Assalamualaikum teman-teman. Sebelum baca, jangan lupa subscribe, rate bintang lima, dan love-nya dulu, ya. Selamat membaca semua.❤
Part 4
Pov Laras
Terdengar hela napas berat dari suamiku yang tengah membonceng motor setelah mobil yang dikendarai para iparku berlalu. Selanjutnya, Mas Danang kembali memacu kendaraan roda dua yang kami tumpangi menuju rumah.
Rumah tinggal kami memang sederhana, hanya bangunan perumahan tipe 36 yang pekarangannya pun kecil.
Namun aku sangat bersyukur, setidaknya rumah ini kami beli dengan cara cash, meski untuk itu Mas Danang harus bekerja ekstra keras serta kami harus mengencangkan ikat pinggang. Biarlah, asalkan hidup tak tercekik bunga riba.
Orangtua Mas Danang bisa dibilang cukup berada. Mereka memiliki toko sembako cukup besar yang terletak di pinggir jalan raya.
Sebenarnya mereka sudah kerap meminta Mas Danang dan aku untuk mengelola toko sembako tersebut, namun selalu saja mendapat respon negatif dari saudara Mas Danang yang lain.
Mereka pikir, jika kami yang mengelola maka kami akan menguasai hasilnya. Aku juga heran, kenapa mereka harus iri kepada kami yang miskin ini padahal telah memiliki segalanya.
Sebab tak ingin ribut lah maka Mas Danang lebih memilih untuk bekerja sendiri tanpa mendompleng pada orangtua.
"Maafkan Mas ya, Ras. Gara-gara menikah dengan lelaki miskin seperti Mas, kamu juga jadi ikutan kena getahnya, dimusuhi oleh saudara-saudara Mas yang lain," ucap Mas Danang sesaat setelah kami tiba di rumah.
Kutatap wajah suamiku. Pancaran matanya tampak sendu, menyiratkan ada luka yang sedang ia coba sembunyikan dariku. Kubelai lembut pipi Mas Danang.
"Jangan bicara begitu, Mas. Aku tak pernah menyesal menjadi istrimu. Lagipula, bukan tentang banyaknya harta yang menjamin hidup kita bahagia.
Memiliki suami setia, penyayang serta pekerja keras, juga seorang anak yang lucu dan insya Allah salihah seperti Syafiah, aku sangat merasa bahagia," ucapku panjang.
"Terima kasih ya, Ras. Kamu yang selalu membesarkan hati Mas di saat saudara sendiri mengecilkan diri Mas," balas Mas Danang.
Kami saling bertukar senyum. Biarlah orang menghina sesukanya, yang penting kami tak hina di mata Allah. Kami bahagia dalam kesederhanaan ini. Toh sederhana bukan berarti kami kekurangan.
Hidup tidak boleh terus melihat ke atas, tapi sesekali melihatlah ke bawah agar rasa syukur tak pernah pergi dari hati kita. Itu yang selalu kami tanamkan, sehingga meski tak bergelimang harta, kami masih bisa bahagia.
***
Aku dan Mas Danang baru saja selesai mengerjakan salat isya berjamaah, ketika terdengar suara derum mesin mobil berhenti tepat di depan rumah kami.
"Biar aku saja yang lihat, Mas." Aku berdiri, masih mengenakan mukenah, aku berjalan ke depan. Tepat dengan itu terdengar suara ketukan pada pintu rumah.
Segera saja kubuka pintu, dan tampaklah sosok Niken adik iparku berdiri dengan wajah angkuhnya.
"Nih, biar mulut Mbak Laras nggak sibuk lagi gara-gara nggak dapet seragam!"
Tanpa kuduga, Niken melempar begitu saja bungkusan ke arahku, jatuh tepat mengenai dadaku. Untung saja kutangkap cepat hingga tak sampai jatuh ke bawah.
"Astaghfirullah, Niken. Bisa kan, ngasihnya baik-baik ke Mbak?" protesku sedikit kesal dengan cara Niken menyerahkan bungkusan plastik berisi seragam kebaya.
"Masih untung dikasih. Sebenarnya aku males Mbak Laras sama Mas Danang hadir di acara pernikahanku. Males aja, lihat yang lain pada cantik dan glowing, tapi harus ada manusia dekil yang merusak suasana!" ketus Laras.
"Jahat sekali mulut kamu, Niken. Kalau kamu menghina Mbak, silakan. Tapi Mas Danang itu saudara kandungmu. Kalian sedarah, apa pantas bicara seperti itu?" ujarku sakit hati.
"Jangan banyak omong deh, Mbak. Yang penting aku udah memenuhi permintaan ibu ya, ngasih Mbak Laras seragam. Udah ah, aku mau pulang dulu, calon suami aku udah lama nungguin di mobil!"
Niken menunjuk ke arah mobil bagus yang mesinnya masih menyala itu dengan gaya arogan. Aku hanya menghela napas melihat sikap adik iparku ini.
"Tunggu, Niken."
Aku dan Niken serentak menoleh ke arah suara yang berasal dari belakangku. Suara Mas Danang. Saat tiba di dekatku, suamiku itu merebut plastik berisi seragam kebaya yang sedang kupegang.
"Nih, ambil kembali seragam itu, Laras nggak butuh!" Mas Danang melempar bungkusan tersebut dan tepat mengenai wajah Niken.
Gadis berambut panjang itu tampak gelagapan. Wajahnya memerah karena marah, sedang kedua matanya nyalang memandang kami bergantian.
"Mas Danang apa-apaan, sih?!" bentak Niken.
"Kamu yang apa-apaan? Belajar etika dulu sana, kamu. Malu aku mengakui punya adik seperti kamu, Niken!" balas Mas Danang tak kalah tinggi.
"Kamu dengar ini ya, Niken. Kami tak akan datang dalam acara pernikahanmu itu. Baik aku ataupun Laras, tak akan datang ke sana." Lagi, Mas Danang berkata. Kali ini, aku juga terkejut dengan ucapan suamiku itu.
"Oh, baguslah. Biar nggak ada yang sibuk nyolongin makanan juga pas acara selesai nanti."
Plak!
Kali ini, tanganku yang bergerak refleks menampar wajah Niken tepat setelah ia mengucapkan ucapannya barusan.
Harga diriku benar-benar terluka. Serendah itu dia menilai kami, saudaranya sendiri. Hati Niken telah mati, terkubur oleh kesombongan yang menjadi-jadi.
"Kamu dengar ini, Niken. Jika ditanya siapa di antara kita yang miskin, maka jawabannya adalah kamu. Jiwamu miskin, Niken sampai-sampai kamu mati rasa dan tak kenal kata saudara.
Kita lihat sejauh mana harta yang kamu banggakan itu bisa membuatmu bahagia. Sekarang, pergilah dari rumahku dan jangan pernah datang ke sini lagi sebelum kamu menyadari kesalahanmu!"
Dadaku gemuruh seiring tiap patah kata yang meluncur keluar dari mulutku, menatap wajah Niken yang tampak terkejut sembari memegangi pipinya yang baru saja kutampar.
Seumur hidup, baru ini pertama kalinya aku memukul orang lain. Sebab bagiku, Niken sangat keterlaluan.
Silakan saja bila setelah ini dia mengadu pada mertuaku, aku sama sekali tak menyesal apalagi takut pada bocah bau kencur yang selalu saja menganggapku rendah ini.
🍁🍁🍁
Jangan lupa tinggalkan jejak di kolom komentar ya, gaes.
Komentarmu, semangatku. Uyeee.