Dengki
Assalamualaikum teman-teman. Sebelum membaca, subscribe dan bintang lima dulu ya untuk mendukung cerita ini dan gak ketinggalan update-nya. Selamat membaca semua, semoga terhibur. Salam sukses untuk teman-teman semua.

Part 7


Pov Laras

"Satu lagi, Ayah," sela ibu tiba-tiba setelah ayah menyampaikan keinginan beliau.

Seluruh perhatian kini terpusat pada wanita yang duduk di sampingku kini. Apa kiranya yang hendak ibu sampaikan? Kami semua menunggu dengan hati berdebar.

Ibu menatap tajam kami semua anak serta menantunya satu per satu, kemudian berhenti lama pada Niken, Mbak Dewi, Mbak Puspa, dan Mbak Ela.

"Mulai besok, jangan ada lagi yang bersikap arogan di rumah ini. Semua punya hak dan kewajiban yang sama, dihormati dan saling menghormati satu sama lainnya. Jangan sampai Ibu dengar lagi ada di antara kalian yang memusuhi Laras. Camkan itu!"

Kalimat ibu yang tegas membuat darah ini berdesir. Dadaku dipenuhi sebak, haru sekali ya Allah ... mendapat kasih sayang berikut perhatian begitu tulus dari seorang wanita yang bergelar ibu mertua.

Tak satu pun ipar-ipar perempuanku berani berbicara. Semua diam dan hanya menunduk, tapi entah bagaimana isi hati mereka.

"Maaf Ayah, Ibu ... bukannya aku menolak rejeki. Tapi, rasanya seperti menjadi anak durhaka jika aku menerima warisan saat ayah dan ibu masih ada di dunia ini. Insya Allah aku dan Laras selalu tercukupi, simpan saja harta ayah dan ibu untuk hari tua nanti."

Mas Danang tiba-tiba bicara.

"Apa-apaan sih kamu, Nang? Jangan munafik lah, pakai sok-sokan nggak mau nerima warisan segala!" sergah Mas Fikar tak senang.

"Iya, benar. Jangan munafik kamu, Nang. Miskin aja belagu. Lihat tuh, istrimu sudah kadung gembira wajahnya denger mau terima duit banyak. Enak kan, Ras bentar lagi jadi OKB, orang kaya baru?"

Mas Utsman menimpal sambil menaikkan sebelah alisnya ke arahku. Seakan mengejek. Astaghfirullah ... tidak kah dia lihat siapa  sebenarnya yang paling gembira di sini?

Tidak kah dia melihat bagaimana Mbak Dewi dan Mbak Ela tampak sangat bersemangat sekali setelah ayah mengumumkan keinginan beliau tadi? Kenapa jadi aku yang dikatakannya seperti itu?

Aku menatap ke arah ipar-iparku. Keempatnya tengah menatap sambil mencebik sinis padaku.

"Sudah ... sudah! Keputusan ini sudah bulat. Jangan ada yang berdebat lagi. Aturan pembagian pun sudah kami atur, jangan ada yang saling dengki. Intinya, ayah dan ibu sudah berusaha se-adil mungkin membagi."

Ayah menyela. Suasana pun kembali hening.


Setelahnya, beliau kemudian mengeluarkan secarik kertas yang ternyata merupakan surat pembagian harta yang telah ayah dan ibu buat.

Kami semua cukup tercengang ketika surat tersebut dibacakan. Memang adil, sesuai syariat yang berlaku dalam agama kami.

Tapi menjadi istimewa sebab suamiku mendapat sebidang tanah cukup luas yang terletak tepat di sebelah toko kelontong milik kedua mertuaku. Lokasi tanah tersebut sangat strategis, sebab letaknya berada di pinggir jalan raya.

Selain tanah tersebut, kami juga mendapat bagian berupa kebun durian yang selalu berbuah banyak setiap tahunnya dan menjadi salah satu sumber penghasilan yang lebih dari lumayan untuk ayah dan ibu mertua.

Terjadi protes dari Mas Fikar, Mas Utsman, serta Mas Adi. Mereka merasa pembagian tersebut tidak adil sebab Mas Danang mendapat tanah yang lokasinya strategis, juga kebun buah yang selalu menghasilkan tiap tahunnya.

Ketiganya berebut ingin menggeser atau bertukar tempat dengan suamiku. Namun percuma, sebab ayah mertua sama sekali tak menghiraukan protes mereka.

