Pertemuan yang Aneh
Permintaan Bibi masih terngiang di telinga Aurora. Terasa ada tendensi di dalamnya, agar ia bisa memenuhi permintaan itu. 

Sebenarnya Aurora merasa sedikit tertekan. Tapi mau bagaimana lagi, ini sebenarnya untuk kepentingan dirinya juga.

Aurora memerhatikan pantulan dirinya di cermin. Ia rapikan kerudung segi empat yang bagian depan menutup dada, dengan bagian sebelah kiri kerudung diserongkan ke sebelah kanan. Lalu ia sematkan bros mungil berbentuk pita. Menambah manis tampilan kerudung berwarna biru muda yang dipadu harmonis dengan dress lengan panjang berwarna denim. 

Sejenak, Ia mematut-matut diri di depan cermin. Setelah dirasa segalanya sudah pas, barulah Aurora siap berangkat menuju kedai kue surabi miliknya yang diberi nama "Surabi Cinta".

Sesuai rencana, siang ini ia akan sempatkan diri untuk mengunjungi kantor Pak Wira yang berlokasi tidak jauh dari kantor pamannya. Ia sudah membuat janji sebelumnya. Berharap bisa bertemu tanpa kendala berarti. 

Sepanjang pagi ini, Aurora sungguh tak bisa berkonsentrasi membuat kue surabi ataupun melayani pelanggan. Hatinya diliputi rasa gelisah. Dalam pikiran, ia mencoba merangkai kata untuk nanti disampaikan kepada Pak Wira. 

Namun, tetap saja jantungnya berdebar membayangkan pertemuan dengan seseorang yang secara mendadak telah menunjuknya sebagai calon menantu itu. 

*

"Permisi Mbak, bisa saya bertemu dengan Pak Wira?" tanya Aurora kepada sekretaris yang tengah duduk di depan kantor bertuliskan "Pimpinan: Prawira Hadiwijaya".

"Maaf, dengan Mbak siapa?"

"Saya Aurora Bintang Tsurayya," jawabnya singkat. Lalu, perempuan berambut sebahu yang ia tebak berusia 30-an tahun itu menekan sebuah nomor telepon dan berbicara sebentar. 

Setelah dikonfirmasi, sang sekretaris langsung mempersilakan Aurora untuk memasuki ruangan kantor Pak Wira.

Deg ... deg. Aurora mengetuk pintu dengan hati berdebar. Setelah dipersilakan masuk, ia pun memutar gagang pintu dan mendorongnya pelan. 

Saat pintu telah sedikit terbuka, tampak sosok Pak Wira sedang duduk di kursinya depan tatapan lurus ke arah Aurora. Hal yang membuat debaran itu kian terasa cepat iramanya. Dengan langkah pendek, Aurora memasuki ruangan Pak Wira. 

Pimpinan Perusahaan Wira Bersama itu menyambut dan mempersilakan sang calon menantu duduk di sofa yang terletak tidak jauh dari meja kerjanya. 

Pak Wira lalu berdiri dari kursi di meja kerja menuju sofa tempat Aurora duduk. Ia pun lalu duduk berhadapan dengan sang calon menantu pilihan. 

Sungguh, Aurora tak bisa menahan diri untuk tak merasa gentar melihat sosok di hadapannya ini. Meski sudah terlihat sedikit keriput menghiasi wajah, masih ada sisa-sisa ketampanan dari masa muda. 

Aurora menebak usianya sekitar 60-an tahun. Sama seperti mendiang sang Papa. Rambut cepak, rapi, dan licin. Khas aristokrat. Hidungnya mancung dengan mata menyipit dan runcing selayak mata elang. Rahang kerasnya mengisyaratkan karakter kuat dan teguh. Membuat nyali Aurora ciut bahkan sebelum ia memulai pembicaraan.

"Kalau boleh tahu, ada apa kamu ingin bertemu dengan saya, Aurora?" Pak Wira membuka pembicaraan, membuat Aurora terkesiap dari lamunannya. 

"Ah, euh ... begini, Pak. Saya ingin menanyakan, apakah bisa Bapak meninjau ulang perjodohan saya dengan putra Bapak? Bukankah seharusnya perjodohan itu antara putra Bapak dengan Rania sepupu saya?" Dengan hati-hati, Aurora mencoba menyusun kata.

"Ah, itu lagi. Saya sudah ada kesepakatan dengan Pak Handi. Dan semuanya sudah ditetapkan."

"Tapi, Pak. Maaf, apa Bapak yakin ingin menjodohkan putra Bapak dengan saya? Apa Bapak tidak hendak memikirkannya ulang?"

"Kamu pikir, saya akan sembarangan memilih calon istri untuk anak saya?" Deg. Aurora terperanjat mendengar jawaban yang meluncur dari mulut sang calon mertua. Keberaniannya semakin surut. Lanjutkan atau tidak, ya? Pikirnya.

"Umm ... begini Pak, maaf, tapi sepertinya saya tidak pantas untuk putra Bapak yang saya dengar, adalah lulusan dari luar negeri. Saya ... saya bahkan tidak kuliah, hanya lulusan SMA."
Pak Wira mengernyitkan dahi. Tampak tak nyaman dengan perbincangan ini. 

