Membuat Momen Dengan Airin
Story WA Ayah Dan Bunda #7

"Rin, aku beliin kamu bakso, nih!" ucapku seraya masuk kedalam kos.

Airin yang tengah sibuk membaca sebuah buku terkesiap. 

"Beneran? Tapi, kamu belum gajian, kan?" tanya Airin tersenyum bahagia.

"Rin, aku gak pengen ngenunda-nunda buat kasih kamu sesuatu. Melihat kamu bisa tersenyum kayak gini aja, aku udah seneng banget. Bagiku uang bukanlah segalanya, tapi ... Kenangan bersama orang terkasih itu lebih berharga. Aku udah kehilangan nenek, dan aku gak mau kehilangan kamu!" terangku.

"Tuh, kan, mewek lagi. Udah, ah! Gak pengen sedih-sedih terus, kalau nungguin kamu sedih-sedih lagi, ntar baksonya keburu dingin!" celetuk Airin.

"Airin ... Kamu, ih! Bikin kesel, sumpah!" kataku dibalas Airin dengan terkekeh.

"Aku ambil mangkok, dulu, ya? Kamu di situ aja, jangan banyak gerak. Kamu harus istirahat biar tubuhmu gak cepat lelah," ucapku dengan tegas.

"Malahan aku ngerasa lelah banget kalau tiduran mulu. Aku pengennya masuk kerja lagi, Nia," ucap Airin.

"Gak, pokoknya kamu harus sembuh dulu baru kerja!" tegasku sambil melotot.

"Oh, iya, Nia. Biaya kedokteran itukan mahal banget, sampai ratusan juta. Kok, kamu cuma bayar seperempat doang?" tanya Airin.

Aku menghela napas ringan lalu menjelaskan. " Sebenarnya aku dapat beasiswa 80 persen dari universitas, mungkin karena nilaiku selalu bagus. Aku juga selalu dapat juara satu dari SD sampai SMA, pun, aku memang selalu dapat beasiswa karena prestasiku. Awalnya aku juga pengen mundur, tapi ... Nenek selalu ngedukung, katanya pasti akan ada jalan kalau aku mau berusaha." 

"Terus-terus, cerita lagi, dong! Dari mana kamu dapat uang 50 juta?" tanyanya.

"Ya, walaupun aku dapat beasiswa dari universitas, aku juga harus bayar. Karena beasiswanya gak full. Soalnya, ada anak lain yang nasibnya juga kurang beruntung. Mungkin karena biaya jurusan kedokteran itu sangat mahal makanya cuma dapat 80 persen aja. Aku juga bingung, kenapa cuma dapat 80 persen. Biasanya kan, kalau dapat beasiswa ditanggung semua oleh pemerintah. Tapi, gak papalah itu juga sudah meringankan bebanku."

"Saat itu aku mikir untuk mundur lagi, apalagi pas pertengahan semester nenek meninggal, aku terlilit banyak hutang di bank dan harus menggadaikan rumah. Aku memberi kabar pada bunda dan ayah keduanya seperti tutup mata dan telinga, tak mau tau. Sekitar dua bulan kepergian nenek aku mengikuti lomba tilawah tingkat nasional, Alhamdulillah aku menang dan meraih juara satu. Di situ aku seneng banget gak bisa berkata-kata apapun, aku mendapat sebuah piala dan uang sebesar 50 juta. Kusimpan uang itu dalam ATMku dan tak ingin kugunakannya, tapi ..  pada akhirnya kuambil juga untuk bayar cicilan di bank. Karena sudah merasa tidak sanggup dan harus segera melunasi pembayaran ujian semester terpaksa aku menjual rumah peninggalan nenek. Aku beruntung punya sahabat kayak kamu, berkat kamu dan almarhumah nenek aku bisa berdiri sampai sekarang!" terangku panjang kali lebar.

"Wah ... Kamu hebat banget," ucap Airin ternganga sambil bertepuk tangan.

"Ya, aku cuma inget satu hal kata-kata yang pernah diucapkan oleh nenek. Jika kamu sedang berada di bawah, maka sujudlah. Jika kamu berada di atas maka sujudlah, karena Tuhan itu selalu ada untuk hambanya yang membutuhkan," ucapku.

"Tuh, kan, Rin! Aku jadi sedih lagi, kamu sih," ucapku.

"Hehe ... Penasaran aja, Nia. Tapi, aku salut loh, sama kamu. Ada kenalan aku, dia itu juga anak broken home. Terus, dia bilang kalau mau cepat dapat uang ya, jual dir* di situ aku istigfhar sepanjang jalan. Mana pake ngajakin lagi, kalau gak ingat dosa mungkin aku udah terpengaruh dengan embel-embel uang yang dia berikan," kata Airin sembari melahap bakso di mangkuknya.

