Alhamdulillah, akhir-akhir ini makin marak kabar yang menunjukkan perkembangan positif terkait langkah pemerintah menghadapi covid-19. Bisa dikatakan sebagian besar sudah tepat prioritas dan target serta skedul yang realistis. Hanya saja, masih ada sedikit catatan yang terasa mengganjal.
Ketika vaksinasi mulai dicanangkan, pemerintah memprioritaskan pemberiannya pada nakes. Sebuah pilihan tepat. karena para petugas kesehatan jelas paling rentan tertular covid 19. Bertugas di area penderita covid-19 dirawat, beraktivitas di lokasi di mana pasien dengan berbagai masalah kesehatan berkumpul dan di antaranya bisa saja sebenarnya menderita covid. Intinya di antara semua profesi saat ini, tenaga kesehatan adalah yang paling tinggi risiko tertular. Sudah ratusan dokter meninggal dunia, belum terhitung perawat- akibat ini.
Selanjutnya vaksinasi menyasar para orang tua. Alasannya juga masuk akal. Di antara semua korban covid, lansia adalah sosok paling rentan. Mereka menghadapi risiko terburuk hingga kematian. Wajar karenanya bila lansia menempati prioritas untuk dibidik. Pemerintah Inggris termasuk yang menjadikan lansia sebagai prioritas pertama vaksinasi.
Yang menarik adalah ketika pemerintah mulai menjadikan pedagang pasar sebagai prioritas berikut untuk dilakukan vaksinisasi. Menurut saya ini merupakan keputusan brilian. Selain menjadi langkah penanganan covid, pilihan ini sekaligus mendukung kebangkitan ekonomi. Secara pasar adalah simbol pergerakan perekonomian, namun di sisi lain aktivitas keramaiannya juga menjadi risiko penularan
Tentu saja pihak yang berinteraksi dengan banyak orang adalah para pedagang. Dengan vaksinasi terhdap mereka, berarti kita meminimalisir pedagang sebagai korban sekaligus sebagai pembawa virus yang berpotensi menulari pembeli atau pengunjung pasar.
Target berikutnya pemerintah menargetkan para supir online. Pilihan ini menurut saya juga harus diapresiasi. Salah satu sebab cepatnya penularan adalah mobilitas warga. Akan tetapi mobilitas juga merupakan simbol kebangkitan eknomi. Dengan vaksinasi pengemudi publik maka mobilisasi tercapai dengan risiko yang berkurang.
Intinya vaksinasi menyasar pada tiga prioritas utama. Pertama mereka yang paling rentan terhadap penyakit yaitu lansia. Kedua profesi yang paling sering berinteraksi dengan covid 19 yaitu nakes. Ketiga profesi yang berinteraksi dengan banyak orang sehingga rentan tertular atau menulari, hingga terpilihlah pedagang pasar dan pengemudi online.
Lalu mulai muncul wacana baru untuk memprioritaskan guru, karena guru akan berinteraksi dengan banyak murid. Sampai disini logika saya masih menerima. Namun, ketika pilihan ini kemudian diterjemahkan sebagai langkah pembuka untuk kegiatan belajar tatap muka di sekolah, saya mulai bertanya-tanya.
Kalau guru sudah divaksinasi apakah lantas tatap muka boleh dilakukan. Benarkah ini menjadi kebijakan tepat?
Permasalahannya sekolah berbeda dengan pasar atau ojek online. Pedagang pasar atau pengemudi bertemu orang yang berbeda-beda, pengunjung tidak saling kenal, dan interaksi dalam waktu sesaat beberapa menit saja atau relatif singkat.
Sedangkan siswa di sekolah, mereka berkumpul di satu ruangan, dalam waktu cukup lama, para siswa saling mengenal dan mudah berinteraksi, disiplin anak-anak untuk menerapkan prokes cenderung lemah, dan banyak risiko akibat pelanggarannya.
Guru yang sudah di vaksinasi di kelas lalu melakukan tatap muka bersama murid yang belum divaksin, pun masih rentan berhadapan dengan risiko cukup besar. Antara murid bisa saling menularkan, begitu juga ketika mereka pulang, bisa saja anak-anak menghantarkan virus ke orang tua di rumah.
Terlebih kesadaran dan kontrol diri sebagian besar siswa siswa masih harus diawasi secara ketat. Terbayang bagaimana mereka duduk berdekatan, bermain dengan tanpa menjaga jarak atau batasan fisik, melepas rindu, mengobrol lama tanpa masker, makan di kantin sambil berbincang. Intinya protokol kesehatan akan paling sulit diatur dan ditegakkan terkait anak-anak saat berkumpul di sekolah.
Karena itu menurut saya, ketika bicara pandemik kita tidak bicara skedul misal, bahwa anak anak harus mulai sekolah tanggal sekian, semester sekian, namun semua tergantung pada situasi.
Jika situasi memungkinkan, baru dijalankan. Dan situasi tidak diukur dari target waktu melainkan keadaan, misalnya jika semua siswa sudah divaksin, jika prokes siap dijalankan, jika ruang memungkinkan, dan segala kesiapan lainnya, maka baru kegiatan belajar tatap muka memungkinkan dilakukan.
Sudah banyak negara yang mengembalikan akivitas belajar tatap muka di sekolah namun kemudian meralat kebijakan ini dan mengembalikan aktivitas belajar dari rumah - setelah terjadi peningkatan signifikan.
Sebagai rakyat tentu kita bersyukur dan tetap mendukung pemerintah atas begitu banyak perkembangan positif yang terlihat, walau tidak mengurangi kewaspadaan dan upaya mengawal bersama, karena begitu melangkah pada kebijakan yang salah, akibatnya bisa fatal.
Kesimpulannya sebelum mengambil keputusan mengembalikan kegiatan belajar tatap muka di sekolah, pastikan kebijakan tersebut memang sudah aman dilakukan. Atau mungkin hanya diterapkan pada sekolah dan daerah tertentu yang benar-benar siap. Jika tidak, sebaiknya urungkan, sebab terkait persoalan kesehatan yang berujung pada hilangnya nyawa, bukan perkara di mana trial dan error bisa diterapkan.
26 Februari 2021
***
***
- semoga berkenan meninggalkan jejak cinta di halaman ini. Subscribe ke buku terbaru Asma Nadia ini, follow author untuk tips menulis gratis di inboxmu. Baca juga novel lain; Surga yang Tak Dirindukan 3, Nikah Tanpa Pacaran, Pertama Bilang Cinta, Bidadari untuk Dewa dan Assalamu'alaikum Beijing... tetap semangat berkarya walau di tengah pandemi...