Tamu Misterius
Tamu Mencurigakan

Setelah beberapa saat, Mas Rey baru melepaskan aku. Dari sudut mata terlihat Pak Kenzie masih berdiri di samping mobilnya. Dia melirik ke arah kami, lalu menggeleng. Detik berikutnya ia sudah menghilang ke dalam lobi. 

"Oke, Cinta. Tunggu di sini jam lima, ya."

Mas Rey mengacak rambutku lalu berputar dan masuk ke dalam mobil. Aku melambaikan tangan padanya. Masih sempat terlihat mata Mas Rey mengedip penuh arti ke arahku. 

Sebuah tepukan mendarat di bahu. Seketika aku menoleh dan mendapati Linda sedang tersenyum lebar. 

"Cie, berasa dunia punya berdua, nih. Oke, aku mah cuma kost di sini."

"Apaan, sih? Kamu lihat tadi?"

"Lihat dari awal mobil kalian masuk sini malah. Aku juga lihat Pak Kenzie kayak cemburu gitu lihat kalian pagi-pagi mesra di parkiran."

"Mana ada dia cemburu, Lin? Aku 'kan cuma karyawannya."

"Iya. Semua juga tahu, tapi aku perhatiin sejak dia datang di kantor ini, Pak Kenzie itu merhatiin kamu terus. Kamu nggak berasa apa?"

"Nggak. Udah, ah. Ayo, nanti keburu telat."

Aku dan Linda bergegas masuk ke lobi dan bergabung dengan karyawan lainnya di depan lift. Pak Kenzie sudah tak terlihat. Tentu saja, ia pasti memakai lift khusus para petinggi di kantor ini. 

Sampai di ruang kerjaku, hampir semua teman sudah datang dan duduk di kursinya masing-masing. Aku meletakkan tas dan mulai menghidupkan laptop. Seorang office boy masuk ke ruangan membawa minum untuk semua karyawan.

Nama lelaki muda itu kalau tidak salah Anshor. Entah kenapa kemudian berubah menjadi Acong. Saat sampai di mejaku, ia berhenti. 

"Mbak Meisya dipanggil Pak Kenzie. Katanya disuruh ke ruangannya."

Hampir semua kepala menoleh ke arahku. Tentu saja, karena hampir tak pernah terjadi dalam sejarah, seorang direktur utama memanggil karyawan biasa di ruangan kami. 

"Aku? Yang benar? Mas Acong nggak salah dengar?"

"Benar, Mbak. Buat apa saya bohong?"

Aku yakin Acong tidak berdusta, tapi rasanya tak percaya kalau sampai dipanggil Pak Kenzie. Biasanya di divisi kami hanya Bu Siska yang sering diminta menghadap direktur utama. Ia adalah kepala bagian keuangan, sementara aku hanya anak buahnya. 

Dengan ragu-ragu aku melangkah keluar diiringi tatapan hampir semua rekan kerja satu divisi. Menuju lift, aku naik ke lantai sebelas guna menuju ruangan direktur. Di sana aku hanya sendiri. Jam kerja sudah dimulai, tentu semua karyawan sudah sibuk di mejanya masing-masing. Kalau ada yang masih berkeliaran di lift, kemungkinannya karena harus menemui seseorang di ruangan lain, atau memang ia terlambat.

Saat pintu lift telah terbuka, aku bergegas menuju rangan Pak Kenzie yang terletak di ujung lantai ini. Dengan hati-hati aku mengetuk pintu, yang langsung disambut suara berat lelaki itu.

"Masuk."

Perlahan aku membuka pintu. Pak Kenzie terlihat sedang menekuri beberapa berkas di meja. Melihatku, ia langsung berdiri. 

"Ah, kamu pasti Meisya Garvita. Silakan duduk."

Aku mengikuti arah yang ditunjuk Pak Kenzie. Ini pertama kalinya kau masuk ke ruangan direktur. Tempat yang sangat besar, jauh berbeda dengan ruangan berbagai divisi di kantor ini. Di dinding sebelah kanan tampak sebuah lukisan besar bergambar bunga sakura. Dari kabar yang beredar, aku mendengar bahwa ibu Pak Kenzie asli dari Jepang. 

"Sudah berapa lama kamu bekerja di perusahaan ini, Mei?"

"Tujuh tahun, Pak."

"Wah, sudah lama juga, ya. Berarti Bu Siska benar, sudah selayaknya kamu naik posisi."

"Maksudnya bagaimana, Pak?"

Pak Kenzie menegakkan punggungnya yang semula bersandar. Secara fisik, lelaki itu sama sekali tak terlihat seperti orang Jepang pada umumnya. Wajah dan postur tubuhnya lebih mirip dengan orang Eropa. 

