Dalih Berkerumun...


Di masa pandemik pilkada lalu akhirnya  tetap di selenggarakan.

Sekalipun banyak yang menentang karena pertimbangan kesehatan dan keselamatan masyarakat, pemerintah memutuskan untuk tetap melanjutkan rencana penyelenggaraan demi memberi hak pilih pada masyarakat.

Mereka yang setuju dengan digelarnya  pilkada bisa saja berdalih, toh  di negara lain pemilihan dilakukan. Amerika saja yang dianggap salah satu negara termaju, pilpresnya jalan terus.

Benar, tapi saat ini Amerika bukan negara yang sanggup menjadi teladan terkait masalah pandemi. Negeri adi daya itu justru termasuk negara dengan jumlah penularan tertinggi selain,  korban meninggal terbanyak.

Secara pribadi saya lebih setuju jika pilkada ditunda dengan pertimbangan pandemik. Barangkali kita bisa mengangapp hal  ini sebagai force majure demokrasi. Akan tetapi pemerintah sudah mengambil keputusan tetap mengadakan pilkada  sesuai jadwal.

Positifnya, dengan adanya pilkada mungkin saja pemimpin baru yang diangkat bisa mengatasi pandemik lebih baik. Sama seperti apa yang diharapkan terjadi di Amerika. Dengan terpilihnya presiden baru, barangkali pemimpin negeri adi daya itu mampu mengatasi pandemik dengan cara lebih baik.

Poin negatifnya, kerumunan yang terjadi sebab penyelenggaraan pilkada, memungkinkan munculnya cluster baru penyebaran virus korona.

Membayangkannya, masyarakat awam seperti saya rasanya  cuma bisa berdoa agar perhelatan  pilkada tidak memicu penyebaran virus lebih banyak. Dan tentu saja mengajak  semua yang terlibat dalam penyelenggaraan juga mereka yang hadir, tetap menjaga protokol kesehatan. 

Semoga pula pemerintah dan aparat  benar-benar mengawasi dan menerapkan protol kesehatan, secara ketat. Meski seorang teman yang seorang sutradara jujur mengakui, seram membayangkan akibat pilkada nanti, sebab bahkan untuk syuting film yang hanya melibatkan seratusan orang, sejujurnya sulit mengatur semua agar tertib mengenakan masker dan menjalankan prosedur kesehatan selama produksi film. Apalagi pilkada yang skalanya jauh lebih besar.

Terlepas ketidaksetujuan saya pada pelaksanaan pilkada di masa pandemik, saya yakin pemerintah pasti faham. Bukan sebuah keputusan yang paling ideal untuk tetap melanjutkan agenda perhelatan akbar ini, hanya saja barangkali ada tujuan lebih besar yang ingin dicapai, wallahu alam.

Namun yang memprihatikankan adalah, tidak sedikit masyarakat dan para tokoh yang kemudian menjadikan pelaksanaan pilkada ini sebagai legalitas bagi mereka untuk berkumpul.

“Kalau pilkada boleh, kenapa kita tidak boleh kami silaturahim akbar?”

“Kalau pilkada boleh, kenapa kita tidak boleh berkumpul untuk hajatan?”

Menurut saya suara-suara demikian siapa pun yang menyampaikan, terkesan kurang bijak karena seolah kita ramai-ramai melupakan esensi  persoalan sebenarnya. Masalah utama dari pilkada bukan pada pemilihannya tapi kerumunannya. Keramaian yang terjadi akan sangat berpotensi mempercepat penyebaran virus. Oleh sebab itu, berbagai pihak  sebaiknya tidak menjadikan pilkada sebagai legitimasi untuk membolehkan keramaian  dan menjadi berhak mengumpulkan masa untuk berbagai  acara lain, sekalipu tujuannya  baik.

Terlepas pemerintah tetap menyelenggarakan  pilkada yang menimbulkan 

keramaian besar,  namun berkerumun adalah sesuatu yang tidak ideal di selama masa pandemic.  Dan sebuah hal yang tidak ideal seharusnya tidak dijadikan dalih atau legalitas yang membolehkan masyarakat melakukan hal yang sama.

