Motor baru melaju beberapa saat, ketika tiba-tiba hujan deras mengguyur bumi. Rafka membelokkan motor di emper pertokoan yang sudah rapat tertutup.
Setelah turun dari motor, kami mengibas-ngibaskan baju yang terkena air hujan.
Aku duduk berdampingan dengan Rafka di tangga keramik depan toko elektronik.
"Kenapa nggak pakai jaket tadi," ujarnya sambil menyodorkan jaketnya untuk ku pakai.
"Nggak usah, Mas," tolakku.
"Bersih kok ini. Nggak bau. Udah aku semprot parfum sebotol tadi."
"Bukan gitu. Mas yang nanti kedinginan."
"Nggak apa-apa."
Akhirnya ku pakai jaket yang kebesaran di tubuhku. Rafka mengeluarkan ponsel, dan sibuk membalas chat. Sedangkan aku mulai was-was, saat memperhatikan sekeliling yang sepi. Kejadian tadi masih membuatku ngeri.
Di jalan depan hanya sesekali mobil lewat. Aku tidak tahu sekarang posisi di daerah mana. Sejak tinggal di Surabaya, aku jarang sekali keluar jalan-jalan. Sehabis gajian aja, kadang main ke mall dekat kantor, untuk belanja bulanan dan cuci mata sebentar. Berdua bersama Riri, kadang juga rame-rame.
"Mas, kayaknya hujan ini bakalan lama," ucapku pada pria di samping. Setelah ia memasukkan kembali ponsel di saku celana.
Rafka memandang ke langit malam yang kelam dan tertutup hujan lebat.
"Iya agaknya."
"Jam setengah sebelas," katanya setelah melihat jam di pergelangan tangan.
Hati bertambah kebat-kebit tak tenang. Aku menyibakkan rambut yang di tiup angin malam.
"Apa mau nekad pulang? Besok kamu kerja kesiangan."
"Biasanya di bangunin sama Riri."
Rafka mengernyitkan dahinya. Ia menyadari kegalauan yang aku rasakan.
"Nggak usah galau gitu. Kan ada aku."
"Takut terjadi kayak tadi."
"Aku pernah mengalami lebih dari itu."
Ucapan yang membuatku makin ngeri membayangkan. Seumur-umur baru kali ini, aku menyaksikan perkelahian di depan mataku sendiri.
Aku makin merapatkan jaket. Bau parfum maskulin memenuhi penciuman. Kembali aku menatap air hujan yang belum ada tanda akan reda.
"Gimana, kalau kita hujan-hujanan," tawarnya.
Aku menggeleng.
"Takut demam."
"Bukan."
"Habis tu? Seru kayaknya kita basah kuyup berdua."
Aku diam. Sebenarnya rasa hati ingin segera meninggalkan tempat sepi ini. Cuman ....
"Ayolah!"
"Nggak, Mas."
"Kenapa? Tak biasa kehujanan."
"Bukan itu. Cuman ... aku lagi dapat siklus bulanan," ucapku memberanikan diri.
"Owh." Rafka mengangguk tanda paham. Sedangkan aku menahan malu. Dan Rafka yang hendak berdiri itu, akhirnya duduk kembali.
Sejenak keheningan menerpa. Aku merasakan beberapa kali Rafka mencuri pandang. Tatapannya berbeda. Dan aku tidak ingin menduga-duga.
***
Entah pukul berapa kami sampai rumah. Aku turun di dekat pintu pagar.
"Jaketnya nggak apa-apa ya, aku cuci," kataku, karena merasa nggak enak hati. Sejak tadi aku pakai.
"Boleh. Nggak apa-apa."
Kemudian Rafka menstater motor untuk pulang lewat gerbang rumah utama.
"Mas," panggilku. Dan ia menoleh.
"Bagaimana kalau anak-anak kos tahu kalau aku menjemur jaket ini!" Tiba-tiba terasa ragu pula.
Pria itu tersenyum.
"Biarlah tahu," ucapnya lantas berlalu.
Itu sebetulnya bukan jawaban yang aku mau. Jujur, nggak siap kalau di gosipin. Terlebih jika sampai terdengar Bu Surya. Hampir semua anak kos tahu, siapa pemilik jaket mahal itu. Aku buru-buru melepaskan jaket, dan mendekapnya di dada.
***
Aku baru saja keluar kamar mandi setelah selesai membersihkan diri dan ganti baju. Ponsel di atas meja ku raih saat berpendar menandakan ada pesan masuk.
[Baru pulang, Lea]
Pesan dari Riri.
[Hu'um]
[Seru nggak kencannya]
[Jantungku mau copot, Ri]
[Hah ... udah kena tembak ya, sama Pak Pol]
Aku mendecah lirih. Tampaknya salah nulis balasan. Harusnya besok aja aku ceritakan.
[Sudahlah. Besok aku cerita]
Ponsel ku matikan. Di samping ngantuk berat, juga untuk menghindari Riri akan kirim chat yang ngelantur.
Ku peluk guling sambil meringkuk di bawah selimut.
***
Pesan WhatsApp dari bapak masuk saat makan siang di kantin. Ku buka dengan tangan kiri, ponsel yang tergeletak di atas meja.
Aku tersenyum melihat apa yang di kirim. Sebuah foto. Yang menimbulkan efek sejuk di benak ini. Ah, betapa rindunya.
Ku sudahi makan siang dengan cepat. Hari ini bangun telat, jadi nggak sempat masak untuk bekal. Riri pun sama, gara-gara nunggu aku pulang sampai nggak tidur-tidur. Padahal kamar kami sendiri-sendiri.
