Konspirasi Angka-angka



“Apa Mbak Asma, punya saudara atau kenalan langsung, yang positif covid?”

“Terlalu dilebih-lebihkan.”

 “Jangan naif. Namanya juga permainan.”

“Ini sepenuhnya konspirasi!”

 

Berbagai pihak bicara senada.

Sebagian besar dari mereka bukan ahli dan tidak memiliki rujukan. Kalau pun ada yang bermodal sedikit data,  telah dicampuraduk dengan asumsi sesuka hati.

Sayangnya untuk pertanyaan mereka di atas saya harus menjawab jujur.

“Ya, tidak ada kenalan langsung yang menderita Covid-19.”

Mendengar jawaban itu mereka seperti bersuka cita, merasa pendapatnya benar.

“Betul kan, Mbak. Ini konspirasi!”

Lalu bagaimana saya harus bersikap?

        Saya sedikit menyanggah. Apakah karena kita kenal seorang pun yang sakit AIDS maka penyakit itu tidak ada? Dengan logika yang sama, apakah karena kita tidak kenal satupun orang dari Islandia, maka negara itu tidak ada?

Saya hanya khawatir, jika ada ibu menyepelekan fakta keberadaan korona, bagaimana dengan keselamatan anak-anak mereka. Jika ada pemimpin mengabaikan keberadaan covid-19 bagaimana nasib rakyatnya?

Karena itu, sebagai ibu, sebagai bagian masyarakat, saya tetap menyerukan betapa pentingnya kita menyiokapi serius keberadaan pandemi ini, terutama sekarang.

Pikiran dan cara pandang saya pun akan selaras dengan status yang saya unggah di media sosial.

Memang tidak banyak yang secara frontal berani menyatakan secara frontal meragukan ancaman covid-19, akan tetapi dari perilaku mereka yang mengabaikan masker, berkumpul tanpa jaga jarak, berolah raga ramai-ramai, cukup menujukkan betapa mereka masih menganggap enteng keberadaan virus Korona.

Sunggu aneh masih ada yang menyepelekan virus ini padahal   tercatat rekor dunia sebanyak 26,450,000 kasus, kematian 872,000? Saya tidak berani!

Namun saya mengerti cara pandang sebagian orang, yang menaruh curiga. Khususnya sebab mereka tidak mengalami langsung, atau memiliki keluarga atau kenalan yang terkena covid-19. 

Tetapi bukankah data dari berbagai mass media seharusnya cukup untuk meyakinkan bahwa corona ini nyata, sama sekali bukan main-main.

Bagi saya yang terpenting bukan perkara ini buatan atau alami, konspirasi atau tidak. Melainkan keganasan sebab amat cepat dan massivenya penularan seharusnya merupakan alasan yang cukup bagi siapa saja untuk berhenti meremehkan, berhenti bersikap arogan.

Apalagi mereka yang merupakan tokoh publik, yang  sikap serta pernyataannya memiliki dampak bagi kalangan luas, ketika disampaikan di ranah medsos. Beranikah bertanggung jawab jika ada korban, dari anak-anak muda yang kemudian mengikuti sikap selowmu? Menganggap corona omong kosong, ikut-ikutan menolak memakai masker, dan berhenti menjaga jarak, juga  santai saja saat berada dalam keramaian?

“Tolong,  jawab saya dulu. Apakah mbak ada mengenal langsung orang yang positif covid? Tidak kan?”

Pertanyaan itu membuat saya gemas, sekaligus ingin menangis.

Terbayang para pahlawan medis yang terjun langsung.  Sehari-hari menangani beragam pasien, termasuk yang positif, hingga berada pada jarak paling rentan untuk terpapar.

         Seratus lebih dokter kita telah gugur. Belum terhitung dokter gigi, maupun perawat dan nakes lain. Jumlah ini nyata, sama sekali bukan konspirasi angka.  Kemungkinan malah lebih besar jika memikirkan nama-nama yang barangkali tidak tercatat, mengingat luasnya Indonesia dan bentuknya yang kepulauan.

Membayangkan bagaimana para nakes melepas teman sejawat yang terjangkit virus ini dan berpulang, sungguh menghancurkan hati.

Pandemi di tanah air tercinta jauh dari mereda. Sikap menganggap remeh, atau pun menebarkan berita tanpa fakta, sama sekali tidak membantu, malah meletakkan Indonesia pada titik lebih riskan.

Pengetahuan kita sebagai manusia terbatas. Terlepas hal-hal yang belum kita ketahui saat ini dan mungkin jawabannya baru akan kita peroleh di masa depan, atau selamanya menjadi sebuah rahasia, tidak ada salahnya bersikap waspada dan hati-hati. Silakan berasumsi sewenang-wenang selama ia hanya dibiarkan mengendap di kepala dan tidak kamu lemparkan ke publik. 

Oh, dan terkait pertanyaan di pembuka tulisan ini… apakah saya mengenal seseorang yang terkena corona?  Jawabannya ya, dan bukan cuma satu dua orang. Seorang teman sekolah melakukan isolasi mandiri, setelah mengetahui dirinya positif.

Seorang sahabat yang juga pejuang kemanusiaan, saat ini berada di ICU setelah kondisinya terus memburuk. 

           Menyisakan derai air mata di wajah istri dan putri tunggalnya.

Seorang teman SMA, sekaligus dokter yang hebat, kondisinya sempat mengkhawatirkan dan harus diintubasi.

Mereka, barangkali tetap cuma angka-angka yang diramu isu konspirasi, bagi yang tidak mengenalnya. Tapi bagi pasangan, anak-anak, keluarga besar, sahabat dan teman… mereka bukan cuma angka, tetapi sosok berharga, yang selamanya tak akan tergantikan.

(Semoga Allah berikan kesembuhan kepada yang sedang sakit, dan kuatkan keluarga yang mendampingi. Dan untuk semua yang gugur dalam pertarungan melawan covid, semoga Allah balaskan surga…)


 4 September 2020