“Pah, bagaimana ini? Kok bisa jadi begini, sih? Pokoknya Papa harus bicara sama Pak Wira. Papa tahu kan kalau Rania sangat mengharapkan perjodohan ini?" keluh Bibi Rey selepas kepulangan beberapa saudara dekat yang turut hadir di acara lamaran tadi.
"Iya Ma, Papa juga tidak menyangka jadinya seperti ini. Padahal sebelumnya kami sudah sepakat menjodohkan anak-anak. Tapi kenapa Pak Wira malah memilih Aurora?" Paman geleng-geleng kepala.
"Papa sudah bilang kan ke Pak Wira kalau anak yang akan kita jodohkan itu adalah Rania putri semata wayang kita?"
"Ya ... enggak detail begitu sih, Ma. Papa dan Pak Wira hanya menyepakati untuk saling menjodohkan anak-anak kita."
"Duh, Papaaa ... kenapa nggak bilang yang jelas dari awal kalau anak kita itu bernama Rania? Kalau perlu, sekalian Papa kasih fotonya Rania juga, supaya enggak terjadi hal seperti ini. Aduuuhh ...." Bibi Rey merengut. Kesal dengan sikap suaminya yang kurang perhatian dengan hal detail seperti ini.
"Yah, Papa mana tahu kalau akan terjadi hal seperti ini. Lagi pula, kami kan sudah sama-sama sepakat menjodohkan anak masing-masing. Bukan orang lain," kilah Paman.
Bibi Rey masih merengut, pusing memikirkan ini semua. "Kalau begitu, besok di kantor Papa coba perjelas lagi tentang perjodohan ini. Yakinkan Pak Wira kalau anak kita itu ya Rania. Jadi seharusnya perjodohan ini antara Rania dan putra Pak Wira. Pokoknya, Papa harus bisa meyakinkan Pak Wira!" Bibi Rey menekan.
Paman menghela napas. "Yah, Papa akan coba. Semoga saja Pak Wira bisa diyakinkan." Sebenarnya ia pesimistis. Dia tahu benar bagaimana sifat bos besar calon besannya itu.
Beliau adalah tipe orang yang saklek. Kalau sudah mengatakan A, maka itulah yang harus terjadi. Tidak bisa diganti B atau pilihan lainnya. Hampir semua orang tahu tentang sikap tegas Pak Wira ini.
Hal yang mungkin menjadikannya sukses dan berada di posisinya sekarang sebagai pemimpin perusahaan besar yang sangat berpengaruh di negara ini.
Meski begitu, ia tetap tekadkan besok untuk mencoba menjelaskan dan membujuknya. Mana bisa ia biarkan bos besar sekaligus orang berpengaruh itu tak jadi menjodohkan putranya dengan putrinya. Ia harus menjadi besannya. Dan memastikan bahwa putrinya Rania akan menjadi bagian dari keluarga terpandang itu.
*
"Duh, senangnya yang dijodohkan sama anak pengusaha sukses," goda Mbok Ina, kepala pelayan. Sementara yang digoda, masih mengernyitkan dahi. Tak habis pikir dengan yang barusan terjadi. Benar-benar hari yang aneh.
"Kok diem aja sih, Nduk? Harusnya kan kamu sudah jingkrak-jingkrak kegirangan dijodohkan dengan orang kaya seperti itu." Mbok Ina dapat melihat kegusaran di wajah gadis yang sudah dianggap sebagai anaknya itu.
"Saya justru enggak habis pikir, Mbok. Kenapa Tuan itu malah hendak menikahkan anaknya dengan saya? Padahal dia pasti belum mengenal saya. Belum tahu saya itu orangnya seperti apa. Tiba-tiba, sudah nunjuk aja saya sebagai calon menantunya. Pasti ada yang salah ini."
"Kamu tahu dari mana Tuan itu enggak tahu tentang diri kamu? Siapa tahu dia sebenarnya memang sudah cari tahu tentang kamu." Mbok Ina menimpali.
"Ah, masa iya sih, Mbok? Pokoknya ini pasti ada yang salah. Nanti juga Paman akan meluruskan semuanya. Jadi perjodohannya tetap antara Rania dan putra Tuan itu."
"Memangnya kenapa sih, Nduk? Kamu enggak mau dijodohkan dengan putra orang ternama seperti Tuan itu?"
"Ya gimana bisa mau? Kenal aja enggak. Mana serem banget lagi wajahnya Tuan itu. Sepertinya dia itu diktator. Terus gimana dengan anaknya? Hiy, sereeem ah ..."
"Kamu tuh kan belum kenal, belum tahu orangnya. Siapa tahu kalau sudah kenal, malah jadi sayang." Mbok Ina terkekeh.
"Ih, si Mbok, apa-apaan sih? Enggaklah. Lagipula aku belum ada keinginan untuk menikah. Masih banyak hal yang ingin kukejar. Termasuk kuliah dan membesarkan bisnis kue serabi, Mbok."
"Lah, memang kalau menikah, kamu ndak bisa melakukan itu semua apa?"
"Yaa ... " Aurora berpikir mungkin saja tidak. Yang pasti, dirinya tidak menginginkan pernikahan ini.
**
Baca juga cerita saya lainnya, yaa
1. Pengantin Ramadhan
2. Mendadak Menikahi Nona Muda
3. Dinikahkan Sejak Kecil
4. Dihina Jelek dan Miskin Padahal Kaya