Part 6 POV Aleana


"Lea, pinjam pensilnya. Punyaku jatuh menggelinding entah kemana."

Aku menyerahkan pensil ke Riri tanpa menatapnya. Dan gadis itu berlalu dengan rasa heran. Mungkin.

Layar komputer di depan kupandang teliti. Jangan sampai kerjaanku amburadul, hingga membuat semakin sering berurusan dengan Darren.

Sekarang yang terpenting kerja baik-baik. Peduli apa dengan dia yang sudah tahu kalau aku melahirkan anaknya. Untuk pindah kerja, rasanya tak terpikirkan di kepalaku. Kalau resign, apa mungkin aku akan dapat pekerjaan sebaik ini. Dengan gaji yang lumayan. Kalau memikirkan ego, bisa-bisa tambah hancur keadaan finansial.

'Nggak apa-apa, Lea. Jalani seperti biasa. Anggap aja nggak terjadi apapun di beberapa hari terakhir ini. Ingat, Gavin butuh kamu.'

Aku tersenyum untuk diri sendiri. Dan ... plak. Riri menabok bahuku.

"Ngapain senyum-senyum sendiri. Tadi serius amat. Sekarang gitu amat. Kamu oke nggak?" tegur Riri sambil ngembaliin pensil di atas meja.

"Ih, kamu. Sakit tau." Aku ngelus bahu.

"Habis kamu, cengar-cengir sendirian."

"Ingat Gavin," jawabku cepat.

"Oh, kamu jadi pulang minggu depan?"

Aku mengangguk.

"Kamu pulang nggak?"

Riri menggeleng.

"Minggu kemarin aku kan sudah pulang."

Habis itu Riri nggeloyor pergi. Punggung ku sandarkan pada kursi. Aku jadi kepikiran, kenapa dengan jemari Darren yang memar. Apakah dia berkelahi? Tapi dengan siapa? Kok sampe bengkak gitu. Ah ... biarlah, bukan urusanku.

***

Sejak kena tegur hari itu, aku tidak pernah lagi makan di ruang kerja. Walaupun bawa bekal, aku selalu membawanya ke kantin. Begitu juga dengan Riri.

"Lea, si Bos suka ngelirik kamu," kata Riri pelan.

"Iyalah, dia berhasil menegur karyawannya yang suka makan di meja kerja."

"Sering aku lihat dia gitu akhir-akhir ini."

"Hmm ...."

"Kayaknya naksir kamu deh."

"Nggak usah ngelantur," omelku pada Riri.

"Serius ini. Kamu memang beruntung Lea, ada dua pria keren lagi nyari perhatian kamu."

"Siapa?"

"Polisi keren itu sama si Bos ganteng ini. Pilih yang mana?"

"Pilih Gavin," jawabku.

Bibir Riri mencebik. Aku terus saja melahap nasi, sambal bawang dan ayam goreng. Tadi sempat pesan seporsi cah kangkung yang ku makan berdua sama Riri.

"Come on, coba buka hati kembali. Masa mau sendiri terus. Walaupun sudah punya anak. Kamu masih seperti anak gadis, Lea."

Aku tersenyum getir. 

"Aku jadi penasaran deh, sama laki-laki mantan suami kamu itu. Kayak apa orangnya. Sampe kamu gagal move on. Dan aku heran juga sama kamu, kita temenan bukan baru setahun dua tahun. Sejak kuliah dulu. Tapi tak pernah kamu tunjukkan wajah suamimu itu padaku. Eh, mantan maksudku. Nikah juga nggak ngabarin. Nelfon aku, tahu-tahu dah punya anak."

"Ri, jadi makan nggak?" ucapku memotong pembicaraannya. 

'Sempat nanyain foto pula. Tau nggak sih, Ri. Aku sama sekali nggak nyimpan fotonya. Kalau pengen tau banget siapa dia, noh yang lagi makan di sebelah sana', kata-kata itu hanya sekedar terucap dalam benak.

***

"Lea," tegur Rafka saat aku melintas di depan rumahnya. Baru dari kedai beli terigu sama mentega. 

Rencana mau bikin cake. Waktu itu Riri dapat resep dari Mbak Yanti. Kebetulan hari ini pulang lebih awal. Jadi mau eksekusi catatan Riri. Kalau sabtu, kami kerja hanya setengah hari.

Aku berhenti sejenak. Melihat pria yang asik mereparasi motornya. Mungkin hari ini dia pas jadwal libur.

"Sekarang jadi mekanik juga ya, Mas!" candaku.

Rafka tersenyum.

"Cuman cek oli motor aja. Malam Minggu mau jalan, nggak?" tanya dia.

