Was-was di Hari Raya


Salah satu ketakutan terbesar saat terjadi pandemi Korona di Wuhan adalah ketika menjelang Imlek. Pemerintah mengkhawatirkan akan ada lebih dari 1 miliar perjalanan seantero Cina yang menyebarkan penyakit ke seluruh negeri. Pemerintah Cina berjuang keras semampunya untuk mengantisipasi pergerakan masyarakat. Walau tidak sepenuhnya  berhasil mencegah, namun upaya mereka terbilang cukup berhasil.  

Kekhawatiran yang sama seharusnya kini muncul di Indonesia. Kata seharusnya menunjukkan pada kenyataannya terdapat banyak pihak yang masih abai dan tetap berniat menjalani lebaran seperti biasa, dalam artian tetap  pulang mudik, silaturahmi, saling berkunjung, halal bi halal, dsb. Padahalnya ssetelah pandemic meski dalam keadaan lebaran juga berlaku The New Normal. 

Untungnya pemerintah melarang mudik, bahkan MUI memberi larangan keras. Sayangnya pulang kampung tidak dipermasalahan, juga beberapa  perjalanan tertentu masih dilonggarkan. 

Permainan definisi dan kriteria mungkin bisa kita lakukan dalam keadaan normal, tapi tidak berlaku bagi virus SARS-CoV-2.  Apa pun namanya, sepanjang manusia bergerak dan saling berdekatan maka pergerakan dan penyebaran mereka akan terus menggila. 

Jika dipikir-pikir lagi, lucu juga sebab  virus punya kedislipinan lebih dari manusia, pun  lebih jujur, dan tidak bisa direkayasa. Manusia bisa berpura-pura sehat dengan surat keterangan sehat atau bebas korona, tapi virus tidak peduli. Dengan atau tanpa surat, manusia dengan virus dalam  dirinya tetap  berpotensi menularkan ketika berdekatan, atau dalam keramaian. 

Sejujurnya sejak mendengar soal surat abebas Covid-19, saya justru bertanya-tanya seberapa efektifnya surat bebas Covid 19 tersebut. Sekalipun surat tersebut asli, bukan abal-abal yang dibeli online, tetap saja akurasinya  sangat mungkin ambyar  dalam hitungan detik. KIatakanlah seseorang jujur, benar melakukan pemeriksaan, dan menjalani tes dengan hasil tercepat dan dinyatakan negatif atau bebas dari penyakit covid-19.  Namun apa jaminan dan seberapa lama bertahan hasil negatif tersebut? 

Jika setelah menerima hasil tes swab lalu yang bersangkutan keluar pintu dan  kebetulan berpapasan dengan orang lain yang mengidap Sars-Cov-2, lalu tanpa sengaja tertular tanpa gejala. Maka hari di mana dia menerima hasil test dan dinyatakan sehat, juga menjadi hari di mana ia  mengidap atau menjadi pembawa virus  karena  sudah tertularkan beberapa waktu setelah menggenggam surat bebas Covid-19.

Secara logika sederhana dari sisi mana pun jelas lemah keberadaan surat sehat ini dikaitkan corona. Jika  test dilakukan di  airport setelah turun dari pesawat, lantas siapa yang sanggup menjamin mereka tetap bersih dan tidak tertular saat berada di toilet setelah tiba di bandara, atau saat menghirup udara yang terkontaminasi droplet dari orang yang baru saja bersin di lorong, atau menyentuh droplet yang belum lama menempel di berbagai tempat di ruang tunggu?

Dengan reputasi penyebaran virus yang sangat mudah dan cepat, tidak ada pilihan lain kecuali menghindari kerumunan, keramaian, kebersamaan dalam satu ruangan, sampai seluruh virus yang mengidap di tubuh manusia mati sebelum sempat menular dan berkembang biak.

Ketidakdisiplinan dan kesimpangsiuran kebijakan  justru telah memberi ruang leluasa bagi  virus untuk selalu  mendapatkan inang baru dan terus berkembang tanpa terkendali. 

