Assalamualaikum teman-teman, sebelum mulai membaca jangan lupa subscribe dan rating bintang lima-nya ya. Salam sayang untuk teman semua, semoga sukses selalu.
Part 6
Pov Laras
"Baik, Bu. Insya Allah kami akan datang nanti malam. Dan mengenai hari ini, Laras minta maaf sebab tak bisa pergi ke sana untuk bantu-bantu," ujarku, berharap ibu mengerti walau tak secara gamblang kujelaskan alasanku.
"Tak apa, Ras. Ibu paham. Ya sudah, kalau begitu kami pamit dulu. Ayo, Man." Ibu bangkit berdiri, diikuti Mas Utsman yang wajahnya tampak keruh.
"Pesan buat suamimu, Laras, di mana-mana darah itu lebih kental dari air. Ada mantan istri, ada mantan suami, tapi tak ada istilah mantan saudara. Entah apa yang kau cekoki pada Danang, sehingga bisa-bisanya dia lebih membelamu ketimbang adiknya sendiri!"
Ucapan Mas Utsman membuatku terhenyak kaget. Astaghfurullah ... teganya Mas Utsman menuduhku begitu. Refleks aku memandang pada ibu mertua yang telah sampai di depan pintu, aku takut beliau terpengaruh oleh kata - kata putra sulungnya ini.
"Darah memang lebih kental dari air, Mas. Tapi sekental apa ikatan darah di antara kalian, hingga hanya suamiku yang selalu dihina dan direndahkan oleh saudaranya sendiri?
Sementara kalian semua berleha-leha di rumah ibu dan asyik pamer harta, suamiku lah satu-satunya yang mau turun tangan, berjibaku dengan segala pekerjaan di rumah ibu, hingga berpanas-panas mengantar undangan pernikahan Niken ke rumah orang-orang.
Kami memang miskin, kami sadar tak bisa memberi sumbangan materi. Karena itu kami berusaha menyumbang tenaga di sana. Tapi itu pun kalian selalu saja berkata hal-hal yang menyakitkan hati."
Airmataku berlomba turun ketika mengatakan itu semua. Aku tak bisa berdiam diri lagi ketika disudutkan. Diam ternyata tak selalu emas, ada kalanya kita memang harus bersuara.
"Halah, drama kamu pakai nangis segala! Bilang saja kamu iri pada kami yang sukses ini, Laras. Makanya, suami tuh di doain biar rejekinya lancar dan jadi orang sukses.
Bukan malah dihasut supaya dengki dengan saudaranya sendiri. Sejak menikah dengan kamu, Danang memang berub__"
"Utsman, sudah! Meski Ibu sendiri malu mengakuinya, tapi yang dikatakan Laras memang benar. Kamu tutup mulut sekarang daripada terus menyakiti hati laras. Ayo kita pulang sekarang!" Ibu menyela ucapan Mas Utsman.
Laki-laki itu menatapku tajam sebelum berlalu keluar dari pintu rumahku yang sederhana.
Setelah mobil yang mereka kendarai menjauh, aku jatuh terduduk di atas lantai. Entah mengapa, rasanya hatiku sakit sekali menerima segala tuduhan dari Mas Utsman tadi. Lebih sakit rasanya ketimbang saat istrinya serta ipar-iparku yang lain menghina diriku miskin.
Astaghfirullah ....
Astaghfirullah ....
Lapangkan hati hamba ya Allah.
***
Sore hari, sekitar pukul lima sore, Mas Danang pulang selepas berjualan di pasar. Senyum manisnya merekah ketika aku menyambutnya di muka rumah bersama Syafiah.
"Assalamualaikum," ucap suamiku seraya melepas topi yang melekat di kepalanya.
"Waalaikumsalam," jawabku dan Syafiah berbarengan. Dalam sekejap, Syafiah kini sudah berada dalam gendongan ayahnya.
Memang begitu, Syafiah seolah menjadi pengobat lelah Mas Danang setelah hampir seharian bekerja mencari nafkah.
"Kamu habis nangis, Ras?"
Pertanyaan Mas Danang membuatku kaget. Apa masih kelihatan, ya? Perasaan sudah kukompres mata ini tadi dengan es batu, biar tak kelihatan bengkak dan membuat suamiku curiga ketika ia pulang bekerja.
"Ah, enggak kok, Mas. Mana ada bengkak?" elakku sambil berusaha menghindari bertatap muka dengan Mas Danang.
"Sudah yuk, masuk. Aku siapin air hangat buat mandi Mas sama Syafiah dulu," ujarku lagi, seraya hendak berlalu. Namun cekalan pada bergelangan tangan, menghentikan langkahku.
Aku menoleh, dan mendapati sepasang mata Mas Danang tengah menatapku tajam.
"Ada apa, Laras? Katakanlah," ucapnya. Pelan dan dalam.
"Mandi dulu, Mas. Nanti baru cerita," elakku lagi sambil melepas pelan tangan Mas Danang dan langsung berlalu menuju dapur.
Perasaanku tak nyaman jika harus menceritakan kembali apa yang dikatakan tadi oleh Mas Utsman pada Mas Danang. Takut hubungan persaudaraan antara mereka nanti semakin renggang dan aku yang lagi - lagi akan disalahkan.
