"Apa? kau butuh kerjaan? kenapa minta padaku, kau bisa cari lowongan atau sementara kerja serabutan, kenapa harus repot repot mencariku?"
"Aku rasa kau pasti akan menolongku," jawabnya pelan. "Setelah bertahun tahun kurasa kau pasti sudah memaafkanku," balasnya menunduk.
"Hei, aku tidak akan pernah memaafkanmu apapun yang terjadi. Dulu, kau sangat menyakiti dan menyusahkanku jadi mana mungkin aku akan mengampunimu," jawabku enteng.
"Kalau begitu maafkan aku, Alifah, aku benar benar datang kemari ingin minta maaf."
Apa? Tadi dia bilang ingin mencari pekerjaan lalu tiba-tiba dia mengubah tujuannya datang kemari untuk minta maaf. Jadi manakah tujuan yang benar dari mantan suamiku ini.
"Jika kau sudah selesai bicara kau bisa pergi sebab aku punya banyak pekerjaan yang tidak bisa ditunda lagi," usirku halus.
"Apapun yang terjadi aku harus mendapatkan pekerjaan karena jujur saja ...." Pria itu menjeda ucapannya, nampak sedikit malu dan beberapa saat menatapku dengan ragu.
"Apa?"
"Aku tidak tahu cara lagi untuk cari makan, aku kehilangan karir dan reputasi, jatuh miskin dan kelaparan," jawabnya.
"Lalu kemana istrimu?"
"Jangan tanya tentang masalah rumah tangga yang kini mendera kami, dia kerap marah dan ingin minta cerai," jawab Mas Indra dengan sedih.
"Bagaimana pun, itu bukan urusanku, Mas. Pulanglah, aku sama sekali tidak bisa membantu karena jika kubantu itu akan merepotkanku."
"Bantu aku sekali ini, saja aku mohon."
"Maaf, dulu, aku juga kau tinggalkan dalam keadaan lapar, aku berusaha mati matian untuk bertahan hidup dala kondisi yang sangat tidak memungkinkan. Jadi, kurasa kau pasti lebih bisa survive dibanding aku," jawabku.
"Tidak ada lagi pilihan pekerjaan selain menjadi penjahat dan penipu," balasnya, " aku benar benar putus asa."
"Aku sibuk, Mas, maaf ya." Aku sengaja meninggalkan ruanganku karena menghindari priaitu. Kurasa kehadirannya sekarang hanya akan menyusahkanku. Aku yang baru mulai menyembuhkan luka hati dan membuka diri tak mau kehilangan momen dengan kehadirannya yang akan jadi penghalang kebahagiaanku.
Aku masuk ke ruang rapat dan duduk di sana sembari memantau pergerakan Mas Indra, aku berharap di segera pergi dan tidak mengangguku lagi, aku harap dia tak akan pernah datang dalam kehidupanku lagi.
Tring ....
Ponselku berdering dan dari seberang sana, kekasihku, maksudku ... orang yang tengah dekat denganku menghubungi. Nama Reynald tertera di sana dan aku segera mengusap layar untuk mengangkatnya.
"Halo Mas Rey," jawabku.
"Halo, Dik, apa kau ada waktu siang ini?"
"Memangnya kenapa, Mas?"
"Aku ingin mengajakmu makan ke resto steak yang baru dibuka, aku ingin kau dan aku mencobanya dan kurasa itu ide bagus," balasnya.
"Uhm, akan kulihat dan kabarkan nanti, aku harus memeriksa laporan keuangan dengan teliti sebelu memutuskan untuk pergi atau tidak."
"Baiklah, aku menghargai jika kau dengan senang hati bisa pergi," jawabnya santun.
"Tentu, akan kucoba untuk menyisihkan waktu," jawabku sambil mengakhiri panggilan. Kututup ponsel dan di saat bersamaan Mas Indra terlihat keluar dari ruang kerjaku dan menyusuri lorong bersama langkahnya yang gontai.
Ada rasa iba, tapi di atas semua itu, aku masih sakit hati padanya. Bukannya tidak berprikemanusiaan dan punya kepedulian, aku hanya merasa tidak nyaman saja jika harus menerima dia sebagai pekerja di kantorku ini. Adalah ide bagus jika kuminta dia sebagai cleaning service atau kurir, tapi ... ah, sudahlah, pikiranku akan semakin rumit membayangkannya.
Pukul setengah satu siang, kujemput anakku Nada ke sekolahnya. Putriku yang berusia sepuluh tahun itu, kini duduk di kelas empat SD dan tumbuh menjadi anak yang cerdas serta cantik.
Sesampainya di depan gerbang, Kutepikan mobil, kubuka kacanya sembari sabar menunggu Nada keluar dari gerbang sekolahnya.
"Masih ada lima belas menit sebelum lonceng pulang, aku akan mainkan ponsel dulu," batinku.
Secara tak sengaja, dari dalam mobilku kulihat Mas Indra menyusuri trotoar yang tak jauh dari gerbang sekolah Nada. Sontak saja aku kaget dan panik, khawatir bahwa pria itu akan melakukan sesuatu yang tidak kuharapkan. Apakah sudah lama dia tahu bahwa nada bersekolah di sini atau dia hanya kebetulan lewat saja? Kuperhatikan pria yang kini berhenti tepat di depan gerbang, dia melongok ke dalam sekolah seolah sedang gelisah mencari sesuatu.
"Kurasa benar, dia sedang mencari nada."
Aku harus bergerak cepat, khawatir pria itu akan menculik anakku di antara kerumunan para siswa yang berhamburan keluar. Tapi, bukankah mereka tidak pernah berjumpa? Apakah Mas Indra tahu wajah anaknya? Kuharap dia tidak mengenalnya.
"Andai saja Nada punya ponsel, aku bisa mudah munghubunginya dan menyuruh dia menghindar dari tatapan pria yang sudah meninggalkan kami itu," gumamku dengan gelisah.
Teng ...!
Bunyi lonceng sekolah terdengar, anak anak bersorak gembira dan tak menunggu lima menit suara ramai langkah kaki mendekati gerbang. Aku segera meraih kacamata hitam dan masker wajah, turun sambil mengenakan jaket panjang selutut dan bersikap seolah aku orang asing. Sewaktu berjalan menuju gerbang, Mas Indra melihatku, ia mengernyit seolah mengenal tapi tidak mengatakan apapun.
Anakku keluar dari sekolahnya, kupanggil dia degan cepat dan dengan buru buru kami segera menuju ke mobil.
"Kok kita buru-buru Mama?"
"Kita harus segera pulang dan makan, Mama lapar," jawabku memberi alasan.
"Alifah, itukah Nada?" Tiba tiba suara pria itu memanggil di belakangku. Langkahku terhenti, tersentak dan aku benar benar tak ingin Indra melihat putriku yang berharga. Dia sudah mencampakkannya jadi dia tak berhak apa apa.
"Nada masuk mobil tanpa menoleh ke belakang," suruhku.
"Alifah, apakah itu nada!"
"Stop! Jangan hampiri kami sebelum aku berteriak bahwa kau adalah penculik anak dan perampok!"
Login untuk melihat komentar!