Part 2
Pov Laras
"Dasar tukang ngadu! Puas kamu, kita semua dimarahin sama ibu?" Mbak Puspa berkata sambil mendelikkan matanya ke arahku.
"Maaf, Mbak bukannya aku mengadu. Tapi tadi ibu tanya, jadi aku jawab apa adanya. Memangnya salah ya, kalau aku berkata jujur pada ibu? Toh kenyataannya memang aku nggak dapet seragam seperti kalian, kan?" jawabku sambil berusaha memberanikan diri menegakkan kepala.
"Halah, bilang saja kamu tuh iri sama kami. Kamu ingin bisa tampil sama cantik dan berkelas seperti kami, tapi nggak ngaca, Laras. Cocok apa enggak?" Mbak Ela turut melontarkan hinaannya terhadapku.
Aku diam menelan ludah. Andai saja tidak memikirkan Mas Danang serta kedua mertua, ingin sekali aku melawan ucapan mereka semua.
Melampiaskan sakit hati yang kian menggunung setelah tahun demi tahun menerima hujatan manusa-manusia sok berkelas tersebut.
"Sudah ... sudah, Mbak. Nanti ibu denger, kita bisa kena marah lagi sama si tukang ngadu ini," sela Mbak Dewi.
Mereka semua menatap sinis ke arahku, sebelum semuanya berlalu dan masuk ke dalam kamar Niken. Melanjutkan kegiatan mereka membicarakan kekuranganku, tentunya.
Kuhela napas dalam, lalu membuangnya perlahan. Ada sesak yang sedang coba aku lapangkan, agar tak terlalu memenuhi dada. Kutahan airmata yang hampir tumpa.
Ah, begini amat rasanya diperlakukan berbeda oleh saudara ipar sendiri.
"Ras? Ngapain, kok bengong di situ, Sayang?"
Suara Mas Danang yang baru masuk melalui pintu depan sedikit mengejutkanku. Kuusap cepat airmata yang hampir menumpahkan bulir tetesannya, Mas Danang tak perlu tahu apa yang terjadi barusan.
"Eh, iya Mas. Ini baru mau ke dapur lanjut beres-beres. Gimana, undangannya udah kesebar semua?" tanyaku sebab Mas Danang baru saja kembali dari tugasnya menyebar kartu undangan pernikahan Niken.
"Alhamdulillah sudah. Boleh ambilin Mas air, Ras? Haus banget, tadi di luar panas sekali. Rasanya hampir mendidih isi kepala Mas gara-gara terkena matahari," pinta Mas Danang.
Aku tersenyum mendengar ucapan suamiku, lalu mengusap pelan wajahnya yang memang berwarna kemerahan akibat tersengat panas matahari di luar sana.
Peluh tampak membanjiri wajah serta leher Mas Danang.
"Ikut ke dalem saja, Mas. Sekalian makan, dari tadi pagi Mas belum makan," ajakku karena memang sedari pagi buta kami sudah bertolak ke rumah mertua bahkan tanpa sempat sarapan.
Aku khawatir Mas Danang sakit, sebab beliau punya riwayat sakit maag.
"Ya sudah, ayok," sambut Mas Danang.
Di dapur, segera kuambilkan makanan untuk suamiku yang juga disuapkannya pada Syafiah putri kecil kami. Keduanya makan sambil duduk di atas meja makan, sementara aku masih sibuk membantu pekerjaan dapur.
"Ras, kamu nggak makan?" Mas Danang bertanya dari arahnya duduk ketika aku kembali sibuk rewang.
"Nanti saja, Mas. Masih kenyang," jawabku.
"Kenyang apa, kamu? Kenyang angin? Dari tadi kamu kerja terus, Ras nggak ada istirahatnya. Sudah sana, makan dulu sama suami dan anakmu, tinggalin ini dulu bentar nanti lanjut lagi," sela ibu mertua tiba-tiba.
