Peluncuran buku keluarga penulis - saya bersama suami dan dua anak kami- di Islamic Book Fair 26 Februari, menjadi agenda kegiatan terakhir di tanah air, sebelum pandemi merebak.
Sehari setelah acara launching, saya masih sempat melakukan perjalanan ke Doha, memenuhi undangan komunitas masyarakat di Qatar untuk menggelar nonton bareng film Hayya di sana bersama sutradara dan salah satu aktornya. Selain acara nobar yang dihadiri lebih dari 500 masyarakat Indonesia di Qatar, ada serangkaian agenda seminar, talkshow dan kajian keislaman.
Jika mengingat rangkaian acara yang cukup padat selama di sana, rasa syukur berulang kali berdetak. Apalagi begitu selesai agenda terakhir, kami menerima kabar kasus pertama coronadi Qatar. Esoknya, seluruh tempat di mana semua agenda pernah di selenggarakan, ditutup. Keramaian dalam bentuk apa pun tidak lagi diperkenankan. Terbayang, seandainya seluruh acara mundur beberapa hari saja dari tanggal yang ditetapkan, sangat mungkin semua dibatalkan. Sungguh Allah Maha Baik.
Tanggal 6 Maret saya tiba kembali di tanah air. Berada di barisan pendatang, melakoni tradisi tidak biasa, sebab harus mengisi formulir, data dan riwayat perjalanan, selain melalui pengecekan suhu.
Dengan kesadaran sendiri… saya menjalani isolasi mandiri. Anak-anak selama empat belas hari berikutnya tinggal terpisah. Rindu kemudian, harus kembali ditanggung sebab putra bungsu saya yang kuliah di Universitas Indonesia, baru mendapatkan info belajar dari rumah setelah 18 Maret.
Kali ini putra saya berinisiatif untuk menunda pertemuan dengan ayah bundanya, dengan alasan sampai dengan 18 Maret itu dia masih kontak dengan orang ramai. Berjaga-jaga jika sebenarnya sudah terpapar namun tanpa gejala.
Beratnya menahan rindu, tapi semua demi kebaikan bersama.
Ketika akhirnya satu keluarga bisa berkumpul kembali dalam satu rumah, sungguh saya merasa amat bersyukur. Benar ada banyak rencana yang kemudian tidak berjalan. Beberapa perjalanan, termasuk undangan dari Uzbekistan untuk festival halal travel-meski panitia sudah mengirim tiket, ditunda hingga waktu yang tidak ditentukan. Rencana menggelar nonton bareng Hayya di Malaysia pun terpaksa menggantung.
Produksi film Surga yang Tak Dirindukan -3 (SYTD-3) yang sudah berjalan demikian pula sinetron Istri Kedua yang sedang tayang, sempat berhenti proses syutingnya hingga situasi lebih kondusif. Alhamdulillah kemudian syuting SYTD 3 selesai, sementara Istri Kedua yang diadaptasi dari buku berjudul sama yang terbit di tengah pandemi, alhamdulillah kembali mengudara.
Rencana-rencana kita kecil sampai dengan besar- betapa pun sudah dirancang sedemikian rinci, detail dan matangnya, kalah telak oleh suratan takdir Allah SWT. Namun sebagai muslim, kita harus percaya, ada hikmah terserak yang menunggu untuk ditemukan. Sebagaimana hadist Rasulullah SAW: “Hikmah itu adalah barang yang hilang milik orang yang beriman. Di mana saja ia menemukannya, maka ambillah.”
Tapi begitu banyak dampak secara finansial.
Begitu banyak korban berjatuhan.
Tidak terhitung jumlah nyawa yang hilang di seluruh dunia ini, gara-gara corona!
Benar. Namun rehat di rumah khususnya sebelum PSBB dilonggarkan, semoga menambah kedekatan hubungan keluarga. Dulu kita tidak mengira berbagai rapat yang harus menempuh jarak tempuh satu dua jam, akan dengan mudah seluruhnya dilakukan secara daring. Kepanikan ketika informasi masih simpang siur hingga sebagian menimbun masker atau bahan makanan pokok, terbukti tindakan yang salah, dan alhamdulillah bisa kita lalui bersama dengan lebih baik.
Kemustahilan menahan langkah rakyat agar lebih banyak di rumah saja, khususnya setelah daerah-daerah kembali zona merah sejak PSBB dilonggarkan, cukup bersambut baik. Walau masih harus terus dikampanyekan.
Hampir enam bulan sejak langkah saya terpasung di rumah. Tapi cuma langkah sebab hati dan pikiran kita tentu bisa terus berderap, dibiarkan bebas, tidak perlu terkunci
bersama kita yang belajar dan bekerja dari rumah,
Tentu saja kita ikut merasakan kesedihan mereka yang kehilangan pekerjaan, yang sudah tak punya apa-apa di rumah hingga harus menahan lapar dengan bergelas gelas air putih. Menanggung kesedihan dari berita-berita duka, yang tersiar. Istri kehilangan suami. Anak kehilangan orang tua. Ayah bunda kehilangan ananda dalam wabah ini. Lalu tenaga medis yang berguguran. Inna lillahi…
Begitu banyak rupa-rupa dampak yang disebabkan pandemi global saat ini. Di antara rasa yang naik turun, mestilah rasa syukur menguat, sebab kondisi walau pun bukan tanpa tantangan, setidaknya sebagian besar kita masih berada dalam naungan atap, masih memiliki pangan untuk dimakan, masih mampu memandang lengkap anggota keluarga yang membersamai.
Hampir enam bulan sejak kasus pertama pasien positif corona diberitakan secara resmi di tanah air. Belum waktunya bersikap lengah, walau sebagian beranggapan corona ini cuma dilebih-lebihkan, tidak seharusnya ditakuti, tidak seharusnya membuat akfitifitas sehari-hari berubah.
Total kasus sampai dengan tulisan ini dibuat ada 18.537, pasien sembuh 134.181. Pasien meninggal 7.832. Data sampai dengan 4 September, bukan sekadar angka, namun kesedihan yang menguapkan separuh nyawa bagi keluarga yang harus menanggungnya - 4 September 2020
***
PS: bagaimana perkembangan angka-angka saat ini? Semoga pandemi segera diangkat dari bumi Allah... kita aaminkan bersama.
Buku Karena Corona, karya ke 64 Asma Nadia ini, sebagian besar bisa dibaca GRATIS. Silahkan subscribe agar mendapat informasi karena akan ada tulisan yang baru di sini. Selain Karena Corona ada lima novel Asma Nadia di sini:
Surga yang Tak Dirindukan 3, Bidadari untuk Dewa, Nikah Tanpa Pacaran, Assalamualaikum Beijing dan Pertama Bilang Cinta. Subscribe untuk inspirasi yang menguatkan hati. Follow Penulis Asma Nadia untuk tips menulis gratis dihantar langsung ke inboxmu di sini...
Semoga menyemangati.