"Mas, air hangatnya sudah siap. Sini, Syafiah sama Ibu, ya. Lepas baju dulu, nanti mandi bareng ayah," ujarku menghampiri anak dan suamiku yang tampak sedang seru bermain di ruang tamu.
Mas Danang menatapku, dan aku tahu arti tatapannya itu. Ah, semakin gelisah saja hati ini.
Selagi Syafiah dan Mas Danang mandi, aku menyiapkan pakaian ganti untuk mereka. Sudah kebiasaan seperti itu. Hidup kami sederhana tapi segala sesuatunya berjalan teratur.
***
"Mas, tadi siang ibu sama Mas Utsman ke rumah." Ucapanku seketika membuat Mas Danang menoleh.
"Ada apa? Mereka marahin kamu gara-gara Niken?" tembak Mas Danang.
"Enggak, Mas," jawabku.
"Jangan bohong, Laras." Mas Danang menukas tajam.
"Habis maghrib, kita diminta datang ke sana, Mas. Ibu bilang malam ini akan ada acara meeting keluarga," kataku mengabaikan ucapannya.
Terdengar hela napas berat keluar dari mulut suamiku. Aku tahu apa yang ada di pikiran Mas Danang saat ini, pastinya berat karena yang dihadapi adalah saudara-saudara kandungnya sendiri. Saudara yang selalu menganggapnya rendah karena suamiku tak seberuntung mereka.
Motor yang kami tumpangi bersama Syafiah, berhenti di halaman rumah mertuaku yang luas. Aku turun dari boncengan, disusul Mas Danang serta Syafiah setelah suamiku mematikan mesin dan mencabut kuncinya.
Tampak beberapa mobil terparkir berjejer di halaman. Tentu saja kesemua itu adalah milik kakak-kakak lelaki Mas Danang yang juga hadir dalam rapat keluarga malam ini.
Mendadak aku merasa gugup. Rasanya aku seperti sedang menghadiri sidang dengan aku sebagai tersangka utama dan mereka adalah jaksanya.
Tanganku yang terasa dingin, digenggam oleh Mas Danang saat menaiki undakan anak tangga menuju teras. Pintu rumah mertuaku tampak terbuka.
Kami mengucap salam, dijawab serempak oleh mereka yang ternyata sudah berkumpul.
Tampak ayah dan ibu mertua, serta para ipar sedang duduk di atas sofa mengelilingi meja.
"Masuk, Laras ... Danang," ucap ayah mertua yang selama ini sangat jarang bicara.
Ibu bergeser untuk memberiku tempat duduk, sementara Mas Danang mengambil tempat di sebelah ayah, dengan Syafiah berada di pangkuannya.
Kurasakan tatapan sinis dari para ipar sedang ditujukan padaku saat ini. Terutama Niken yang pastinya menyimpan kesumat sebab aku menamparnya kemarin.
"Baiklah, karena semua sudah berkumpul, kita langsung saja." Ayah mertua memulai rapat keluarga.
"Sebenarnya Ayah dan ibu sangat merasa kecewa kepada kalian semua. Kecewa sebab kalian tak bisa rukun, juga kecewa atas sikap kalian pada Danang dan istrinya."
Kami semua diam dan menyimak dengan khidmat. Tak ada yang berani bersuara ketika ayah berbicara. Namun kulihat ipar-iparku yang perempuan tampak saling sikut satu sama lain.
"Di antara anak-anakku yang lain, memang hanya Danang yang kehidupan ekonominya sederhana. Dia tak seberuntung saudara - saudaranya yang sudah sukses.
Tapi sungguh disayangkan, kesuksesan malah justru membutakan mata hati kalian. Ingatlah, anak-anakku. Kalian ini terlahir dari rahim yang sama. Di tubuh kalian juga mengalir darah yang sama.
Ayah dan ibumu selama ini diam, tapi bukan berarti tak memperhatikan bagaimana kalian memperlakukan Danang dan istrinya. Tak malu kah kalian menghina Laras? Menghina istrinya sama saja kalian menghina Danang.
Apa kalian mau, dikatakan sebagai pemakan bangkai saudara sendiri?"
Ayah menatap kami semua satu per satu.
"Ayah dan ibu sudah lelah dengan persoalan semacam ini yang tak ada habisnya di antara kalian. Ayah juga tak mungkin, membiarkan kesenjangan di antara kalian terus berlarut.
Walau bagaimana pun, Danang adalah anak Ayah, sama seperti kalian. Karena itu, kami memutuskan untuk membagi warisan yang adil secara hukum agama. Hanya rumah ini dan toko saja yang kami ambil untuk masa tua kelak.
Selebihnya, seluruh aset akan kami bagi ke kalian, sesuai hak kalian masing-masing. Supaya Danang juga bisa memanfaatkan itu sebagai modal memulai usaha," tutup ayah.
Sontak, suasana dalam ruangan langsung riuh. Suara-suara dari para iparku terdengar layaknya seperti dengungan suara kumbang. Yang pasti, wajah mereka semua tampak gembira sebab akan memperoleh warisan.
"Satu lagi, Ayah," sela ibu.
Seluruh perhatian kini terpusat pada wanita yang duduk di sampingku kini.
Apa kiranya yang hendak ibu sampaikan? Kami semua menunggu dengan hati berdebar.
🍁🍁🍁