"Nah, Ras denger tuh, kata ibu. Ayo, makan dulu sama-sama sini," ajak Mas Danang.
Sejenak aku merasa ragu, merasa tanggung pada pekerjaan yang sedang aku kerjakan saat ini.
"Ayo, Laras. Dipanggil suamimu, tuh," desak ibu mertua. Mau tak mau, terpaksa kutinggal pekerjaan dan mendekat ke arah meja makan.
Kalau boleh jujur, memang aku sangat lapar sekali. Tetapi entah ini sudah kebiasaan atau apa, aku tak pernah bisa leluasa jika berada di rumah orang lain, termasuk di rumah mertua sendiri. Padahal, ibu atau ayah Mas Danang selalu memperlakukan aku dengan baik.
Setelah mengambil makanan, aku pun duduk di kursi dekat Mas Danang. Syafiah kuambil alih dan duduk di pangkuan sambil kusuapi.
"Laras, Ibu ke toko sebentar, ya. Ini gula sama tepungnya kurang," ujar ibu Mas Danang sambil mencolek pundakku. Aku menoleh, lalu mengangguk cepat. Setelahnya, ibu pun berlalu keluar meninggalkan kami dan beberapa rewang.
Saat sedang asyik makan, tiba-tiba terdengar suara deheman di belakang.
"Ehem ...! Enak ya, makan. Yang kenyang, biar di rumah nanti nggak kelaperan!"
Itu suara Niken, adik iparku. Saat kutoleh, tampak senyum sinis tersungging di bibirnya. Niken tak sendiri, ada Mbak Dewi, Mbak Ela, dan juga Mbak Puspa di belakangnya. Ketiga iparku itu juga melempar senyum serta tatapan merendahkan ke arahku.
Nasi yang masih belum sempat tertelan tiba-tiba terasa seperti kerikil dalam mulutku. Tega sekali Niken, padahal ia tahu di antara ke empat kakak iparnya, hanya aku lah yang mau datang pagi dan membantu pekerjaan demi persiapan acara pernikahaannya.
Tak seperti ketiga kakak ipar yang selalu disanjung dan dipujanya itu, mereka semua datang siang dan berlagak bak tamu dan bukannya keluarga.
Keberadaan mereka di sini hanya untuk 3B. Berdandan, berhias, dan bergosip. Dan seringnya aku lah yang selalu menjadi bahan gosip mereka berempat.
Tak sedikit pun mereka tergerak turun tangan untuk bantu-bantu di dapur. Tapi entahlah, selalu aku yang jelek di mata adik iparku itu. Apa sebenarnya yang dibenci Niken dariku? Kemiskinanku, kah?
Bukannya yang bertanggung jawab atasku dan Syafiah adalah Mas Danang, saudara laki-lakinya sendiri? Lalu mengapa aku yang dibencinya?
"Makan, Mbak ... Niken," ujarku tak enak hati pada mereka.
Mbak Dewi mendengkus, lalu menatap ke arah lain. Gerakannya itu juga diikuti oleh Mbak Niken dan Mbak Ela.
"Nanti aja habis Mbak Laras makan. Sekalian siapin makanannya sekalian untuk kami," ujar Niken. Nada bicaranya selalu memerintah seperti biasa.
"Kalian yang mau makan, kenapa harus Laras yang menyiapkan? Memangnya tangan kalian sudah nggak bisa berfungsi lagi?"
Deg.
Aku menoleh cepat ke arah berlawanan. Rupanya Mas Danang telah kembali sehabis mencuci piring kotor bekas makannya tadi. Suamiku itu menatap tak senang pada adik bungsunya, juga pada ketiga istri saudara - saudara lelakinya.
Duh, alamat bakal ribut besar ini.
🍁🍁🍁
Jangan lupa tinggalin komentnya, gaes. Lope untuk kalian semua. Sehat selalu, ya teman-teman.