Sekolah VS Pilkada


 

Ada alasan kenapa sekolah ditunda di masa pendemi ini. Siswa yang berkumpul di satu kelas dari berbagai tempat tinggal bisa berisiko membuat sekolah menjadi cluster penularan. Perjalanan para murid dari rumah ke sekolah mereka pun berpotensi menyebabkan terpapar virus. Sebenarnya masih ada berbagai penjelasan masuk akal lain yang menjadi alasan kenapa sekolah  terpaksa diliburkan. Begitu banyak risiko, hingga tak perlu dijabarkan satu per satu.

Sekalipun pendidikan penting, anak-anak kita terpaksa belajar dari rumah, demi keselamatan mereka dan keluarga. Ideal? Tentu saja tidak, namun merupakan pilihan terbaik yang dimiliki saat ini.  

Tidak hanya sekolah, kantor, pasar, dan pusat keramaian, pun memiliki potensi serupa untuk pusat terjadinya penyebaran wabah dengan cepat. Sekalipun pasti berpengaruh, sangat mungkin menghempaskan roda ekonomi, namun banyak perkantoran, juga berbagai bidang usaha kemudian sempat diliburkan untuk jangka waktu panjang. Bahkan hingga saat ini, setelah pelonggaran PSBB dievaluasi seiring melonjaknya jumlah kasus hingga mencapai 4.000 lebih perhari, maka kondisi kembali seperti awal. Laju gerak masyarakat ke berbagai tempat dikurangi, banyak perkantoran belum menjalankan kegiatan seperti biasanya.

Alasannya sama, demi kesehatan dan keselamatan.

Maka wajar jika kemudian berbagai pihak sulit untuk mengerti kenapa pemerintah seolah tidak menemukan alasan tepat untuk menunda pilkada. Padahal, tidak ada risiko ekonomi, dan sejauh ini tidak ada tuntunan mendesak dari masyarakat.

Nyawa dan keselamatan jelas lebih penting, di atas segala-galanya.

Dari segi berkumpulnya manusia, pilkada yang mengumpulkan manusia dalam jumlah banyak- berbagai media mengulas puluhan juta bahkan hingga mencapai angka sekitar seratus juta orang dari berbagai daerah akan keluar pada waktu bersamaan- untuk ikut serta dalam 

pilkada.  Belum bila masa kampanye, sosialisasi, dan tahapan lainnya, juga diperhitungkan.

Dengan keramaian yang mencapa angka sebesar itu, apa jaminan bahwa jumlah penderita covid-19 tidak akan bertambah?

Sekarang pun, tanpa keramaian luar biasa seperti bila pilkada dilakukan, jumlah kasus bertambah lebih dari empat ribu setiap hari. Penambahan pasien positif, jelas menguras kapasitas rumah sakit yang sudah amat terbatas.

Dokter, peneliti, pengamat, tokok masyarakat, influencer tak lagi bicara, bahkan menjerit saking putus asa, agar penundaan pilkada, dilakukan.  Ikhtiar yang seolah sia-sia sebab pihak berwenang seperti kehilangan alasan menunda pilkada.

Benarkah mereka tak mampu melihat, mendengar? Lalu aspirasi siapa ini yang terus diperjuangkan jika berbagai pihak mewakili masyarakat telah memohon dengan sangat agar dilakukan penundaan?

Benar, pemilihan kepala daerah ini menyangkut hak konstitusional warga akan tetapi keselamatan masyarakat jelas lebih utama.

Lagi pula di tengah masa krisis seperti ini, rasanya bukan keputusan bijak memilih pemimpin baru untuk dihadapkan pada situasi luar biasa berat dan darurat yang bahkan sulit diatasi oleh kepemimpinan yang sedang berjalan, walau berbagai cara sudah dilakukan.  

Hal lain, penyelenggaraan pilkada pasti menguras perhatian, waktu dan energi para pejabat yang ujung-ujungnya akan mengurangi konsentrasi, dan focus serta kemampuan mereka dalam mengatasi pandemi, sebab banyak di antara mereka pada saat yang sama juga disibukkan untuk bertarung di ajang pilkada.

Tanpa pilkada saja, Indonesia dianggap tidak mampu mengatasi wabah corona oleh berbagai pihak internasional karena jumlah kasus terus bertambah banyak tak terkendali. .

Dengan logika ini, mungkin rakyat akan berbondong-bondong membela calon atau pejabat berwenang yang kembali maju, di pilkada. Rasanya masyarakat akan  lebih peduli dengan keselamatan mereka yang saat ini di ujung tanduk.

Jika pilkada tak bisa dihindari dan tetap  harus ada, kenapa tidak dilakukan secara online sebagaimana kegiatan belajar mengajar juga berbagai aktivitas lain? Jika mustahil dilakukan secara daring,  lantas kenapa tidak ditunda saja sebagaimana banyak negara-negara lain pun melakukan penundaan di berbagai ajang penting internasional, bahkan termasuk perhelatan pemilihan.

Wabah yang terjadi teramat besar imbas, konsekuensi dan risikonya. Sedemikian besar hingga  kata tidak memungkinkan sekarang menjadi sesuatu yang aneh bahkan tabu diterapkan. Sekolah dari rumah dulu tidak mungkin, kini menjadi keseharian. Kuliah secara online dulu mustahil kini merupakan sesuatu yang rutin. Kerja dari rumah dulu tidak lazim namun saat ini menjadi sesuatu yang normal.

Kalaupun pilkada diselenggarakan dengan tetap memaksakan jadwal, bukan mustahil hasilnya tidak akan mewakili keinginan publik.

Akan banyak pemilih yang belum berani keluar rumah, apalagi bergabung dalam  keramaian, dan lebih mengutamakan keselamatan nyawa mereka dibanding menyengajakan diri berada di tengah kerumunan pilkada. Terlebih banyak tokoh masyarakat, dari berbagai bidang yang dengan tegas menunjukkan sikap tidak akan memilih jika pilkada tetap dilangsungkan. Dengan semua pertimbangan di atas, sangat mungkin biaya besar yang kemudian dikeluarkan banyak pihak menjadi tidak efektif.

Jika pilkada hanya dilakukan sekadar menepati jadwal, berarti  penyelenggaraannya bukan lagi demi hak konstitusional yang selama ini digaungkan.  Pertanyaan, lalu demi apa?  Sudah lebih dari 10.000 nyawa rakyat hilang  akibat covid-19. Kita tidak bisa mengembalikan mereka, tapi setidaknya bersama-sama insya Allah kita bisa menghindari ribuan nyawa kembali gugur  sia-sia. 


***


--- semoga berkenan meninggalkan jejak cinta di halaman ini. Subscribe ke buku terbaru Asma Nadia ini, follow author untuk tips menulis gratis di inboxmu. Baca juga novel lain; Surga yang Tak Dirindukan 3, Nikah Tanpa Pacaran, Pertama Bilang Cinta, Bidadari untuk Dewa dan Assalamu'alaikum Beijing... tetap semangat berkarya walau di tengah pandemi...


    

25 September 2020