera, sedangkan tangan kiri menggendong bayinya.

Aran menautkan alisnya heran. Istrinya menatap tajam dengan mulut terkatup rapat.

"Ada apa?" tanya Aran.

Setelah beberapa detik saling tatap, Nasera kembali melepaskan pegangannya pada tangan Aran.

"Mas sudah telat." Aran kembali melangkah terburu-buru.

"Kau akan mendapatkan balasannya," lirih wanita itu.

Aran menghentikan langkahnya lagi ketika mendengar suara lirih istrinya seperti bisikan. Ia dengan cepat menoleh, dan melihat istrinya itu sudah melangkah menaiki tangga.

Lelaki itu menggeleng. Mungkin salah dengar, pikirnya. Kemudian benar-benar pergi.

*** 

Marna memasak sup daging, aromanya menguar ke mana-mana. Sesekali wanita setengah baya yang sudah lama menjada semenjak ditinggal mati suaminya sepuluh tahun lalu akibat sakit bertahun-tahun.

"Nak, ayo makan dulu," panggil Marna pada menantu yang amat disayanginya itu.

Marna mencuci tangannya di wastafel, suara air yang mengucur terdengar nyaring. 

"Nasera sayang, ayo makan. Ibu udah masakin sup daging kesukaan kamu," panggilnya lagi.

Marna mematikan keran air, tidak ada sahutan, tetapi terdengar samar suara tangisan bayi di lantai atas. 

Marna mengecilkan api kompor. Kemudian mengelap kedua tangannya. Entah mengapa tiba-tiba perasaannya tidak enak. Bergegas wanita setengah baya itu ke luar dapur.

Semakin naik ke tangga, semakin jelas terdengar suara tangisan bayi.

"Nak," panggil Marna sembari memasuki kamar yang pintunya tidak ditutup. Suara tangisan cucunya tiba-tiba berhenti seketika.

Dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan gundahnya, Marna berlari menuju pintu kamar mandi yang ada di kamar tersebut.

Langsung saja ia membukanya. Matanya terbelalak panik melihat seluruh badan cucunya tenggelam di baskom mandinya.

"Astaghfirullah!" jerit Marna, bergegas ia mengangkat cucunya yang sudah pucat karena terlalu lama terkena air. 

Wanita setengah baya itu menoleh pada menantunya yang hanya berjongkok dengan pandangan hampa seperti melamun panjang.

Marna bergegas mengambil handuk. Duduk di tepi ranjang, memeriksa cucunya. Ia menghela napas lega, karena Nawa, masih hidup. Tak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika dia terlambat tadi.

Marna menoleh pada menantunya yang baru ke luar dari kamar mandi. Nasera sesenggukan dengan suara pelan, air matanya sudah deras mengalir, tatapannya lurus ke depan.

"Nasera, ada apa denganmu ini? Jika kamu capek, istirahat saja." Nasehat Marna memelas sedih.

Nasera hanya berdiri diam. Tubuhnya semakin kurus dengan kantung mata menghitam. Dia  terlihat menyimpan beban yang berat tetapi tidak mau mengatakannya.

Marna membaringkan cucunya di ranjang. Kemudian mengambil pakaian bayi di lemari. 

Setelah memakai pakaian dan bedak serta minyak telon ke cucunya. Marna menggendong bayi bertubuh gemuk itu.

"Ayo, ibu sudah masak. Kamu harus makan," ajak Marna pada menantunya itu. 

***

"Ini, berikan ASI dulu pada putrimu. Dia sepertinya sangat lapar." Marna meletakkan perlahan cucunya yang terus menangis di pangkuan Nasera yang duduk di kursi meja makan.

Marna beranjak ke belakang menantunya, merapikan rambut panjang kusut tak terawat Nasera. 

"Benar-benar keterlaluan Aran ini! Istri malah tidak terurus," rutuk Marna pada putranya, sembari menyisiri rambut Nasera. Wanita setengah baya itu tertegun melihat rambut rontok sangat banyak.

"Sayang, nanti sore kita ke rumah sakit, ya," bujuk Marna. 

Nasera mengangguk tanpa bicara. 

"Apa suamimu melakukan sesuatu padamu? Jika dia berlaku tidak baik, bilang saja ke ibu. Jangan dipendam sendirian masalahmu," ujar wanita paruh baya itu. Ia tahu pastilah masalah Nasera besar sampai keadaannya seperti ini.

"Mas Aran," gumam Nasera. Tubuhnya gemetar, dan tiba-tiba memegang tangan ibu mertuanya. "Ibu, jangan tinggalkan aku sendirian. Ibu tetaplah di rumah ini, jangan pergi ...."

"Nak, ibu akan temani kamu. Kamu jangan khawatir." Marna memeluk bahu Nasera. 

Setelah itu, Marna menyajikan sepiring nasi dan semangkuk sup daging di meja makan untuk menantunya. 