Dialah teman terdekat yang aku punya. Yang tahu segala seluk beluk permasalahan yang ku derita sejak lima tahun terakhir ini. Riri juga yang membantuku masuk perusahaan ini. Ia teman kuliah dulu. Tapi siapa sosok lelaki yang pernah hadir di hidupku, Riri belum tahu.
"Ri, aku telfon dulu ya!"
Pamitku setelah meneguk habis lemon tea. Riri mengangguk.
Aku keluar kantin. Menuju samping musholla, dengan bangunan terpisah dari kantor. Di situ tempat yang aman dan sepi. Aku duduk di bangku semen, lalu melakukan video call.
Di layar muncul wajah yang ku rindukan setengah mati.
"Mamaaa ...," teriaknya kegirangan. Mulut kecilnya belepotan coklat.
Mataku berkaca-kaca.
"Kenapa nggak ngucap salam sama Mama," tegurku. Dia terkekeh riang.
"Gavin sudah makan belum?"
"Sudah, Ma."
Jelas sekali ucapannya. Usianya empat tahun. Pria kecil yang ku lahirkan tanpa seorang ayah yang menyambutnya.
"Gavin nggak boleh nakal ya. Minggu depan Mama pulang. Nurut sama Kakek dan nenek, sama budhe Maya, sama Ayah Farhan juga."
"Iya."
Sejak kecil, dia sudah biasa memanggil abang iparku dengan sebutan 'ayah'.
"Jangan lupa nanti sore ngaji sama Mbak Nana ya!"
"Iya, Ma," ucapnya sambil menunduk, entah memainkan apa.
"Nanti kalau mama pulang, Gavin di beliin apa?"
"Beliin mobil," teriaknya lantas lari, ketika ada suara Nana, keponakanku memanggilnya.
Di layar ganti muncul wajah bapak.
"Pak, habis gajian aku pulang."
"Iya. Jangan lupa, bawakan kerupuk udang sama terasi. Pesanan ibumu."
"Iya, Pak. Lea lanjut kerja dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Aku masih termangu, mengusap layar ponsel yang sinarnya sudah padam. Rindu makin menggebu saat melihat wajahnya yang imut. Hidung bangirnya, alis tebalnya, milik pria itu. Pria yang tidak tahu akan kehadirannya.
Waktu itu ....
"Han, nggak usah kau cari Darren. Nggak usah mengemis minta pertanggung jawaban. Dia sudah membuang adikmu. Lagian mereka nikah siri. Apa yang mau di tuntut. Sudahlah. Anak itu rejeki. Dia lahir juga akan membawa rejeki. Kita rawat sendiri," ucap Bapak pada Mas Farhan, yang berniat mengabari pria itu.
"Kamu, Lea. Nggak usah sedih. Ada kami semua mendukungmu. Tenangkan hatimu, Nduk. Kalau dia memang berniat cerai, harusnya tidak menyentuhmu. Lelaki seperti itu tak pantas kau tangisi."
Aku menunduk, mengingat ucapan Bapak. Setiap kalimatnya menyimpan luka dan kemarahan yang terpendam.
***
"Ri, gimana cara jahit ini. Kalau di jahit biasa, kan jadi jelek."
Aku menunjukkan jaket Rafka sore itu, sepulang kerja.
"Itu yang katamu kesabet pisau tadi malam."
"Hu'um."
Rini meraih ponsel dari meja. Sebentar kemudian ....
"Nih, lihat, tutorial cara jahit jaket sobek."
Aku memperhatikan yang Riri tunjukkan. Iya, juga. Jadi kelihatan ada seninya.
Akhirnya sambil di bantu Riri, aku menjahit bagian yang sobek itu hingga berbentuk sebuah bintang.
"Bagus, Lea. Jadi seperti hiasan, kan."
Aku mengangguk. Setelah mengamati cukup lama. Akhirnya kembali ku lipat jaket itu.
"Caraku mulangin gimana ya, Ri."
"Di telfon atau di WA-lah."
"Aku nggak punya nomornya."
"Hah ... yang bener. Kamu ini yang sering di ajak ngobrol sama dia. Malah nggak tahu nomer ponselnya."
"Memangnya kamu punya?"
"Enggak," jawab Riri sambil nyengir.
"Anterin aja ke rumahnya."
"Ish, nggak ah. Nanti jadi kecurigaan mamanya."
"Atau gini aja."
Riri mengambil selimut yang masih terbungkus plastik laundry. Lalu membuka pelan-pelan.
"Kamu lipat, masukin sini. Nanti anter, terus bilang dapat titipan dari laundry."
Ide jitu dari Riri. Aku menuruti.
Setelah rapi, aku melangkah menuju rumah utama. Celingak-celinguk karena tidak nampak ada orang. Di teras, motor Rafka belum ada. Berarti belum pulang.
"Mbak Lea, ada apa?" tegur Mak Ijah dari belakang yang membuatku kaget.
"Mau nganterin jaketnya Mas Rafka, Mak. Tadi ada tukang laundry yang ngantar," jawabku gugup.
"Oh, ya sudah sini. Biar Mak Ijah taruh di kamarnya Mas Rafka."
Aku mengangguk sambil menyerahkan jaket pada asisten rumah tangga Bu Suryo.
Saat baru keluar halaman. Motor Rafka masuk.
"Nganterin jaket, Mas," kataku terus ngibrit pergi. Tanpa menunggu saat ia hendak berucap apa.
Aku masih melipat baju saat ponsel berdenting. Tanda pesan masuk.
[Thanks, Lea. Bagus jahitannya. Wangi pula]
Pesan dari Rafka dan ... darimana dia tahu nomer ponselku???
Next ....