berselang satu jam

Berselang satu jam, Mas Indra datang dengan segala pesanan yang sudah ku minta 1 jam lalu. Ada kopi dan roti, pesanan laundry, barang  grocery dan lain sebagainya yang menumpuk dan nyaris membuat dirinya tak terlihat.

"Ini roti dan semua hal yang kau minta! Apakah aku boleh istirahat sekarang?!" tanyanya.

"Kurasa  tidak ada seorang office boy pun di dunia ini yang berani menuntut istirahat kepada atasannya padahal dia baru bekerja beberapa jam saja, bahkan kau tidak memulai dari jam 6 pagi," jawabku sambil melipat tangan di dada.

"Aku kehabisan Nafas Alifah."

"Panggil aku Ibu!"

"Ibu Alifah ...." Pria itu mengerucutkan bibir dengan aksen jijik dan kesal.

"Kau bilang kau butuh pekerjaan dan akan melakukan apapun yang kau minta demi menyambung hidup dan keluargamu Lalu kenapa sekarang kau terlihat keberatan?"

"Tidak keberatan, hanya saja aku lelah kau seakan mengerjaiku Alifah, maksudku, Ibu Alifah yang terhormat," ejeknya halus.

"Bos bebas menyuruh apapun pada bawahannya dan bawahan harus menurut demi keberlangsungan mereka. Apa kau ingin dipecat?"

"Ancamanmu mengerikan," ujarnya sambil menghela napas dan menjauh pergi.

"Jangan lupa yah kusuruh tadi," ucapku sambil melepas kantung plastik pembungkus makanan.

"Apa?"

"Bersihkan mobilku karena aku harus menjemput nada ketempat balet lalu aku akan pergi berkencan dengan calon suamiku, kau paham."

"Ah, kau pamer sekali," gumamnya kesal.

"Iya, bukanlah itu fair, aku menjanda dan bebas, tidak ada yang melarangku. Kau bisa apa?"

"Keterlaluan," gumamnya menggeleng pelan.

Aku tertawa kecil sambil memperhatikan dia yang merutuk sambil meninggalkan ruanganku.

"Hukuman dariku belum selesai Mas Indra, kau harus merasakan kepahitan yang lebih besar dari in hal sakit yang pernah ku rasakan ketika kau mencampakanku. Bayangkan, Aku berjuang sendiri dengan segala kesedihan dan ketidakberdayaan sementara kau bahagia dalam pelukan Berlian, kekasih barumu." Aku mengguman sambil menggigit makananku.

*

Sore pukul empat, aku turun ke basement dan mengarahkan sensor ke mobilku. Sebelum naik, kuedarkan pandangan dan mendapati Mas Indra sedang duduk di samping pos penjagaan dengan wajah terkantuk-kantuk. Dia nampak lesu dan berkali kali menguap dengan lemas. Aku tahu dia lelah.

"Hei, apa yang kau lakukan di jam kerja? Sudahkah kau berkeliling dan memeriksa semuanya?"

"Be-belum."

 Pria yang kesadarannya seperempat itu terkejut dan langsung mengusap wajah.

"Supirkan mobil untukku, aku lelah sekali dan mengantuk," suruhku pada pria itu.

"Tapi, aku juga lelah dan mengantuk, aku tidak bisa bertanggung jawab kepada kecelakaan yang mungkin terjadi jika aku memaksakan diri untuk mengantarkanmu."

"Sudahlah, jangan banyak alasan, cuci muka dan antarkan saya!"

"Hmm, wanita ini ...." Dia mengomel perlahan.

Mobil kami meluncur dengan kecepatan sedang, diaspal mulus dan keadaan jalan yang lumayan ramai.

"Jadi hari ini kau sengaja menyuruhku untuk menyetirkan mobil agar aku bisa melihat betapa mesranya kau dan kekasihmu, juga betapa akrabnya dia dengan Nada,  agar aku merasa kecil hati melihat keharmonisan keluarga kalian."

"Tidak juga, kecuali kau berpikir demikian, aku tak keberatan," jawabku acuh tak acuh. Pria itu berdecut dengan sudut bibir yang ditariknya ke sudut. Dia mendengus seperti sapi kehilangan rumput, aku terhibur sekali.

*

Sesampainya di depan klub tempat Nada latihan, kuhubungi ponsel anakku dan tak lama kemudian dia keluar dengan tas di bahunya. Agak terkejut anakku melihat pria asing yang pernah mengaku sebagai ayahnya tiba tiba menyupiri mobil kami. 

"Ayo, Nada ...."

"Iya, Ma." Anakku segera bergabung di mobil bersamaku.

"Apa kabar Nada?" tanya Mas Indra pada anaknya.

"Mama, apakah supir bebas bicara padaku tanpa izin?" tanya Nada dengan wajah tak nyaman.

Sebenarnya salah mendidik anak untuk tidak berbakti pada orang tuanya sendiri. Tapi, jika aku harus memberi tahu dan memaksanya untuk bersikap baik pada pria yang baru dua kali dia temui, kurasa itu aneh dan nada bisa tertekan. Mendapatkan kenyataan baru tentu bukanlah hal yang mudah untuk diadaptasi.

"Hmm, kau dengar Mas Indra, tolong jaga sikapmu," balasku pada Mas Indra.

"Ah, ini keterlaluan." Mas Indra terbelalak tapi aku tidak mempedulikannya. "Aku ini ayahnya ...."

"Ayah?" Nada bertanya.

"Iya, ayahmu."

"Manis sekali," jawab anakku tanpa ekspresi apapun di wajahnya.


Melihat sikap dingin anaknya mas Indra kembali merasa kesal dan keberatan.

"Kurasa ... kau lah yang menghembuskan kebencian pada anakku, hingga dia sedingin ini."

"Tidak juga" ucap nada. "Ayah biologis belum tentu layak jadi ayah yang sebenarnya. Aku butuh ayah yang mendukung saat aku jatuh, menghibur saat sedih dan menghabiskan waktu dengan bahagia."

"Aku bisa melakukan semua itu!"

"Maaaf." Nada menggeleng.

"Kau tidak akan memberikan ayahmu kesempatan?"

"Tapi aku sudah punya ayah dia sangat baik dan lucu juga menuruti semua kemauanku."

"Siapa."

"Om Rey."

"Bagus, kamu berdua ibu dan anak kompak menyakiti perasaanku," ucapnya bertepuk tangan.

"Kenapa tidak duduk dan menyaksikan saja apa yang terjadi, toh, kita sudah tidak punya hubungan lagi, kau juga sudah bahagia dengan kehidupan dan istrimu, maka kami pun juga berhak bahagia, bukan begitu?"

"Iya, benar."

"Bagus jika kau setuju."

"Hmmm ..." Pria itu menggeram sekali lagi.

Kini mobil kuhentikan tepat di depan kantor Mas Rey, sebuah ruko berlantai dua yang merupakan kantor pembiayaan kredit swasta bagi masyarakat yang membutuhkan dana cepat. Kusuruh Mas Indra menunggu, selagi kekasihku membereskan sisa pekerjaannya di atas.

"Apakah masih lama?"

"Iya._"

"Menyebalkan," gumamnya.

"Apakah supir berhak banyak bicara dan merutuki bosnya?" kini nada ikutan gemas pada sikap ayahnya.

"Ya, ampun ... hah, aku resign saja."

"Terserah ...." Aku hanya tertawa.





Komentar

Login untuk melihat komentar!