"Tunggu sebentar, ya. Ada telepon,"ucap Marna. Kemudian beranjak ke dalam ruang tengah karena telepon rumah berbunyi.

Nasera menatap lurus ke depan. Kemudian menunduk melihat putrinya yang sudah kenyang. Bayi itu menatapnya dengan mata bulat dan polos.

Nasera menggeleng cepat dengan mata melotot. Kemudian berdiri sembari mengedarkan pandangannya. Hingga tatapannya tertuju pada panci sup yang masih bertengger di atas kompor.

Nasera beranjak mendekati kompor. Kemudian menghidupkan apinya. Ketika membuka tutup panci, asap panas mengepul. 

"Apa? Kamu mau ke luar kota?" Kaget Marna.

"Ini juga mendadak, Bu. Aku akan empat minggu lagi," jawab Aran di seberang telepon.

"Kok, mendadak? Kamu udah bilang ke istri kamu? Kamu, kan, tahu keadaannya sekarang? Nanti sore ibu mau ngajak dia ke rumah sakit! Selama ini apa saja yang kamu lakukan padanya sampai keadaannya seperti ini?" omel Marna.

"Ini mendesak. Lagian sekarang ada ibu yang jagain. Dia bukan anak kecil, apa-apa harus aku yang tanggung jawab, dia cuma mengurus bayi satu doang seperti itu!" jawab Aran.

"Kamu ngomongnya gitu, sih? Sebelum berangkat ke luar kota, kamu harus pulang dulu! Pamit istrimu dulu!"

"Aku tidak punya waktu, aku harus berangkat sore nanti. Semua kebutuhanku selama di luar kota akan diambil sekertarisku ke rumah nanti. Sudah dulu, ya." 

"Aran! Halo? Aran?" Marna meletakkan telepon yang sudah terputus itu ke tempat semula. Awas saja kalau ketemu, akan dia marahin habis-habisan putranya itu. Bahkan Aran tak bertanya keadaan bayi dan istrinya saat ini.

Marna kembali ke dapur. "Nasera, tadi sua ... Nasera!" Wanita setengah baya itu berlari mendekati Nasera yang hendak menceburkan bayinya ke dalam panci mendidih.

Langsung saja Marna merebut cucunya dengan mata melotot tak percaya pada Nasera.

"Kamu keterlaluan, Nasera! Ini sudah melebihi batas! Kamu berencana membunuh anakmu sendiri?"

Nasera melangkah mundur, lalu menatap bayinya yang kini menangis di gendongan ibu mertuanya. "Aku ... aku tak tahu apa-apa."

"Ibu akan bicarakan ini pada suamimu. Aran harus mendengarkan!" omel Marna.

"Mas Aran?" Nasera menggeleng takut. Kemudian berlari ke luar dapur. 

Marna duduk di kursi dengan jantung berdegup kencang. Syok berat dengan apa yang terjadi. Bagaimana jika tadi terlambat? Maka cucunya .... 

"Nasera, apa yang terjadi padamu?" 

Setelah sepuluh menit, Marna berdiri. Ia harus bicara dan menenangkan menantunya. Barang kali ada masalah begitu besar, dan dirinya tak boleh meninggalkan Nasera berduka sendirian.

Marna ke luar dari dapur. "Nasera," panggilnya. Bergegas menaiki tangga. 

"Nasera, ibu mau bicara." Marna memanggil sembari mengetuk pintu kamar. Tidak ada jawaban.

"Ibu akan mendengarkan keluhanmu, Nak. Nasera?" Marna memutar kenop pintu, lalu perlahan membukanya.

Hal pertama yang dilihatnya di dalam kamar adalah sepasang kaki tergantung dan terus bergerak-gerak. Mata wanita setengah baya itu terbelalak lebar melihat menantunya menjerat leher dengan kain panjang yang biasa digunakan untuk menggendong bayinya.

"Nasera!" Marna meletakkan bayi itu di lantai. Kemudian memegangi kaki Nasera yang terus tersentak-sentak karena masih bernyawa. "Bertahanlah, Nasera!"

Marna mengambil kursi di bawah meja rias. Kemudian meletakkannya di bawah Nasera. Wanita setengah baya itu berusaha melepaskan kain di leher Nasera. Namun sangat sulit. 

Tubuh Nasera tiba-tiba terdiam. Dengan badan gemetar Marna menatap wajah menantunya.

Mata Nasera melotot dengan mulut menganga lebar. Marna langsung terjungkal syok dari kursi hingga terhempas ke lantai. 

Menantunya ... telah tewas.

Marna mengerjapkan matanya berkali-kali. Kemudian menatap kursi yang telah roboh. Angin yang datang dari jendela berembus lembut membuat khas bayi semakin tercium jelas.

Marna mendongak ke jasad menantunya yang tergantung. Ada hal yang aneh. Jika kursi tadi masih di bawah meja rias.

Lalu ... bagaimana cara menantunya naik dan gantung d!ri?

***

"Ya sin ... wal-qur anil-hakim. Innaka laminal-mursalin ...."