"Saya rasa, justru Rania putri Paman saya lebih cocok dengan putra Bapak. Dia juga lulusan luar negeri, Pak."

"Apakah perbincangan kita sudah cukup? Saya rasa tidak ada yang akan berubah." Aurora terhenyak. Bagaimana bisa Pak Wira bahkan tak peduli dengan latar belakang pendidikannya? Sebenarnya ia benar-benar serius atau tidak menjodohkan anaknya? Aurora masih tak habis pikir. 

"Tapi ... mungkin Bapak belum tahu, kalau saya berjualan kue surabi di sebuah kedai. Selain memasak, saya juga melayani para tamu. Apa Bapak tidak merasa malu memiliki menantu tukang kue surabi seperti saya?" Aurora berharap fakta tentang dirinya barusan dapat menggoyahkan kekukuhan hati Pak Wira. 

"Jadi kamu sudah punya usaha sendiri? Wah menarik sekali. Saya malah semakin yakin dengan keputusan saya." Wajah Pak Wira terlihat semringah. 

"Aa ... apa?" Jleb. Aurora terbelalak. Tidak menyangka Pak Wira akan bicara begitu. Duh, salah. Rupanya kata-katanya tadi sungguh tak mampu menggoyahkan pendirian Pak Wira. 
Padahal itu adalah senjata terakhinya untuk membuat Pak Wira membatalkan perjodohan dengan putranya. Tapi ternyata ia masih juga gagal untuk meyakinkan pria berpendirian teguh ini. Bagaimana nanti ia menjelaskan pada Bibi Rey?

"Kalau sudah selesai, saya mau lanjut dengan urusan saya. Sebentar lagi ada meeting dengan staf pimpinan," ucap Pak Wira sambil melirik jam tangannya. Aurora kehabisan kata. Hanya kecewa menelusup hatinya.

"Oh ya. Dante sudah pulang dari luar negeri. Karena itu, saya dan keluarga akan datang berkunjung untuk makan malam bersama dengan keluarga kalian akhir pekan ini."

"Da Dante?" Aurora mengernyitkan dahi. 

"Rupanya kamu belum tahu nama calon suami kamu. Dante. Itu namanya. Jangan sampai lupa, ya."

 Aurora meringis. "Ah, iya." Menggaruk kepalanya yang tak gatal.

"Satu lagi. Jangan lupa berdandan yang cantik ya Aurora." Lengkung senyum miring muncul di wajah Pak Wira, senyum licik penuh kemenangan itu terlihat begitu pongah. 

Dengan lunglai, Aurora meninggalkan kantor Pak Wira. Masih terbayang perbincangan tadi yang berjalan penuh ketidaknyamanan. Belum lagi, permintaan Bibi yang penuh harap agar Aurora bisa meyakinkan Pak Wira. 

Namun, nihil. Gagal total! Bagaimana nanti ia harus menjelaskan kepada bibinya? Benar-benar membuat kepalanya terasa nyeri.

Aurora memutuskan untuk rehat sejenak di taman belakang kantor yang terletak tidak jauh dari tempat parkir. Kantor Pamannya dapat terlihat dari taman ini. 

Taman yang menghadap ke sebuah danau buatan ini, tidak begitu cantik dan tampak kurang terawat, tapi cukup banyak ditumbuhi pepohonan.

Tak banyak orang yang datang ke tempat ini. Suasana sepi itu justru disukai Aurora. Ia terkadang mendatangi taman ini sepulang berkunjung dari kantor Pamannya atau sekadar menemui Rania. 

Aurora kemudian memilih duduk di bangku panjang yang terletak di bawah pohon menghadap ke sebuah danau buatan yang airnya tidak begitu jernih. 

"Huft. Sungguh repot berurusan dengan seorang pimpinan. Begitu tertekan berhadapan dengannya." Aurora menunduk menahan emosi. "Mengapa harus aku yang Anda pilih Pak Wira? Bukankah ada banyak gadis lain yang lebih baik? Mengapa memaksa membuatku dalam posisi sulit oh Tuan Pimpinan yang terhormat? Mentang-mentang kaya dan berkuasa, lantas seenak hati membuat keputusan tanpa memikirkan perasaan orang lain, huh!" Aurora setengah berteriak meluapkan emosi yang sedari tadi ditahannya.

"Maaf, permisi." Sebuah suara bariton menghentakkan Aurora. Ia tidak menyangka ada orang di tempat yang biasanya sepi ini. Ia kontan menengok ke arah sumber suara.

Seorang pemuda berjas hitam dengan tubuh tinggi tegap dan wajah putih bersih tengah berdiri di sana. Mata elangnya tampak menyipit, hidungnya runcing, dengan rahang kokoh dan tegas. Sedikit mengingatkannya pada seseorang. Tapi, siapa dia? Kenapa dia bisa ada di sini? Aurora beku dalam keterkejutan.




**


Baca juga cerita saya lainnya, yaa

1. Pengantin Ramadhan
2. Mendadak Menikahi Nona Muda
3. Dinikahkan Sejak Kecil
4. Dihina Jelek dan Miskin Padahal Kaya











Komentar

Login untuk melihat komentar!