Part 4 POV Aleana
Bukan perkara mudah berinteraksi dengan Darren setiap hari. Menyeimbangkan pikiran antara masa lalu dan sekarang tidak segampang membalik telapak tangan.

Entah mengapa ada saja yang mengharuskan aku bolak-balik antara ruangannya dan meja kerjaku. Padahal yang ku kerjakan tidak perlu pembenahan.

Rasanya ada yang ingin di sampaikan, entah itu apa. Dan aku memasa bodohkan semuanya. 

'Fokus, Lea. Fokus .... Abaikan dia. Kamu di sini kerja. Untuk masa depanmu. Dan juga masa depan Gavin yang harus kau perjuangkan,' suara hatiku.

"Lea, di panggil bos," kata lirih Riri di samping telinga, yang membuatku geli karena hembusan nafasnya.

Aku berdecak jengkel.

"Kau bikin kesalahan apa, bolak-balik di panggil." Tegur Riri. Aku hanya mengangkat bahu.

'Kesalahan apa? Laporan yang ku kerjakan sudah di tanda tangani.'

Aku bangkit dari duduk. Melangkah gontai, dan mengabaikan Riri yang heran.

Tuk ... tuk ....

Aku mengambil nafas panjang, sebelum masuk.

"Bisa ikut saya keluar. Lihat lokasi proyek di Gresik."

Dahiku mengernyit. 

"Bukannya bapak harus mengajak Mbak Yanti."

Aku menyebut nama asistennya.

"Mbak Yanti cuti tiga hari, suaminya sakit. Karena pekerjaanmu yang duluan selesai. Makanya aku ngajak kamu. Bersiaplah, aku tunggu di parkiran."

Mau menyangkal apa lagi selain mengangguk.

Aku kembali ke meja kerja. Berkemas. Riri mendekat.

"Ada apa?"

"Aku mau di ajak keluar. Lihat proyek di Gresik. Mbak Yanti cuti. Ada-ada aja bos baru ini," gerutuku.

"Ya sudah, ku pikir ada apa-apa. Risau juga aku lihat kamu bolak-balik ke ruangan bos. Berarti kamu langsung pulang kan nanti. Aku nggak usah nunggu."

Aku mengangguk.

"Okelah, hati-hati." Pesan Riri sebelum kembali ke mejanya.

Aman kali ini. Dia tidak menggoda seperti biasanya. Mungkin karena kasihan. Sejak pagi aku mondar-mandir kayak setrikaan. 

Aku meraih handbag di meja. Lalu menenteng paper bag tempat bekal. Tangan kulambaikan pada Riri dan teman yang kebetulan memandang.

Melangkah keluar dengan cepat, karena bos sudah keluar sejak tadi. Di parkiran, dia berdiri di samping Fortuner putih.

"Duduklah di depan," perintahnya saat aku membuka pintu belakang.

"Di belakang saja, Pak."

"Apa perlu di bukakan pintu?"

Aku menatap sekilas. Lalu menutup kembali pintu mobil belakang yang sudah ku buka. Dan beralih ke pintu depan.

Mobil melaju di antara lalu lintas kota pahlawan. Jarum jam baru menunjukkan pukul sepuluh pagi.

Hening di antara kami. Aku tidak berniat untuk bertanya apapun. Bagaimana pernikahannya, apa kabar mamanya, punya anak berapa? Semua itu tidak penting lagi. End. Seperti berakhirnya hubungan kami ketika itu.

Mobil masuk parkiran di sebuah taman kota. Aku kaget. Memang dari tadi tidak menyadari jalan yang di ambil Darren. Selain nggak hafal kota Surabaya, aku juga dalam pikiran entah kemana waktu di perjalanan tadi.

"Kenapa ke sini?" tanyaku.

"Maaf, aku tidak ada cara lain untuk mengajakmu bicara selain membawa keluar dari kantor," jawabnya tanpa menatapku.

"Bicara tentang apa? Bukankah semua sudah selesai."

"Siapa anak kecil yang sering kamu pandangi fotonya di ponsel."

"Sepertinya kemarin aku sudah ngasih tahu kalau itu anak Mbak Maya," ucapku sambil membuang pandang.

"Apa dia anakku?" Darren menoleh.

Aku tersenyum getir.

"Anak darimana? Kita menikah tak lebih dari tiga bulan."

"Ketika melihatnya pertama kali, perasaanku sudah lain. Apalagi ketika mendengar kamu vc-an di dekat musholla. Aku ada di dalam musholla waktu itu. Melihatmu dari jendela kaca."

Deg.

Mati sudah. Apa yang harus aku katakan setelah ini. Bukan aku ingin menjadi ibu yang kejam. Menjauhkan anak dari bapaknya. Tapi rasa sakit hati yang di alami keluargaku membuat aku tak ingin memikirkan siapa ayah Gavin. Aku sendiri merasa sudah terbuang. Dan ... belum tentu Gavin anak yang di inginkan oleh Darren.

"Kenapa nggak mengabari kalau waktu itu kamu hamil?"

Aku sudah tidak sanggup menahan air mata, yang akhirnya mengalir tak terbendung.

"Untuk apa? Mengharap simpati? Mengemis minta pertanggung jawaban? Tidak. Itu juga salahku, sudah tahu akan di cerai, masih juga mau di tiduri. Harusnya aku bisa protect diri sendiri."

