Airin Mengidap Penyakit Kanker
Story WA Ayah Dan Bunda #6

"Airin! Bangun, Airin!" Aku berusaha menggoncang tubuh Airin.

(Uhuk! Uhuk!) Airin membuka mata dan mulai sadar, ia memegangi kepalanya dan keluar darah lagi dari hidungnya.

"Rin, kamu sedang tidak baik-baik saja! Ayo, kerumah sakit," kataku pada Airin.

"Gak, Nia. Aku tadi cuma pusing biasa kok," ucapnya sambil mengelap darah yang keluar dari hidung.

"Aku gak percaya kalau kamu cuma pusing biasa, kamu pasti ada apa-apanya. Jangan berbohong!" tekanku.

"Kamu gak usah khawatir, aku beneran gak apa-apa kok," kata Airin.

"Rin, aku ini mahasiswi kedokteran. Aku tau penyakit biasa dan penyakit serius, wajah kamu udah pucat gini kamu bilang gak apa-apa!" ucapku.

"Rin, kamu mau ya, kerumah sakit," pujukku sembari merapikan rambutnya yang berantakan.

"Hem ... Kamu terlalu berlebihan, Nia. Aku baik-baik aja, kok!" Airin tersenyum sembari menggenggam jemariku.

"Rin, rambut kamu rontok! Pokoknya kamu harus kerumah sakit. Ayo, naik kepunggungku," titahku.

"Tapi, aku gak punya uang Nia," kata Airin menekuk wajahnya.

"Rin, aku punya uang. Aku masih punya pegangan emas, aku bisa menjualnya untuk biaya rumah sakit. Pokoknya kamu harus diperiksa dan harus tau kamu sedang terkena penyakit apa," kataku.

"Itukan buat masa depan kamu Nia, kamu juga harus berhemat dan menyimpan uang demi membangun usahamu di masa depan," ucap Airin.

"Rin, nyawa lebih berharga dari apapun. Aku rela menunda usahaku asal bisa menyelamatkanmu. Tolong, jangan terus mengulur waktu kayak gini Rin. Lihat, hidung kamu terus mimisan," ucapku sudah mulai cemas.

"Nia, dengar dulu! Kamu jangan panik, aku akan mengatakan semuanya," ucap Airin menarik tanganku untuk duduk.

"Sebenarnya aku memang sedang mengidap penyakit kanker stadium akhir, aku juga sudah putus kuliah semenjak dua bulan yang lalu. Uang kiriman dari orang tua kugunakan untuk berobat, tapi ... Tiga hari yang lalu dokter sudah memvonis kalau umurku gak bakalan lama lagi. Sekarang, aku udah gak mau berobat Nia. Aku udah lelah, aku cuma pengen lihat kamu bahagia dan bisa menggapai mimpimu. Pokoknya kamu harus bisa membuat aku bahagia dengan keberhasilanmu Nia." Airin membuat aku syok, kenapa dia tidak bilang dan merahasiakan semuanya sendirian.

"Rin, k-kamu pasti bohong, kan? Kamu baik-baik aja, kan? Kamu pasti bercanda!" ucapku tak percaya.

"Hiks ... Hiks ... Aku gak mungkin membercandakan maut, Nia!" Airin terisak.

"Rin, tetaplah bersamaku. Jangan tinggalin aku, aku cuma punya kamu Rin. Kalau kamu pergi lalu bagaimana dengan aku." Kupeluk tubuh Airin dengan tangis yang membanjir, tak kusangka sahabat yang selalu ceria di depanku ini ternyata mempunyai penyakit yang sangat serius. Aku malu! Aku malu pada Airin yang sekeras ombak dan setegar karang. Berbeda denganku yang hanya secuil remahan rengginang.

"Sakit?" tanyaku.

Airin menggeleng " Kedokter yuk, kita berobat!" pujukku.

"Gak mau, aku gak mau usahamu gagal ditengah jalan hanya karena aku Nia. Aku mau kamu sukses, dan jika alam kita sudah berbeda sering-seringlah menjengukku di rumah baruku," ucapnya membuat dada ini sesak.

"Rin, jangan ngomong gitu. Kamu orang baik, kamu orang yang paling spesial di dalam hidupku. Aku akan temani kamu melawan kanker itu, pokoknya kamu harus sembuh. Kita percayakan semuanya sama Allah, pasti Allah akan menolong kita," ucapku dan dibalas anggukan oleh Airin.

🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺

[Nia, bunda sudah pulang dua hari yang lalu ke Indonesia.] Tiba-tiba saja notif pesan timbul dilayar atas ponselku.

[Ya, bunda, ada apa?] tanyaku, mungkinkah bunda ingin memberiku oleh-oleh.