"Astagfirullah Airin, amit-amit. Aku gak mau masuk neraka dan ngecewain nenek, aku rela makan cuma pake nasi putih dan puasa Senin-Kamis. Asal aku bekerja dan dapat duit yang halal. Kamu, jangan mau, ya. Kalau diajakin sama temen yang gak bener kayak gitu, nanti yang malu orang tua kamu. Kasian mereka, udah capek-capek ngebesarin kamu dari kecil hingga dewasa, panas-panasan, hujan-hujanan demi anaknya. Mereka akan kecewa banget kalau sampai anaknya terjerumus dalam gelimangan dosa seperti itu," ucapku menasehati Airin.

"Ih, kan, aku bilang enggak! Bu, ustadzah Nia," cetus Airin mentoyor kepalaku.

"Eh, aamiin."

"Kok, aamiin?" tanya Airin.

"Omongan adalah doa, siapa tau aku beneran jadi ustadzah," kataku terkekeh.

"Loh, kok, gak konsisten. Mau jadi ustadzah apa dokter?" tanya Airin.

"Dua-duanya kalau bisa. Jadi ustadzah boleh, jadi dokter juga boleh. Hehe!" ucapku.

"Dih, serakah banget," kata Airin.

"Serakah demi kebaikan itu gak apa-apa, dihalalkan. Apalagi kalau serakah ilmu, itu gak apa-apa," tuturku.

"Au, ah, gelap!" Airin meberut.

"Nih, aku tambahin bakso yang besarnya, jangan merajuk lagi," kataku sembari menaruh bakso yang besar punyaku kemangkuk Airin.

"Makasih, ya." Airin langsung cengengesan.

🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺🌺

[Bunda pengen ketemu,] sebuah notifikasi dari nomor bunda.

Untuk apalagi bunda menghubungiku, bukannya kemarin nomorku sudah diblokir. Apa karena bunda ingin menagih uang 1 juta 500 itu. Ya, Allah! Begini banget punya orang tua, tetiba berurusan sama aku mereka mendadak miskin. Ketimbang sama anak tiri mereka berlagak seperti sultan.

[Di mana?] jawabku singkat karena malas.

[Di cafe, gak jauh dari kampus kamu,] balasnya.

[Oke!]

_____

"Kenapa Bun? masih ingat, sama aku?" tanyaku membuang muka.

"Kamu jual rumah nenek?" tanya bunda.

Aku menoleh lalu berpaling lagi darinya " iya," jawabku singkat.

"Kenapa kamu gak ngasih tau bunda? terus uangnya mana?" tanya Bunda.

"Masih penting uang itu buat bunda?" tanyaku kesal.

"Bunda juga punya hak atas penjualan rumah itu," kata Bunda.

"Siapa bilang?" tanyaku.

"Bunda ini pewaris satu-satunya nenek. Jadi ... Berikan bagian bunda sekarang!" pintarnya.

"Pewaris? Anak? Hah ... Malu, Bun. Giliran masalah uang bunda dateng, di mana bunda saat nenek sekarat di rumah sakit? Di mana bunda, saat nenek butuh biaya pengobatan? Di mana bunda saat nenek menghembuskan napas terakhir? Bahkan, saat aku meminta bunda untuk datang ke pemakaman nenek bunda malah sibuk mengurusi anak tiri bunda yang mau kesalon karena ingin merayakan ulang tahun. Sekarang bunda ingat sama nenek, karena ingin uang bukan?" tanyaku membuat bunda marah.

Mungkin, orang akan mengira aku ini anak yang tidak sopan. Tapi, aku sangat kesal dengan sikap bunda dan ayah. Salahkah jika aku membangkang? Aku tau, surga memang berada di telapak kaki ibu. Tapi, apakah seorang ibu setega ini terus menerus menyakiti hati seorang anak yang sudah dilahirkannya.

"Kamu, makin kesini makin kurang ajar, ya, Nia. Dasar anak durhaka! Gak tau berterimakasih pada orang tua," hiks ... Dadaku berdesir saat bunda mengataiku anak durhaka, hati ini terasa tercabik-cabik oleh omongannya.

Seketika aku diam dan bangkit, lalu menenteng tas dan pergi begitu saja. Tak kuhiraukan lagi bunda yang terus merutuk kesal.

"Kenapa aku bisa melahirkan anak yang gak bisa di atur seperti itu!" teriaknya tapi kuabaikan.

Hah ... Setelah keluar dari cafe dada ini menjadi sesak. Kenapa aku terus berpikir positif saat kedua orang tuaku saat mereka meminta ingin bertemu, padahal mereka hanya ingin menindasku saja. Aku yang notabenenya memang sudah tidak diurus oleh mereka berdua, kadang pengen ketemu walau hanya sekedar memeluk tubuh mereka. Jangankan untuk memeluk, setiap kali bertemu pasti akan bertengkar seperti ini. Ibarat hubungan yang sudah renggang menjadi semakin jauh akibat arus lautan yang sudah tak beraturan.

[Keluarin hak bunda atau akan berurusan dengan polisi,] sebuah notifikasi pesan dari bunda.

Aku sudah tak perduli, lagian aku menjual rumah itu sudah atas namaku bukan atas nama nenek lagi. Jadi ... Bunda gak akan bisa menuntutku.


Komentar

Login untuk melihat komentar!