Peristiwa Isra Mi’raj bukan sekadar kisah perjalanan Masjidil Haram di Makkah dan Masjidil Aqsha kemudian naik dari bumi menuju Sidratul Muntaha.
Lebih dari itu, ia adalah ujian terbesar untuk membuktikan keimanan seseorang, apakah mereka beriman penuh atau setengah-setengah.
Untuk logika di masa itu, jangankan berbicara naik ke langit ke tujuh, melakukan perjalanan dari Mekah ke Palestina pulang pergi dalam satu malam saja sudah merupakan hal yang mustahil.
Jarak Masjidil Haram di Makkah dan Masjidil Aqsha di Palestina sekitar 1.500 km, pada masa itu harus ditempuh 40 hari dengan mengendarai unta. Sementara saat Rasulullah menyampaikan kisah beliau SAW menyebutkan telah menempuh perjalanan tersebut, pulang pergi, hanya dalam hitungan jam.
Masyarakat Mekkah yang awalnya ragu dengan Rasulullah semakin yakin bahwa sang nabi memang gila. Ada juga mereka yang sebelumnya sudah percaya berangsur diliputi keraguan.
Namun tidak demikian dengan Abu Bakar. Ketika mendengar perjalanan itu walaupun terkesan tidak masuk akal, iman beliau tidak terguncang karenanya. Bagi sahabat Nabi SAW itu, bukan soal mungkin atau tidak, bisa diterima nalar atau tidak, namun yang menjadi perhatiannya adalah, “Benarkah beliau menyatakan hal tersebut?”
Ketika kaum quraisy membenarkan, bahwa cerita tersebut dituturkan demikian oleh Rasulullah, maka Abu Bakar seketika menegaskan, “Jika dia yang mengatakan demikian, maka itu benar.”
Masyarakat quraisy yang masih penasaran, lalu mendesak Abu Bakar,
“Apakah engkau akan membenarkan sahabatmu yang mengatakan bahwa dia diperjalankan di malam hari ke Baitul Maqdis lalu kembali sebelum subuh?”
Keraguan tersebut, justru direspons dengan kalimat yang menunjukkan keyakinan lebih solid, “Jika dia berkata demikian, sungguh aku akan membenarkan apa yang dia sampaikan, bahkan walaupun lebih dari itu.”
Subhanallah, betapa sempurna, iman Abu Bakar ra. Absolut, percaya tanpa batas. Bahkan lebih dari itu - jika ada kisah yang lebih tidak masuk akal, lebih di luar nalar, beliau mengatakan, jika dari Muhammad SAW, maka ia akan percaya.
Lalu apa hubungannya dengan pandemi?
Keimanan yang mirip ditunjukkan Umar bin Khattab ra, saat menghadapi pandemik. Percaya sepenuhnya pada rekomendasi Rasulullah.
Suatu hari Umar bersama beberapa sahabat sedang dalam perjalanan ke wilayah Syam (Suriah). Ketika tiba di daerah Saragh, Umar mendapatkan informasi mengenai wabah kolera yang melanda negeri yang mereka tuju.
Umar segera bermusyawarah terkait apakah perlu melanjutkan perjalanan ke Syam atau lebih baik kembali ke Madinah. Sebagian sahabat Muhajirin memandang perjalanan ke Syam harus dilanjutkan karena Umar membawa tujuan tertentu. Tetapi, sebagian lagi berpendapat sebaliknya. Mereka melarang Umar melanjutkan perjalanan ke Syam dan menyarankannya kembali ke Madinah.
Tidak berhenti di sana, Umar meminta masukan dari para sahabat Anshar. Saran yang diberikan tidak berbeda, sebagian memandang lebih baik melanjutkan perjalanan sementara sisanya menyarankan kembali.
Tidak puas dengan rekomendasi yang ada Umar akhirnya mendapat jawaban yang membulatkan keputusannya, melalui Abdurrahman bin Auf yang mengatakan bahwa Rasulullah pernah bersabda untuk tidak mendatangi tempat yang dilanda wabah penyakit.
“Apabila kamu mendengar wabah berjangkit di suatu negeri, maka janganlah kamu datangi negeri itu. Dan apabila wabah itu berjangkit di negeri tempat kamu berada, janganlah kamu keluar dari negeri itu karena hendak melarikan diri darinya.”
Peristiwa Isra’ Mi’raj sangat relevan untuk mengingatkan kita akan sikap para sahabat, untuk selalu merujuk dan tetap berpegang teguh pada Rasulullah SAW, termasuk menghadapi pandemik ini.
Sayangnya, pesan ini seolah terabaikan oleh sebagian muslim. Mobilitas tetap berjalan dari dan ke area pandemik. Akibatnya, kini nyaris semua wilayah telah menjelma zona corona. Dalam keadaan seperti ini apa yang kita harus lakukan? Belum terlambat untuk meluruskan rujukan kepada ajaran Rasulullah SAW, melakukan perkara sebagai ikhtiar agar tidak tertular dan tidak menulari.
Memakai masker termasuk salah satu upaya. Dengan masker kita berusaha agar tidak menulari atau tertular. Menjaga jarak juga bagian dari upaya yang sama selama pandemi. Setiap muslim diperintahkan Rasulullah untuk menjaga keamanan saudara, menjaga kesehatan saudara seiman, menjaga kesehatan diri, tidak membinasakan diri, tidak merepotkan atau membebani saudara lain. Semua ajaran ini jika diaplikasikan di masa wabah saat ini, berarti menjalankan protokol kesehatan.
Jika kita memaknai lagi salah satu semangat Isra Mi’raj, kita akan percaya total bahwa apa yang diajarkan Rasulullah SAW adalah yang terbaik. Dan di masa pandemi ini, memenuhi protokol kesehatan selain sebagai bentuk rasa syukur sebab Allah berikan kondisi fisik yang baik, juga bagian perwujudan keimanan, karena menempatkan kita sebagai manusia yang menjaga manusia lain. Sebuah perwujudan kecil dari ikhtiar sebagai muslim yang Rahmatan lil alamin.
12 Maret 2021
***
- semoga berkenan meninggalkan jejak cinta di halaman ini. Subscribe ke buku terbaru Asma Nadia ini, follow author untuk tips menulis gratis di inboxmu. Baca juga novel lain; Surga yang Tak Dirindukan 3, Nikah Tanpa Pacaran, Pertama Bilang Cinta, Bidadari untuk Dewa dan Assalamu'alaikum Beijing... tetap semangat berkarya walau di tengah pandemi...