"Setelah acara pernikahan Niken, semua surat-surat tanah akan diurus untuk dibalik nama. Jangan ada yang protes dan iri-irian." Ayah mertua menutup rapat keluarga malam itu.

Kebencian semakin menggunung di hati para iparku, ditambah pula sekarang ada rasa iri sebab harta warisan. Entahlah, semakin ke sini perasaanku semakin tak nyaman. Hidup dimusuhi keluarga sendiri, mana enak?

Tapi aku pun sadar, bahwa ini semua bukan salah kami. Aku dan Mas Danang selalu bersikap menghormati mereka, tapi mereka justru bersikap sebaliknya.

Setelah rapat usai, kami pun bermaksud pulang ke rumah. Namun saat di depan teras, Mas Adi, Mas Utsman, serta Mas Fikar mencegat aku dan Mas Danang.

"Bilang sama ayah kalau kamu menolak warisan itu, Nang. Kamu nggak rela kalau kamu yang diberi tanah pinggir jalan itu sementara kami diberi tanah yang lokasinya nggak strategis!"

Mas Utsman, kakak tertua maju. Aku melirik was-was ke arah Mas Danang, tapi suamiku itu terlihat anteng saja.

"Kenapa aku harus menolak rejeki? Toh ayah yang memberikan, bukan aku yang meminta. Kalau mau protes, langsung saja ke ayah, jangan padaku," jawab Mas Danang santai.

Wajah ketiga abang iparku itu tampak geram, tapi sepertinya mereka tak berani bertindak lebih selain hanya menggertak saja. Mereka hanya bisa mengepalkan tangan saat aku dan Mas Danang berlalu menuju halaman.

***

"Mas, aku kok jadi takut ya, setelah menerima warisan dari orangtua Mas," ujarku ketika kami telah berada di peraduan.

"Takut sama saudara-saudara Mas?" tebak Mas Danang, dan tebakannya itu memang tepat.

"Sudah, kamu tenang saja, Laras. Meski sebenarnya Mas juga merasa kasihan dan tak tega terhadap ayah dan ibu, tapi Mas merasa sangat bersyukur sekali sebab mereka selalu bersikap adil terhadap kita," jawab Mas Danang lembut.

"Jadi besok bagaimana? Apa kita akan datang lagi ke rumah ibu untuk bantu-bantu persiapan acara Niken, Mas? Kasihan ibu kalau nggak ada kita, yang lainnya mana mau bantu-bantu, Mas?" tanyaku sambil membayangkan wajah ibu mertua.

"Nggak usah, Ras. Biar aja. Nanti biar makin kelihatan bagaimana karakter asli ipar-ipar kita itu. Masalah bantuan, Mas yakin ibu pasti mengerti."

Sebenarnya, aku kurang setuju dengan cara pikir Mas Danang. Maksudku, terlepas sikap Niken kemarin, tujuanku hanya untuk membantu ibu.

Aku sangat hapal karakter ketiga iparku itu. Mana mau mereka menyingsing lengan hanya untuk sekedar bantu-bantu.

Niken pun begitu. Gadis itu lebih senang duduk bergerombol bersama kakak-kakak ipar kesayangannya tersebut daripada membantu persiapan acaranya sendiri. Aku tak enak pada ibu Mas Danang jika sampai tak datang besok.

Semakin dekat hari H, tentu semakin banyak pekerjaan yang harus dilakukan demi kelancaran acara.

Aku tak mungkin berpangku tangan. Terlepas bagaimana perlakuan ipar-ipar padaku, aku hanya ingin menunjukkan bakti pada mertua yang telah begitu baik dan menyayangiku.

***

"Cie ... yang datang lagi. Pasti mau menjilat ya, biar dapat warisan tambahan?" sindir Niken saat aku tiba di rumah ibu bersama Syafiah dengan menumpang ojek online.

Aku menatap wajah adik iparku itu, kemudian membelai pipinya yang mulus. Pipi ini yang kemarin kutampar.

"Hati-hati dengan lisanmu, Niken. Jangan pancing emosiku jika kau tidak ingin pipimu ini mendapat tamparanku sekali lagi. Lain kali aku menampar, akan aku lakukan lebih keras supaya kamu tak pernah lupa," kataku sambil menatap manik mata Niken.

Gadis yang akan segera menjadi calon manten itu langsung terdiam dengan wajah pias.

🍁🍁🍁

Jangan lupa jejak komentar dan love-nya gaes.

Komentarmu, semangatku. Uyeeeeeyy!