1. Mas Kholik

MERTUAKU…, I LOVE YOU


Part 1



"Mas, aku kok gemetar, ya," kataku dengan suara keras. Sengaja, biar Mas Kholik bisa mendengar jelas perkataanku.



"Lo … memangnya kenapa, Dek?"



"Nggak tahulah, Mas. Rasanya gimana gitu lo ...."



"Santai aja, Dek, kamu mau di ajak ke rumahku kok aneh gitu."



Ku lihat bahu Mas Kholik bergerak pelan. Sepertinya dia sedang menertawakanku. Tanganku semakin bergetar.



Ini pertama kalinya aku pergi ke rumah Mas Kholik, calon suamiku.



Beberapa hari yang lalu, orang tuanya datang ke rumahku. Memintaku untuk menikah dengan Mas Kholik.



Aku dan Mas Kholik belum lama berkenalan. Awalnya Mas Kholik berteman dengan sahabatku. Namun lama-lama dia merasa jatuh cinta pada Indri, sahabatku. Saat mengungkapkan perasaannya, Indri menolak. Karena dia sudah mempunyai calon suami. Dan tanpa persetujuanku, Indri memberi nomer hp ku kepada Mas Kholik.



Katanya nomer hp ku bisa mengobati rasa sakit hati Mas Kholik. Ada-ada saja bocah itu. Dan akhirnya mas Kholik mulai menghubungiku.



Pertama kali mendapatkan pesan darinya, aku merasa biasa saja. Namun, si Indri terus saja menceritakan kebaikan-kebaikan Mas Kholik. Akhirnya setelah saling berbalas pesan hampir satu bulan, aku merasakan ada yang berbeda.



Ada rasa cemas jika satu hari saja tak ada pesan darinya. Ada rindu jika tak mendengar suaranya melalui telepon.



Di bulan kedua, Mas Kholik berani menemui keluargaku. Memohon ijin pada orang tuaku untuk menjalani hubungan lebih serius denganku. Saat itu aku masih bekerja di luar kota. Bapak dan ibu merasa tersentuh dengan keberanian mas Kholik. Dia laki-laki pertama yang berani menemui orang tuaku untuk membicarakan hubungan serius denganku.



Tak ku duga kedua orang tuaku memberikan pilihan pada Mas Kholik, yaitu serius, lalu menikah. Atau menjauh jika hanya ingin pacaran saja. Dan lelaki itu memilih pilihan pertama. Memang usianya sudah sepatutnya untuk segera memikirkan pernikahan.



Tak perlu proses panjang, beberapa hari kemudian mas Kholik datang lagi, kali ini mengajak abi dan uminya. Semakin mantap hati bapak dan ibu. 



Aku yang masih di luar kota diminta untuk segera mengundurkan diri dan pulang. Sebenarnya ini sangat berat bagiku. Saat lagi senang-senangnya bisa menghasilkan uang sendiri. Ah… biarlah. Nanti setelah menikah aku kan bisa membujuk mas Kholik untuk mengijinkan aku bekerja.



Pertemuan pertamaku dengan Mas Kholik, tiga hari yang lalu. Di terminal, saat dia menjemputku. Ya, selama ini kami hanya terhubung dengan sms dan panggilan suara saja. Ada rasa takut, bagaimana kalau wajahnya tak sesuai dengan apa yang ku bayangkan selama ini. Begitupun aku khawatir, kalau aku tidak sesuai dengan apa yang dia pikirkan.



Senyumnya mengawali pertemuan kami. Pada pandangan pertama, rasa mulas membuyarkan keanggunanku. Aku salah tingkah. Dia menyapa lebih dulu. Dan bodohnya aku… di banding menjawab sapaannya, aku malah terpana menatap ukiran wajah yang nyaris sempurna itu.



Duh… duh… duh… bahkan dia harus mengulang salam, hanya untuk menyadarkan aku. Memalukan.



"Belum pernah ngelihat cowok ganteng ya dek…?" Ujarnya saat itu.



Ya Allah ... ingin rasanya aku sembunyi. Mas Kholik terus saja mencandaiku. Ih! Dasar mas-mas ini. Jahil sekali.



Motor yang kami kendarai tiba-tiba berhenti. Aku terheran, namun tak berani bertanya. Mas Kholik melepas helm biru yang dipakainya, tanpa turun dari atas motor. Aku masih diam.



Mas Kholik memutar kepalanya pelan, sambil berkata, "Dek …."



"Kholik …!! Belum muhrim. Awas aja kalau nggak cepetan turun!" Suara teriakan seorang wanita keras terdengar dari arah belakang.



"Mas … i--ini?"



"Dah sampai rumahku, Dek ...  dari tadi sudah tak suruh turun, kamunya asyik ngelamun." Suara Mas Kholik seperti menahan tawa.


Blush…!


Apa …? Rumahnya?


Berarti yang teriak tadi …?