Mungkin analogi dramatik  berikut ini bisa menjadi pertimbangan. Katakanlah, seorang maling tertangkap masyarakat lalu dilepas oleh pihak berwajib karena kurang bukti. Wajarkah jika sebagian masyarakat  lalu berkeseimpulan, “Kalau maling begitu dilepas, kita maling aja.”

Tentu saja saja tidak, sebab tindakan mencuri baik  pelakunya mendapatkan hukuman atau tidak, ia tetap  merupakan tindakan salah dan tercela. Jadi jika kita berada barisan yang tidak setuju dengan keputusan melepas maling, maka sebagai tindak protes, bukan berarti kita berhak melegalkan tindakan kejahatan si maling.

Atau bila ada miras dijual di minimarket dekat rumah.  Berbagai lapisan masyarakat sudah protes, namun pihak berwenang tidak juga mengambil tindakan.  Apakah menjadi benar bila kemudian ada di antara kita yang berkomentar, “Kalau jual miras di minimarket dibiarkan, ya sudah kita jual miras aja.”

Miras tetap haram walaupun dilegalkan. Jika kemudian phak berwenang melegalkan penjualannya secara terbatas atau penuh, bukan berarti miras kemudian menjadi halal secara agama hingga  masyarakat  boleh menjualnya. Demikian juga dengan pilkada.

Masalah utama dalam pilkada bukan pilkadanya, tapi kemungkinan besar bahwa masyarakat akan berkerumun secara serentak di berbagai wilayah tanah air. Sesuatu  yang jelas bukan merupakan hal  ideal untuk dilselenggarakan di masa wabah.

Karena bukan hal yang tepat, maka kita tetap tidak boleh menganjurkan atau membela berbagai bentuk kerumunan yang terjadi, meski tujuannya baik. Sebab sebuah hal yang tidak tepat - bahkan sebenarnya salah dan memiliki banyak kemudharatan--  tidak lantas menjadi perkara yang benar hanya karena pihak lain melakukannya.

Terlebih pemerintah yang menjadi sorotan tentu (pastinya) akan menyiapkan protokol kesehatan dengan segala kelengkapannya selama  pilkada sesuai standar pandemik, sedangkan kerumunan lain yang diadakan masyarakat, belum tentu menyiapkan diri dengan matang protokol kesehatan.

Tulisan ini jelas  tidak dibuat untuk mendukung penyelenggaraan pilkada di masa pandemik, tapi untuk mengajak siapa saja bersikap  kritis  mempertanyakan jika ada berbagai pihak yang lalu  memanfaatkan kebijakan ini untuk ikut-ikutan membangun kerumunan.

Hormati dan hargai para petugas medis yang menjadi garda terdepan menghadapi risiko pandemi. Beban mereka sudah amat banyak,.  Mari  lakukan hal terbaik yang kita mampu, agar tidak memberi beban tambahan.

Beri dukungan pada keluarga yang kehilangan penghasilan karena kondisi ekonomi yang terimbas, akibat pandemik, jangan berkontribusi membuat situasi menjadi lebih buruk hingga banyak pihak yang sudah kewalahan bahkan untuk makan sehari-hari, menjadi lebih menderita.

Hindari kerumunan, kurangi keramaian.

Pada akhirnya  kesuksesan pilkada di masa pandemik harus menjadi target penting bagi pihak penyelenggara. Dan kesuksesan  pilkada kali ini ini bukan hanya diukur dari bagaimana pemilihan berjalan lancar, bukan pula sekadar bagaimana kandidat terpilih secara adil, melainkan seharusnya juga diukur dari bagaimana pilkada tidak membuat cluster baru yang membahayakan masyarakat.

 20 November 2020


***

- semoga berkenan meninggalkan jejak cinta di halaman ini. Subscribe ke buku terbaru Asma Nadia ini, follow author untuk tips menulis gratis di inboxmu. Baca juga novel lain; Surga yang Tak Dirindukan 3, Nikah Tanpa Pacaran, Pertama Bilang Cinta, Bidadari untuk Dewa dan Assalamu'alaikum Beijing... tetap semangat berkarya walau di tengah pandemi...