Assalamualaikum teman-teman. Sebelum baca, jangan lupa klik subscribe dan rating bintang lima dulu, ya. Selamat membaca, semoga semua suka. Salam sayang.❤
Part 5
Pov Laras
Sepasang mata Niken menatapku tajam sembari tangannya memegang pipi mulusnya yang baru saja kuhadiahi sebuah tamparan.
"Mbak Laras berani nampar aku?" tanyanya. Suara Niken terdengar bergetar.
"Iya, Niken. Aku menamparmu sebab kamu sudah benar-benar keterlaluan. Harusnya, sudah sejak kemarin aku menamparmu. Ketika kau dan ketiga kakak iparmu yang lain asyik menghina dan berghibah tentangku.
Ternyata, memilih bersabar atas sikapmu bukanlah sebuah pilihan bijak. Sebab kamu justru semakin tak terkendali. Kata-katamu sungguh tak pantas kau ucapkan pada orang yang harusnya kau hormati!"
Mata Lintang berkedip-kedip saat mendengar ucapanku. Wajah Niken terlihat shock. Jelas, sebab selama ini aku yang miskin ini hanya diam dan lebih banyak mengalah saat Niken menjadikanku bahan bully antara dirinya, Mbak Dewi, Mbak Ela, dan Mbak Puspa.
Aku diam bukan berarti lemah, melainkan karena menjaga perasaan kedua mertua yang sangat baik dan tak pernah membedakanku dengan menantunya yang lain.
Hanya demi ayah dan ibu Mas Danang lah, aku rela menekan semua perasaan marah dan sakit hati yang selalu bergejolak tiap kali ipar-iparku menghina.
Namun sepertinya mereka lupa, bahwa segala sesuatu tetap ada batasannya. Termasuk kesabaranku yang kian hari kian terkikis.
"Kamu pikir kamu siapa, Mbak Laras berani menamparku, hah?!"
Niken berang, dan hendak balas menyerang. Tapi gerakan tangannya terhalang oleh Mas Danang yang dengan sigap menangkis pukulan adik iparku itu.
"Pulang sekarang, Ken! Pulang atau setelah ini tanganku lah yang mendarat di wajahmu!"
bentak Mas Danang garang.
Sorot matanya menatap tajam pada Niken, menandakan bahwa suamiku tak main-main dengan ucapannya.
"Pergi kau sekarang!" bentak Mas Danang lebih keras, membuat beberapa tetangga kanan-kiri tampak mengintip ke luar, mungkin penasaran dengan apa yang sedang terjadi di rumah kami.
"Kalian lihat saja nanti ya, Mas ... Mbak, aku akan adukan ini pada ayah dan ibu. Aku nggak terima Mbak Laras mampar aku seenaknya. Dan mulai detik ini, kita sudah bukan saudara! Aku nggak mau punya saudara seperti kalian!" pekik Niken sebelum berlalu pergi menuju mobil calon suaminya yang terparkir beberapa meter dari sini.
"Maafkan aku, Mas. Aku sudah berbuat kasar pada Niken," ucapku pada Mas Danang.
Rasa bersalah mulai mengusikku, sebab bagaimana pun juga Niken adalah adik kandung Mas Danang. Dan aku juga pernah mendengar pepatah, bahwa darah lebih kental daripada air.
"Nggak apa-apa, Ras. Dia memang pantas mendapatkannya. Ayo, kita masuk. Besok kamu nggak usah lagi datang ke rumah ibu buat bantu-bantu," ujar Mas Danang.
Aku mengangguk, kemudian masuk dan Mas Danang pun mengunci pintu rumah.
Kejadian barusan sebenarnya cukup menggangguku. Meski aku tak takut jika Niken mengadu, tapi kini timbul kekhawatiran bagaimana jika mertuaku marah dan tak terima sebab aku telah menampar anaknya?
Hingga malam telah larut, mataku masih belum juga terpicing. Pikiranku melayang ke mana-mana. Tanpa terasa, airmata ini luruh ketika mengenang tiap goresan tajam lidah para iparku ketika mereka sedang menghina.
"Kamu belum tidur?"
Pertanyaan yang disusul sebuah pelukan hangat dari arah belakang, membuatku terkejut. Rupanya Mas Danang juga belum tidur. Kusangka tadi hanya aku yang masih terjaga.
Kuusap airmataku pelan dengan ujung jari, Mas Danang semakin mengetatkan pelukan di tubuhku. Selanjutnya, tak ada di antara kami yang saling berbicara hingga mata kami akhirnya sama-sama terpejam.