Pada saat yang bersamaan, aku lihat Bu Suryo melintas di ruang tengah. Aku segera berlalu. Nggak enak kalau beliau dengar apa yang di omongkan anaknya.

"Saya pulang dulu, Mas," pamitku sambil jalan.

Pria itu hanya memandang saat aku menoleh sekilas.

Sampai di dapur kosan, suara mixer memenuhi ruangan kecil itu.

"Kamu cairkan dulu menteganya, Lea."

Aku mengangguk, lantas mengambil teflon di rak piring. Membuka kemasan dan menumpahkan isinya untuk di panaskan.

"Lea, ponselmu bunyi," teriak Riri.

Setelah menyalakan kompor, aku menggapai ponsel yang tergeletak di meja. Ada satu pesan masuk.

[Nggak mau ya, ku ajak jalan]

Pesan dari Rafka. Aku melirik ke arah Riri. 

"Ada apa?" tanya gadis itu.

Ku tunjukkan pesan dari Rafka untuk di baca.

"Pergi aja. Jangan di tolak," kata Riri.

"Nggak enak aku, Ri. Kemarin sudah di ajak nonton."

"Lah apa salahnya. Kalian kan manusia-manusia jomlo. Jalan aja."

"Darimana kamu tahu kalau dia jomlo?" tanyaku sambil mengaduk mentega dengan sendok.

"Yah ... kalau dia punya pacar, ngapain juga ngajak kamu."

'Si Riri kayak nggak tau aja. Bukankah jaman sekarang ini banyak pria yang kayak gitu. Pacar bahkan istri tak cukup hanya satu'

Bunyi ponsel berdenting sekali lagi.

[Nggak mau ya?]

Akhirnya ku taruh sendok di meja lalu mengetik balasan.

[Memangnya Mas nggak dinas] send.

Ah, balasan bodoh. Kalau dia kerja, ya nggak mungkin ngajak jalan. Mau di delete, sudah terlanjur centang biru.

[Lagi cuti. Mau, ya! Aku tunggu habis Maghrib]

[Inshaalloh, aku sama Riri masih bikin cake ini, Mas]

[Oke. Aku tunggu cake-nya sampai di rumah] emot mupeng, yang ilernya meleleh.

"Kenapa?" tanya Riri.

"Aku jawab Inshaalloh. Dia mau cakenya, Ri."

"Yah, kan memang dari awal kita mau ngasih cake ke Bu Suryo. Nggak enak juga kan, mereka sering ngasih makanan ke kita. Sekalian sambil ngambil hati camer. Calon mertua."

"Hish, kau ini. Suaramu bisa terdengar sampai luar," tegurku.

Riri menutup mulutnya dengan tangan.

"Lea, Pak Pol yang ini ditanggapi aja. Siapa tahu berjodoh. Memperbaiki hidup, memperbaiki keturunan juga," kata Riri pelan.

"Memangnya Gavin kurang cakep ya, aku harus memperbaiki keturunan lagi."

"O, maksudnya. Mantanmu itu tak kalah ganteng gitu."

Ish ... aku berbalik dan mematikan kompor.

"Lea."

"Hmm ...."

"Mas Rafka itu baik lho."

"Ya, sepertinya begitu."

"Jangan sia-siakan kesempatan."

"Dia masih perjaka, Ri. Aku sudah punya anak. Mungkin lebih baik, dia cari yang masih perawan aja."

"Lah, apa salahnya kalau dia mau terima apa adanya."

Aku tersenyum.

"Dia punya semuanya. Ganteng, punya pangkat, so pasti nggak mungkin pilih janda punya anak. Waktu ijin mau nikah. Pasti dia di tanya sama atasannya. Nikahnya sama siapa?"

"Salah ya kalau mau nikah sama janda?"

"Pasti akan di kasih banyak pertimbangan. Nggak mudah ku rasa."

"Jangan pesimis dulu. Belum di coba."

"Udahlah nggak usah ngelantur. Belum tentu dia suka sama aku."

Sekali lagi, bunyi denting ponsel membuatku menggapai benda pipih di atas meja.

[Lea, bisa ketemu malam ini]

Pesan dari Darren. Ku baca pesan tanpa membalasnya. Tentu dia tahu nomerku dari data kantor.

[Lea, please]

[Habis Maghrib, sebentar saja. Aku ke kosan ya]

Akhirnya aku mengetik balasan.

[Kalau untuk urusan pekerjaan, nanti hari Senin saja, Pak]

[Bukan. Aku ingin berbicara tentang Gavin. Mudah-mudahan ini tidak terlambat. Please, aku minta maaf untuk yang telah ku lakukan padamu ketika itu]

[Saya sudah maafkan. Dan urusan kita sudah lama usai]

Entah kenapa tiba-tiba rasa nyeri menusuk dada ini. Aku memandang sekilas Riri, yang sibuk sendiri dengan adonan cake. 

