Tak menunggu lain hari, beberapa jam setelah akad keluarga mas Kholik langsung memboyongku. Tak ada acara resepsi. Tak mengundang banyak tamu.
Ya, semua itu syarat yang diajukan umi. Sempat terjadi perdebatan alot antara keluargaku dan keluarga suamiku. Aku, satu-satunya anak perempuan di keluarga. Tentu saja keluargaku ingin merayakan pernikahan ini. Tidak mewah, tapi setidaknya tidak sesepi ini.
Beberapa hari ibuku terlihat sedih, beruntung bapak bisa membesarkan hatinya. Uang yang sedianya digunakan untuk resepsi, diam-diam ibu masukkan ke dalam tas jinjingku. Amplop yang cukup tebal. Aku berusaha menolak, kedua orang tuaku bukan dari golongan orang berada. Uang itu pasti mereka dapatkan dengan susah payah. Entah dengan cara apa.
Yang jelas sejak dulu orangtuaku pantang berhutang.
Airmataku berderai saat suamiku menggandeng menuju mobil yang disewa untuk membawa rombongan keluarga mereka.
Aku merasa seolah-olah seperti direnggut paksa dari keluargaku. Lebay? Tidak juga. Bayangkan saja, aku harus meninggalkan rumah nyaman milik orangtuaku. Untuk tinggal di rumah mertua, sedangkan aku belum lama mengenal mereka.
Sepanjang perjalanan mas Kholik mengelus pundakku. Kepala ku sandarkan di bahunya. Aku tak peduli riasan yang acak-acakan.
Bahagia dan sedih, kenapa datang di waktu yang sama?
Tak sampai satu jam rombongan kami sampai di tujuan. Pagar rumah mas Kholik terbuka, beberapa orang nampak menunggu kedatangan kami.
"Di lap dulu dek, tu ingus belepotan. Tenang ya, mas sekarang yang akan jaga kamu," ucap suamiku. Sekotak tisu dia sodorkan.
"Nur, sini tak rapiin sebentar bedakmu. Kamu itu lo, cengeng. Dulu aku juga langsung diboyong. Tapi nggak lebai kayak kamu." Mba Ami, ipar mas Kholik menarik pelan pundakku.
Tangannya cekatan mengusap bedak di wajahku. Bibirku tak luput dari olesan lipstik merah.
"Jangan tebel-tebel to mbak," ujarku.
"Halah, tebel darimana. Cuma dioles dikit. Biar nggak pucet kamu. Penganten mosok nggak cantik. Piye to," sungutnya. Tangannya terampil merapikan jilbabku yang mungkin sedikit berantakan.
"Nah …, ginikan cantik. Jadi menantu umi harus siap lahir batin. Suamimu alus, tapi mertuamu … wooo, tegangan tinggi." Suara mbak Ami seperti menahan tawa. Mas Kholik yang mendengar perkataan iparnya juga ikut tertawa.
Beruntung umi sudah turun daritadi. Aku mengulum senyum.
"Dah, ayo turun. Santai saja Nur, itu yang di dalam keluarga kita semua," kata mbak Ami. Tangannya menggandengku.
"Mbak, itu istriku. Biar ku gandeng sendiri."
"Ish … kamu mana tau perempuan harus jalan pelan. Umi jahit rok kok mepet sekali, sampai si Nur kaya lemper." Wanita cantik itu tetap menggandeng tangan kiriku.
Bibirnya terus mengucapkan beberapa kalimat. Semoga mbak Ami bisa menjadi saudara yang baik untukku.
***
Jam dinding menunjukkan angka sepuluh. Malam ini terasa sangat melelahkan. Saudara-saudara mas Kholik baru pulang jam sembilan. Beberapa dari mereka menyambutku dengan hangat. Namun ada juga yang hanya diam, seolah mengamatiku.
Aku memasuki kamar mas Kholik. Terlihat suamiku itu sedang duduk di tempat tidur. Aku mendekat pelan.
"Sini dek," ucapnya. Kami duduk berdampingan.
"Terima kasih dek, sudah bersedia menjadi pendamping hidupku."
"Mas," panggilku lirih.
"Ya?"
"Emm … itu … a-aku,"
"Kenapa dek? Tenang, mas nggak akan memaksa kamu melakukan kewajibanmu sekarang. Kita jalani pelan-pelan. Mas sabar menunggu sampai kamu siap."
"Terima kasih mas," jawabku pelan.
"Dah, sekarang kita istirahat. Mas tau kamu lelah," ujarnya.
Ku ikuti mas Kholik merebahkan badan. Tangannya meraih jemariku. Tatapan hangatnya mengantarku ke alam mimpi.
***
Pagi ini aku terbangun oleh kecupan lembut di dahiku. Aku tergagap. Terkejut melihat suamiku sudah rapi dengan koko dan sarung.
"Mas bangun dari tadi?"
"Iya, maaf mas nggak tega bangunin kamu tadi dek," jawabnya.
Aku segera beranjak. Meraih jilbab di meja rias, kemudian bergegas keluar menuju kamar mandi.
Saat akan ke kamar mandi aku melewati dapur. Di sana sudah ada mbak Ami yang sedang menghangatkan lauk dan sayur sisa semalam.
"Cie … yang penganten baru, jam segini baru bangun," godanya. Matanya berkedip genit ke arahku.
"Apa sih mbak …," aku tersenyum. Bergegas masuk ke kamar mandi. Menuntaskan panggilan alam, kemudian berwudhu.
Saat aku membuka pintu kamar mandi ku lihat mbak Ami menatap heran.
"Nur, kamu nggak mandi?"
"Enggak mbak,"
"Weh, piye to ini. Emang kamu nggak gitu-gitu sama Kholik?"
"Ish, apaan sih mbak. Kepo ih,"
Ku tinggalkan mbak Ami sendirian. Di pintu kamar aku berpapasan dengan umi.
Aku urung menyapa, karena sorot mata umi terlihat tajam mengarah padaku. Beliau bergegas pergi. Di dalam kamar mas Kholik terlihat mengusap kasar wajahnya.
Ini pada kenapa sih?
🌷🌷🌷