Pemerintah sempat berpikir untuk melonggarkan pembatasan, padahal angka penambahan kasus belum berkurang bahkan akhirnya justru mencapai titik tertinggi nyaris 1.000 kasus per hari, dan ini sebuah angka yang secara psikologis pun jelas menyeramkan. Lebih buruk lagi, kini muncul wacana untuk tidak mengumumkan jumlah kasus baru agar tidak menimbulkan kepanikan dan rasa takut.

Dalam kondisi udara kematian di mana-mana dan teramat dekat, karena justru masyarakat dalam skala tertentu harus punya rasa takut yang manusiawi. Sebagaimana kita juga takut dengan ular berbisa atau harimau. Takut yang wajar sebab tahu risikonya. Rasa takut akan apa yang mungkin terjadi dan karenanya terbangun kewaspadaan serta respek terhadap virus. Tentu saja masyarakat harus dibimbing dengan sumber informasi yang terpercaya, hingga terdorong untuk bersikap proporsional dan berupaya menghindari sebisa mungkin.

Kenapa di pasar tradisional masih banyak yang tidak pakai masker? Kenapa jalan raya kendaraan masih ramai? Kenapa di mal orang berdesak-desakan? Kenapa banyak calon penumpang berkerumun di airport? Dan kenapa banyak yang masih mencoba melanggar PSBB dengan bersembunyi atau mudik diam-diam? Semua terjadi sebab masyarakat bandel. Namun sikap bandel disebabkan mereka tidak memercayai kemampuan virus ini untuk menular, dan potensinya yang mematikan. Mereka tidak menganggap vrus ini membahayakan, tidak respek terhadap musuh yang tak tertangkap mata ini. 

Penyebabnya banyak. Informasi yang tidak sampai, informasi yang simpang siur, hari ini A besok menjadi B. Mungkin juga  terinspirasi dengan celotehan tokoh publik yang berkata masker hanya untuk yang sakit atau virus ini bisa sembuh sendiri, atau virus hanya berbahaya buat yang tua, atau biarkan virus menulari semua sehingga menjadi kebal, dll. Sayangnya tokoh yang menyatakan ini tidak menganulir pernyataannya, walau sebagian dari mereka sudah tidak mengganggap benar pernyataannya, dan justru berperilaku sebaliknya.

    Musuh dan ancaman yang ditimbulkannya tidak  boleh dientengkan. Ketika ancaman wabah yang mendunia, namun publik masih banyak yang abai dan tidak peduli, ketika banyak tokoh tidak menekankan seberapa seriusnya penyakit ini, ketika semua dikesankan aman-aman saja padahal banyak fakta yang belum terungkap lebih karena keterbatasan, maka saatnya kita mengambil langkah sendiri.

Selamatkan diri, selamatkan keluarga. Silaturahim secara fisik bukan sebuah kewajiban, kalah oleh sholat jum’at bagi yang muslim di masjid- yang walau wajib namun ditiadakan saat ini melalui fatwa para ulama.  Rindu, keinginan bertemu hanya bisa menemukan jalan dan kelak terpuaskan jika kita dan orang-orang yang kita cintai masih bernyawa. 

Hindari berperan atau meletakkan diri pada risiko terpapar virus saat lebaran. Setelah ibadah di rumah saja, mari kita tebarkan semangat tidak perlu anjangsana kemana-mana, cukup berlebaran dan silaturahim serta bermaafan dari  rumah saja. 

Sesuatu yang bisa kita pertimbangkan, ketika hari raya kembali mendekati kita...



--- semoga berkenan meninggalkan jejak cinta di halaman ini. Subscribe ke buku terbaru Asma Nadia ini, follow author untuk tips menulis gratis di inboxmu. Baca juga novel lain; Surga yang Tak Dirindukan 3, Nikah Tanpa Pacaran, Pertama Bilang Cinta, Bidadari untuk Dewa dan Assalamu'alaikum Beijing... tetap semangat berkarya walau di tengah pandemi...