"Dek ..., itu umiku," ujar Mas Kholik lembut.
"Iya, Mas."
Dengan gemetar aku melepas helm di kepalaku. Sebenarnya sih aku berharap mas Kholik yang akan membantuku melepas helm, biar kaya di film-film itu … eh ....
"Ayo, Dek, salim sama Umi dulu."
Mas Kholik berjalan mendahuluiku. Langkahku terasa berat. Mau ketemu calon mertua kok rasanya gini amat ya, hufh!
Ketika sampai di depan umi, tanganku segera meraih tangan beliau. Dinginnya tanganku menempel di tangannya yang hangat. Ku tempelkan punggung tangan beliau ke dahiku.
"E eh …, cium tangan itu pake hidung. Jangan tempel di dahi. Gimana to Lik, ini calon istrimu, masak gini aja nggak tahu."
Aku terperangah. Spontan wajahku mendongak ke atas dengan posisi badan masih menunduk.
Ku cium sekali lagi tangan beliau, kali ini dengan hidung.
"Nah ... kayak gini baru bener. Dah ayo masuk," ajak Umi."
"Inggih, Mi," sahutku.
"Panggil aja Bu Mad, belum jadi mantu kok sudah sok akrab panggil Umi," kata perempuan yang bergelar ibu mas Kholik itu. Ku rasakan wajahku sedikit memerah.
Tenang Nuri … semua akan baik-baik saja, batinku.
Sesampainya di ruang tamu, aku menemukan calon suamiku sudah duduk bersama dengan lelaki paruh baya. Hm, mungkin itu Pak Ahmad.
"Assalamu'alaikum ... Pak," sapaku sambil kedua tangan ku tangkupkan di dada.
"Waalaikumsalam, sini duduk sini, Nduk. Panggil saja Abi, jangan pak. Biar cepet akrab gitu lo," jawab beliau dengan senyum mengembang. Sangat kontras dengan si ibu.
"Mana bisa kaya gitu, Bi, belum jadi mantu lo ini …," kalimat dari bu Ahmad seketika membuyarkan senyumku. Aku menunduk.
"Halah mi ..., ya nggak papa to. Sebentar lagi kan jadi mantu to," kata mas Kholik lembut.
"Yo kan nanti. Kalau jadi. Kalau lo ya ...."
Aku semakin menunduk. Bu Ahmad berjalan masuk ke ruang dalam.
"Jangan ambil hati ucapan umi tadi ya nduk," ucapan abi terdengar. Aku mengangguk saja.
Masalah panggilan saja ribut, apalagi nanti. Ups ….
Obrolan ringan terjadi antara aku dan dua lelaki beda usia itu. Sesekali abi melontarkan candaan, yang membuat aku tersipu. Sementara mas Kholik lebih banyak tertawa.
"Ini, silahkan minum teh nya."
Bu Ahmad datang membawa nampan berisi teh pekat yang masih mengeluarkan asap.
"Nggih bu," sahutku pelan.
"Kamu beneran sudah siap nikah sama anakku, Kholik ini?" Bu Ahmad mengajukan pertanyaan sesaat setelah beliau duduk di samping suaminya.
"Insyaallah, bu," jawabku pelan.
"Besok kalau sudah jadi mantuku, kamu harus rajin lo ya. Awas saja kalau sampai kamu males-malesan. Asal kamu tau saja Nur, yang pengen nikah sama Kholik itu banyak. Jadi ngerti sendiri kamu. Nurut sama aku juga, aku kan ibunya Kholik. Intinya, aku nggak mau punya mantu yang suka ngelawan. Apalagi kaya di sinetron-sinetron itu."
Bu Ahmad bicara panjang lebar. Aku sesekali melirik ke arah mas Kholik dan bapaknya. Ku lihat mereka berdua senyum-senyum simpul.
"Insyaallah dek Nuri ini akan jadi istri dan mantu idaman mi. Jangan khawatir. Kholik sayang sama umi, karena itu tak carikan mantu yang jos pokoknya," ujar mas Kholik mencoba membelaku. Aku sedikit lega.
Tak berapa lama abi pamit pergi karena ada urusan lain.
Obrolan ringan masih terus berlanjut. Sebenarnya bu Ahmad yang lebih banyak bicara. Aku dan mas Kholik sesekali menimpali, mengangguk, dan melempar senyum.
Tiba-tiba hp ku bergetar, layarnya menunjukkan ada pesan baru masuk.
[ Dek, kamu kalau lagi senyum gitu tingkat nggemesinnya tambah lo. ]
Seketika aku menoleh ke arah pengirim pesan.
[ Nggak sabar pengen halalin kamu, dek]
Lagi, dan aku melongo membacanya. Dasar mas-mas ini. Untung ganteng, eh ….
"Besok ngga usah nyari baju pengantin, mahal. Dah, kalian nganut aku saja. Tak jahitin kebaya buat Nur. Dan kamu Lik, pake jas biasa saja buat acara ijabnya ya ...," ujar bu Ahmad kembali merasuk ke telingaku.
Aku meringis pelan, nah ... nah ... nah … gini amat ya, mau jadi menantu.
"Nur ... daritadi tak perhatikan, kamu nggak dengerin aku ngomong ya. Sibuuuukkk … terus sama hp. Niat nikah sama anakku nggak to kamu!" Seru bu Ahmad.
Aku terperanjat mendengar nada bu Ahmad naik satu oktaf.
Lah … lah … gimana ini, belum apa-apa camerku sudah marah ….
Tbc