Lantunan ayat Yasin yang dibacakan ramai terdengar menggema di rumah besar itu.

Lelaki itu menangis memeluk jasad istrinya yang ditutupi kain panjang di tengah-tengah mereka.

"Nasera, kenapa kamu lakukan ini ...?" jerit Aran. 


"Nasera, jangan tinggalin aku, kenapa jadi begini? Kenapa? Kenapa seperti ini jalan yang kamu pilih! Kenapa, Nasera ...?" Aran memeluk erat tubuh kaku itu dengan tangisan yang begitu memilukan.

Dirinya sudah sangat terlambat jika ingin menyesal. Istrinya telah tiada dengan cara mengenaskan. 

Semua ... karena kesalahannya.

***

Aran menggendong putrinya memasuki kamar ibunya yang masih terbaring sakit karena syok berat atas meninggalnya sang menantu tiga hari lalu.

"Bu, maafkan aku. Seharusnya aku dengar nasehat Ibu. Seandainya aku dengarin kata Ibu sedari dulu ...." Aran duduk di tepi ranjang ibunya.

Wanita setengah baya itu hanya menatap langit-langit kamar. Lingkar matanya cepat sekali menghitam mendung.

"Nasera ... Nasera," gumam Marna lemah dengan mata melotot ke atas. Tubuhnya gemetar.

"Maafkan aku, Bu," ucap Aran merasa bersalah. Kematian istrinya adalah kesalahannya. 

Lelaki itu tersentak kaget ketika sang ibu tiba-tiba mencengkeram kuat pergelangan tangannya.

Wanita itu semakin melotot dan kini menatap putranya itu. "Ini semua salahmu, Aran. Semua salahmu! Dia datang! Dia sudah datang!" gumam Marna cepat.

Aran menarik tangannya sembari menggeleng. Kemudian bergegas ke luar dari kamar ibunya yang sudah kembali melotot menatap langit-langit kamar sembari mamanggil-manggil nama sang menantu.

*** 

Aran terbangun dari tidurnya yang tak nyenyak karena mendengar suara tangisan putrinya yang nyaring.

Lelaki itu duduk sembari mengusap wajahnya yang lelah. Kemudian menghidupkan lampu kamar, melirik jam yang menunjukkan waktu dini hari.

"Iya, papa datang," ucap Aran sembari berdiri, melangkah pelan menuju tempat tidur putrinya. 

Aran menyibak kelambu putrinya sembari menunduk. Ia langsung melotot karena tak melihat keberadaan putrinya.

"Nawa?" Arlan menoleh pada pintu. Kamarnya dikunci dari dalam. Jendela pun tertutup rapat. Padahal tadi tangisan putrinya berasal dari tempat tidurnya. Lalu di mana sekarang?

Ia terkejut mendengar suara tangisan Nawa sudah berpindah ke luar kamar. Bergegas ia membuka kunci pintunya.

Ketika pintunya dibuka. Aroma tanah basah tercium menyengat. Di luar kamar dalam keadaan remang, hanya ada cahaya dari lampu kamarnya.

Namun, ia masih bisa melihat seorang wanita membelakanginya dan sedang menimang-nimang bayi.

Aran menautkan alisnya. Siapa wanita itu? Di dekat kaki wanita itu, menates lumpur cair hingga mengotori lantai.

Wanita itu bersenandung lirih, akan tetapi suaranya seolah memenuhi rumah ini ... dan Aran kenal suara ini.

"Na ... sera," panggil Aran.

Wanita itu tiba-tiba berhenti bersenandung, dan terdiam seketika. 

Aran menelan ludahnya ketika wanita itu menangis sesenggukan yang suara tangisannya menggema di dalam rumah.

Aran dengan cepat menoleh ke belakang ketika mendengar suara tangisan putrinya dari box bayinya. Nawa ada di tempat tidur.

Aran kembali menghadap ke luar kamar. Posisi wanita itu kini sudah menghadap ke arahnya. Matanya yang putih melotot dengan mulut menganga lebar, rambut panjang kusut dan bertubuh kurus kotor di penuhi tanah.

Wanita itu berjalan pelan sembari merintih serak. 

Aran mundur, lalu dengan cepat menutup pintunya kuat. Jantungnya berdegup kencang, bahkan tangannya yang memegang kenop pintu bergetar. 

Tidak mungkin, istrinya sudah dikuburkan. Aran melangkah mundur, lalu terduduk di pinggiran kasur. 

Mungkin tadi halusinasi karena tekanan setres. Aran berusaha menenangkan dirinya. Kemudian menghempaskan tubuhnya berbaring. 

Namun, sekejap kemudian tubuhnya bergeming mendengar suara bisikan pelan di sebelahnya. Ketika ia menoleh ke samping, Aran tak bisa berkedip menatap wajah istrinya yang tengah menatapnya dengan mata melotot.

______


Komentar

Login untuk melihat komentar!