"SMS dari siapa?" tanya Riri.

"Teman."

Ku letakkan ponsel di meja. Tanpa peduli lagi untuk membuka pesan beruntun yang di kirimnya.

*** 

Setelah membayar karcis masuk. Aku dan Rafka melangkah mencari tempat duduk. Kami mengambil tempat di ujung, menghindari pengunjung yang lumayan ramai di wisata malam pinggir sungai Mas. 

Dulu aku pernah ke sini, waktu studi tour kelas dua SMA. Di musium kapal selam. Tapi saat itu tidak seramai ini kalau malam.

Kerlap-kerlip lampu hias menghiasi pinggiran sungai. Rafka pergi dan tak lama kembali membawa soft drink, dua mangkok bakso dan snack.

"Baru kali ini aku malam mingguan sama cewek," katanya.

Terasa gombal sekali. Mana mungkin pria mapan sekeren dia, tidak punya cewek sebelumnya.

"Ya karena keluarnya pas nggak malem minggu kan? Mungkin malem Senin, malam selasa ...," ujarku sambil menyuap bakso.

Rafka tertawa. Seperti membenarkan ucapanku. Dan ada sesuatu yang membuatku risau. Jangan-jangan aku sedang jalan dengan kekasih orang? Terasa tersentil hati ini. Takut peristiwa dulu terulang lagi. Aku menikah dengan pacar orang lain.

"Mas, nggak takut ketahuan ceweknya ya. Jalan dengan saya," tanyaku serius.

"Nggak. Kan aku nggak punya cewek. Ini lagi berusaha deketin cewek."

"O, teman kerja?"

"Bukan. Teman makan bakso."

Matanya menatapku. Bibirnya tersenyum.

Aku mengalihkan pandangan ke arah kapal selam. Memandang pengunjung yang sebagian datang sekeluarga. 

"Lea. Nggak mau ya?" 

Aku menatapnya. Mencari keseriusan di wajah itu. Dan aku menemukan, sorot mata yang tidak sedang bercanda.

Pandanganku teralih pada sendok yang mengaduk bakso.

"Saya punya masa lalu," jawabku.

"Aku juga punya masa lalu. Mantan pacar. Dan tidak hanya satu."

Masa laluku tidak seperti yang ia pikirkan. Ini rumit. Bukan tentang mantan pacar, karena kami tidak pacaran. Tapi ini mantan suami.

"Aku serius kali ini."

"Saya hanya pekerja rendahan. Yang setiap saat bisa di berhentikan. Apa Mas Rafka nggak ingin mencari pacar dengan karier yang cemerlang. Saya rasa, Mas, akan mudah mendapatkannya." 

"Aku ingin mencari istri yang fokus ngurus rumah tangga. Seperti Mama, beliau rela berhenti kerja di perusahaan demi mengurus keluarga. Mengikuti dinas papaku, di manapun di tempatkan."

Aku meraih gelas, dan menyesap isinya. Aku tahu almarhum Pak Suryo, papanya Rafka adalah seorang purnawirawan TNI AL. Dengan pangkat terakhir kapten. Memang mereka keluarga militer. Abangnya Rafka seorang Marinir. Mengingat itu aku merasa kerdil. Tak pantas. Apalagi dengan kisah silam dan status janda anak satu.

"Nggak usah dijawab sekarang. Walaupun aku maunya sekarang juga," katanya sambil tersenyum.

Aku serasa di awang-awang, baru kali ini aku merasa di hargai saat di inginkan seorang laki-laki. Tapi saat melayang ini, aku takut juga akan terhempas.

Sekilas wajah Gavin melintas di benak. Ada wajah Darren juga. Memang dua sosok itu tidak bisa di lepas satu sama lain. Apapun keadaannya, mereka adalah ayah dan anak. 

"Aku menunggu jawabannya. Dan setelah itu aku akan bilang ke mama."

Deg. Ada rasa gentar merajai jiwa. Takut kalau di remehkan sekali lagi. 

Untuk saat ini, aku tidak boleh memikirkan diri sendiri. Ada perasaan Gavin yang harus jadi pertimbangan. Walaupun dia masih kecil. 

Seandainya memulai hubungan baru, pria itu harus bisa menerima anakku. Hal itu jadi prioritas utama sekarang.

Setelah cerai dan mulai bekerja, aku belum pernah mencoba menjalin cinta dengan pria manapun. Walaupun sekedar jalan berdua. Entah, dengan Rafka aku bisa percaya.

"Lea," panggilnya.

"Ya."

"Aku serius."

Aku memandangnya dan tersenyum.

Next ....











































































Komentar

Login untuk melihat komentar!