"Bu Siska akan dipindahtugaskan. Ia diangkat menjadi kepala cabang di Surabaya. Maka harus ada orang yang menggantikannya menjadi kepala bagian keuangan, dan kamu adalah orang yang direkomendasikan."

Penjelasan Pak Kenzie bagaikan petir di tengah hari yang panas. Mengejutkan, karena aku hanyalah pegawai biasa dengan pendidikan standar. Di divisi keuangan masih ada beberapa karyawan senior dengan latar belakang keilmuan yang lebih tinggi. Kenapa bukan mereka saja yang diangkat menggantikan Bu Siska?

"Bapak nggak salah orang, 'kan?"

"Tentu saja tidak. Saya sudah meminta penjelasan Bu Siska tentang kinerja kamu selama di bawah naungannya. Saya juga mempelajari semua hal tentang kamu."

Aku hanya mengangguk sebagai tanda mengerti. Bagaimanapun ini berita besar yang sulit kupercaya. Pak Kenzie menatapku tajam. Ia seperti menunggu aku berbicara. Namun, karena tak kunjung ada tanggapan, akhirnya lelaki itu kembali bersuara. 

"Sebagai proses sebelum serah terima jabatan, siang ini kamu harus ikut makan siang bersama saya."

Kalimat itu kejutan berikutnya buatku. Apa memang sebelum naik jabatan, seseorang harus makan siang bersama direkturnya? Seakan mendengar pikiranku, Pak Kenzie kembali memberi penjelasan. 

"Yang hadir bukan hanya kita berdua. Tentu saja ada Bu Siska, dewan komisaris, beberapa kepala divisi lainnya, dan teman-teman kamu yang juga dipromosikan pada periode ini."

Akhirnya aku bisa bernapas lega. Tak terbayang jika harus makan siang berdua saja dengan lelaki ini. Aku sepertinya tak bisa terus menerus berada di bawah tatapannya yang intens. 

"Tepat pukul dua belas, saya tunggu kamu di lobi."

"Baik, Pak. Apakah saya boleh kembali ke ruangan?"

"Ya, silakan."

Aku berdiri dan mengangguk hormat pada Pak Kenzie sebelum melangkah untuk keluar. Ketika tanganku menyentuh handle pintu, terdengar lelaki itu berbicara lagi.

"Oh, satu lagi, Mei. Siapa lelaki yang mengantarmu tadi pagi?"

"I-itu, suami saya, Pak."

"Apakah kalian sudah mempunyai anak?"

"Belum, Pak."

"Oh, begitu. Oke, saya rasa cukup. Sampai jumpa saat makan siang."

"Baik, Pak. Permisi."

Aku melangkah keluar dengan jantung yang berdegup kencang dan tak teratur. Di satu sisi kabar naik jabatan sangat menggembirakan. Namun, entah kenapa hatiku tak tenang. Semoga ini bukan pertanda buruk.

Di lift, aku bertemu Linda. Sahabatku itu adalah karyawan di bagian periklanan. Ruangannya tepat di sebelahku. 

"Dari mana, Mei?" 

"Dipanggil bos."

"Kenapa? Jangan bilang kamu korupsi, lalu disidang."

"Hus! Ngawur aja. Karyawan rendahan kayak aku mana bisa korupsi."

"Ya, siapa tahu. Kabarnya di divisi keuangan itu 'kan basah. Jadi lebih gampang lah dibanding tempat lain."

"Nggak gitu juga, Tante Linda cantik."

Ucapanku disambut pukulan kecil dari Linda. Tiba-tiba ekspresi wajahnya berubah serius.

"Mei, kemarin aku nggak masuk karena harus antar ibu cuci darah. Pulangnya lewat rumahmu. Niatnya kami mau mampir, tapi nggak jadi, soalnya kayak ada tamu gitu."

"Tamu? Laki-laki atau perempuan?"

"Sepasang. Kayak suami istri. Yang perempuan menggendong bayi, sementara suaminya nurunin perlengkapan bayi gitu dari bagasi."

"Serius? Kamu lihat wajahnya?"

"Nggak. Aku hanya lihat mereka dari belakang. Mobilnya warna silver gitu."

Apakah ini sebuah petunjuk? Jangan-jangan mereka adalah orang yang membawa Embun masuk ke dalam rumah orang tuaku. Harus diselidiki.

***

Bersambung

Jadi, siapa orang tua bayi itu yang sesungguhnya? Komen di bawah, yuk. Jangan lupa tap love dan bagikan cerita ini, ya.


Komentar

Login untuk melihat komentar!