***
Setelah sarapan, aku membantu Mas Danang menyiapkan barang dagangan yang akan dijualnya ke pasar. Tampak beban di wajah suamiku itu, mungkin pengaruh kejadian semalam. Pun sebenarnya aku juga masih merasa tak enak hati.
"Kamu sama Syafiah di rumah saja, ya. Jangan pergi ke mana-mana, ke rumah ibu sekali pun. Jika ada yang datang menjemput kamu untuk pergi ke sana, katakan bahwa Mas nggak mengijinkan, Laras."
Aku hanya mengangguk mendengar perintah Mas Danang.
Setelahnya, lelaki berparas manis dengan hidung bangir itu mengecup pelan keningku, bergantian dengan Syafiah yang merangkul manja dalam gendongan ayahnya.
Aku dan Syafiah melambaikan tangan saat Mas Danang beranjak pergi bersama motor kesayangannya yang ia beli sejak sebelum kami menikah.
'Ya Allah ... karuniakan kami dengan rejeki dan rahmat-Mu. Lancarkan usaha suamiku, permudahkanlah jalannya dalam mencari nafkah untuk kami sekeluarga, aamiin ....' Aku berdoa dalam hati.
"Syafiah main sendiri dulu ya, sambil nontln kartun. Ibu mau beres-beres sebentar," ucapku pada Syafiah. Bocah tiga tahunku yang selalu menurut itu mengangguk, lalu duduk di depan televisi yang aku nyalakan dan menayangkan serial kartun favoritnya.
Namun baru saja aku hendak membereskan ruangan, terdengar suara mobil berhenti di depan rumah yang pintunya sengaja kubuka. Mendadak perasaanku jadi tak enak, aku pun lantas berjalan ke depan untuk melihat siapa yang datang.
Hatiku langsung mencelos ketika melihat sebuah mobil berwarna putih yang kuketahui adalah milik Mas Utsman, saudara lelaki Mas Danang yang paling tua.
Aku menunggu sambil berdiri di depan pintu dengan perasaan was-was, terutama setelah melihat yang keluar dari mobil ternyata ibu mertuaku dan Mas Ustman.
"Assalamualaikum," ucap keduanya bersamaan.
"Waalaikumsalam," jawabku, lalu meraih dan mencium punggung tangan ibu Mas Danang.
"Masuk, Bu, Mas ...." Aku mempersilakan mereka untuk masuk ke dalam. Keduanya mengikuti langkahku, lalu duduk di atas sofa sederhana yang terletak di ruang tamu.
Jujur, aku merasa deg-degan. Apakah ibu dan Mas Utsman ke rumah untuk memarahiku sebab aku telah menampar Niken semalam? Gadis itu pastilah sudah mengadu pada perihal pertengkaran kami semalam.
"Laras, Ibu langsung saja, ya. Ibu sudah dengar dari Niken soal kejadian semalam. Dan Ibu datang ke sini untuk menanyakan langsung ke kamu, Nak. Apa benar kamu telah menampar Niken?" Ibu bertanya to the point.
"Benar, Bu. Laras memang menampar Niken semalam," jawabku to the point pula.
Ibu tampak menghela napas, ekspresi wajah beliau juga sulit kuartikan.
"Lancang kamu, Laras. Kenapa kamu pukul Niken? Memangnya kamu pikir siapa dirimu, sehingga merasa berhak menjatuhkan tangan pada adik bungsuku?"
Tanpa terduga, Mas Utsman marah padaku. Laki-laki berusia akhir tiga puluhan itu tampak geram dengan geligi saling beradu.
"Tenang dulu, Utsman. Ibu minta anterin kamu ke sini bukan untuk ribut, tapi untuk klarifikasi," tukas ibu. Mas Ustman langsung diam, kendati raut wajahnya masih tak bersahabat.
"Jujur, Ibu merasa gagal menjadi orangtua bagi kalian. Seharusnya kalian rukun dan saling menyayangi antar saudara, tapi kalian malah saling membedakan dan memusuhi.
Laras, Ibu ke sini hanya untuk menanyakan hal itu. Nanti malam, kita adakan rapat keluarga di rumah. Katakan pada Danang, ya. Malam ini, ada yang ingin Ibu dan ayah sampaikan pada kalian semua."
Ibu berkata sambil menatapku. Aku hanya diam, tapi dalam hati ini dipenuhi tanya. Hal apa kiranya yang ingin disampaikan ibu dalam rapat keluarga nanti malam?
🍁🍁🍁
Teman-teman, jangan lupa ramaikan komentarnya ya. Sebab komentarmu adalah semangatku. Eeaaa ....