Darren meraih tangan, tapi ku tepis.

"Sudahlah, jangan simpati pada hidupku. Aku reda menjalani semuanya. Kita jalani kehidupan masing-masing. Kita urus keluarga masing-masing."

Pria itu menekan kedua matanya dengan ujung jari. Menahan isak di tenggorokan. Lalu menengadah.

"Maafkan aku," desisnya lirih.

"Siapa namanya? Gavin siapa?"

Aku menunduk, membiarkan air mata itu berjatuhan di lengan.

"Sudah empat tahun sekarang umurnya. Pasti sedang lucu-lucunya."

Ucapannya membuat benakku sesak dan pilu. Untuk beberapa saat kami terdiam. Hanya isak lirik di antara kami yang terdengar, berbaur dengan desing bunyi AC mobil.

Setelah bisa meredam emosi, Darren menoleh.

"Apakah di ijinkan, jika aku ingin melihat fotonya."

Aku tak menjawab. Ku buang pandangan lewat kaca jendela samping. Melihat taman yang hanya ada beberapa pengunjung, karena sekarang masih hari aktif kerja dan sekolah. Playground juga sepi. Hanya ada seorang ibu yang dengan telaten menyuapi anaknya yang berlarian di antara tempat permainan.

Ah, aku hampir tak pernah melakukan itu. Sejak Gavin umur setahun, aku sudah meninggalkannya untuk bekerja. Ia di rawat sama orang tuaku dan Mbak Maya, yang rumahnya bersebelahan dengan rumah bapak.

Tapi anak itu selalu lengket saat aku pulang. Kadang dua minggu sekali, kadang sebulan sekali. Tergantung suasana kerja.

Entah kenapa ia memanggilku 'Mama', padahal selama ini kami sekeluarga selalu mengajarinya memanggil 'Bunda'.

"Aku mau ke toilet," pamitku lantas keluar dari mobil, hanya membawa dompet di tangan.

Keluar dari toilet aku tidak langsung kembali ke mobil. Berdiri lama di bawah pohon rindang. Menatap hampa pada angkasa lepas. Bagaimana harus menyikapi ini sekarang? Jujur saja atau lebih baik diam.

Kalau mengingat lima tahun yang lalu, betapa sakitnya hati. Mungkin memang aku tidak di cintai, aku pahami itu. Darren berpacaran lama dengan Shela. Terus tiba-tiba harus menikah denganku. Tapi setidaknya dia bisa menghargai, bukan mencicipi terus asik bermesraan di telfon dengan kekasihnya. Di depanku. Sungguh, aku merasa bagai pelacur yang di nikmati lantas di abaikan.

Aku menarik nafas dalam-dalam. Lalu melangkah perlahan kembali ke mobil.

"Sudah selesai kan kita bicara. Kalau nggak ada acara ke proyek. Sebaiknya kembali ke kantor," ajakku setelah kembali duduk di sebelahnya.

Darren melihat arloji di tangan.

"Kita makan siang dulu. Di kedai itu," tunjuknya pada warung makan seafood.

"Biar aku tunggu di sini. Aku bawa bekal."

"Aku belikan saja kalau begitu."

Aku tak menjawab hingga dia turun dari mobil. Aku membuka bekal yang ku bawa. Nasi putih berlaukkan telur dadar dan sambal goreng kentang, yang ku masak bareng Riri sehabis subuh tadi.

Darren kembali membawa dua botol air mineral dan dua kotak nasi. Ia memandangku saat aku asik makan. 

"Ini ada lauknya."

Ia menyodorkan sekotak nasi.

"Nggak usah. Terima kasih," tolakku.

"Baiklah, nanti di bawa pulang saja."

Ia meletakkan kotak nasi di dashboard.

Aku tak menjawab. Dan terus makan. Ku buat senikmat mungkin. Padahal rasa tenggorokan seperti tersekat. Susah mau menelan. Hingga berulang kali aku minum air. Dari botol yang ku bawa sendiri.

Sepertinya Darren juga mengalami hal yang sama. Makan dengan terpaksa.

***

Aku turun dari mobil setelah mengambil barang bawaanku. Kecuali kotak nasi dan air mineral itu.

"Terima kasih, sudah mengantar," ucapku saat hendak turun.

"Lea, nasinya dibawa saja."

Aku menggeleng. "Tidak, terima kasih."

Aku terus berlalu, melewati pintu pagar yang sedikit terbuka, tanpa menoleh ke belakang lagi.

Masuk kamar dengan perasaan yang kembali tercabik-cabik. Meletakkan tas dan paper bag di lantai. Lantas terduduk memeluk lutut. Bersandar pada ranjang.

Riri mengetuk beberapa kali. Handle pintu coba di buka. Tapi tak bisa. Karena aku sudah menguncinya.

"Lea ... Lea ...," panggilnya.

"Ya," sahutku.

"Ada apa?"

"Nggak ada apa-apa. Aku mau mandi," ucapku bohong.

"Ya sudah kalau gitu."

Riri pergi. Dan aku masih di tempat. Menikmati rasa sakit ini. 

Next ....

























Komentar

Login untuk melihat komentar!