[Kamu ingat, kan, pernah pinjam uang 1juta 500 sama bunda. Sekarang bunda ingin menagihnya, bunda butuh uang ingin bayar arisan. Kamu bisa transfer sekarang!] Mataku melongo melihat balasan pesan dari bunda. Padahal mereka baru saja pulang dari luar negara, tak adakah basa-basi untuk menemuiku atau sekedar memberiku oleh-oleh dari sana.

[Bunda, Nia mau tanya?] kubalas pesannya.

[Mau tanya apa? kalau gak penting bunda gak punya waktu untuk meladeni, bunda juga sibuk.] 

[ Sebenarnya Nia ini anak siapa? Bunda mungut Nia dari mana?] tanyaku langsung pada intinya.

[Kamu ngomong apa? Bunda yang ngelahirin kamu, kenapa kamu tanya seperti itu. Jelas-jelas bunda melahirkanmu di rumah sakit bersalin, kamu tau itu.] Hiks ... Masih bisa bunda bilang kalau dia yang melahirkanku.

[Kalau begitu, apa Nia anak yang tidak di inginkan? Apa Nia anak yang terpaksa bunda lahirkan,] kataku.

[Jangan ngelantur, kamu mau trasfer atau tidak. Kamu itu bunda yang ngelahirin, jelas! Jadi, gak usah bertanya lagi,] balas bunda membuat hati ini mencelos.

[Kalau Nia anak bunda, lalu kenapa bunda, bunda terlalu perhitungan sama Nia. Sementara bunda terlalu royal dengan anak tiri bunda, coba bunda bayangin! Selama bertahun-tahun Nia hidup menderita bersama nenek, kenapa bunda tidak pernah perduli. Bahkan nenek meninggal'pun bunda tak datang.] Aku meluapkan segala kekesalan.

[Transfer sekarang ke no rekening ini!] Bunda mengirim no rekening. Setelah itu aku membalas pesannya sudah tidak masuk lagi.

(Nomor ini telah memblokir anda!) Hah ... Tega sekali bunda. Kenapa aku mempunyai orang tua seperti ayah dan bunda. 

Aku memutuskan untuk tidak mengirimkan uang pada bunda, walau aku masih mempunyai pegangan yang aku sisihkan. Tapi ... Uang itu inginku pakai untuk membantu menebus obat Airin setiap bulannya. Aku gak tega jika harus melihat Airin kesakitan.

🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺

"Rin, kamu gak usah kerja dulu, ya! Kamu istirahat aja di kosan, aku gak mau penyakit kamu kambuh saat kamu kerja. Lihat, rambut kamu juga semakin rontok, aku gak mau nanti kamu kena marah jika rambutmu masuk kedalam makanan. Maafin aku, ya, Rin! Aku gak mau ada orang yang sampai membuatmu sakit hati," kataku pada Airin.

" Makasih Nia, udah perduli sama aku. Aku bersyukur punya sahabat kayak kamu," ucap Airin.

"Aku yang harusnya bersukur punya sahabat yang selalu ada disaat aku butuh tempat curhat," ungkapku.

"Nia, kamu janji kalau kamu udah gajian kamu mau teraktir aku makan bakso, kamu janji kalau kamu gak akan terlalu irit lagi. Kamu janji jangan terlalu menyiksa perutmu lagi, aku tau! Kamu selalu menyimpan obat lambung di dalam tasmu, aku tau, kamu sering puasa agar bisa menghemat uang. Tapi, gak gitu juga Nia, kalau udah sakit kamu bakalan menyesal kayak aku. Kamu harus sehat, dan teruskan menggapai semua mimpimu. Buktikan pada dunia ketika kamu telah sukses dan berhasil nanti." Aku kagum pada Airin, padahal dia lebih rapuh dariku. Aku salut dengan ketangguhannya menjalani hidup, dialah orang yang selalu memotivasiku selama ini.

"Aku, janji!" ucapku.

"Orang tua kamu tau, kalau kamu mengidap penyakit kanker?" tanyaku.

"Enggak, Nia! Aku gak mau buat mereka khawatir, biarlah mereka tau ketika aku sudah tiada. Setidaknya aku tidak menjadi beban pikiran mereka, jika orang tuaku bertanya tentang keadaanku kekamu, Bilang saja kalau sebentar lagi aku akan menggapai mimpiku," ucap Airin membuatku tersentuh.

"Kamu hebat Rin, aku cemburu dengan ketegaranmu."

"Pokoknya kamu harus temani aku, sampai aku sukses. Kamu harus nyaksiin saat aku memegang toga dan mendapat gelar kedokteran, kamu harus jadi orang pertama yang ngucapin selamat sama aku. Kamu janji!" kataku pada Airin.

"Hem ... Aku janji!" Airin tersenyum lalu memelukku.

"Makasih Rin, kamu segalanya bagiku sekarang."

🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺

Makasih atas supportnya! Jangan lupa tap love dan tinggalkan komen, ya. Agar aku lebih semangat lagi.



Komentar

Login untuk melihat komentar!