Part 6. Masih Suci

Selesai membereskan meja dan mencuci piring dan kawan-kawannya aku menyusul suamiku ke kamar. Dia sedang asyik membaca buku.


"Mas …, katanya mau cerita."


Suamiku menegakkan punggungnya. "Sini duduk sini," katanya.


Aku naik ke atas dipan dan duduk di sebelahnya. Tangan suamiku merangkul bahuku, kemudian dengan pelan menarik aku untuk rebah di dadanya. Aku bisa mendengar suara detak jantungnya. Terdengar sangat cepat. Sama seperti detak jantungku.


Ku beranikan diri menatap wajahnya. Ku temukan dia sedang memejamkan mata.


Iseng ku pencet hidung mancung miliknya.


"Eh, sudah berani nakal ya …," ujarnya sambil membalas mencubit hidungku.


Aku tertawa, ku gelitiki ketiaknya. Ternyata suamiku tipe orang yang nggak bisa di gelitiki. Langsung tertawa kegelian sampai minta ampun.


"Dek, nakal banget kamu." Aku merasa kasihan melihatnya terengah-engah.


"Abisnya mas janji mau cerita, tapi malah diem aja," rajukku manja. Astaga …, aku sendiri heran kenapa aku bisa mengeluarkan suara rajukan seperti itu.


" Kamu lo dek, nggak punya sisi romantis. Aturan kamu tadi ikutan merem, nikmati pelukan dari suami ganteng."


Ih … makin gemes aku sama kamu, mas.


Tanpa pikir panjang ku raih tangannya. Ku gigit jari yang kemarin di genggam pak penghulu.


"Aww … eh, ini anak," seru mas Kholik. Aku tertawa lagi. Kemudian kami asyik bercanda. Ya, hanya bercanda. Selimut entah terlempar kemana. Bantal berserakan untuk adu perang pukul bantal.


Akhirnya kami sama-sama merasa capek, rebah berdampingan di atas kasur.


"Dek, kamu pengen punya anak berapa?" tanya mas Kholik.


"Hah? Emm, belum kepikiran mas," jawabku.


"Kalau bikin anak, sudah kepikiran belum dek?"


Mungkin wajahku memerah. Pertanyaan macam apa ini.


"Kalau coba bikin sekarang gimana dek?" lanjutnya.


Aku hanya bisa memejamkan mata. Menikmati setiap desiran. Seperti karang yang pasrah dihempas ombak berulang. Ketika api berkobar menggerogoti batang bambu, apalagi yang ia bisa selain meliuk, kemudian terbakar.


****


Sayup ku dengar adzan dhuhur. Aku tergeragap. Seluruh tubuh terasa linu. Ku tepuk lengan suamiku.


"Mas, bangun … sudah dhuhur itu," ucapku.


Tak butuh waktu lama suamiku membuka mata.


"Kenapa dek?" tanya mas Kholik. Mungkin dia heran melihat aku meringis.


"Ish … sakit mas,"


"Mau mas obatin?"


"Emang bisa?"


"Bisalah …."


"Pake apa ngobatinnya?"


"Ya pake cinta,"


Spontan aku memukul bahu bidangnya. Suamiku hanya tertawa. Dia bergegas memakai baju. Kemudian mengambil handuk bersih dari dalam lemari.


"Bisa bangun dek?" 


"Bisa, tapi bentar ya mas …,"


Cup. Tanpa permisi mas Kholik mencium keningku.


"Makasih ya dek, love you," katanya.


Aku mengangguk dan tersenyum. Mas Kholik mengambil pakaianku yang berserakan. Kemudian di serahkannya padaku.


"Pakai dulu dek, setelah kamu pakai baju baru mas keluar mandi," suruhnya.


Selesai aku berpakaian, dia beranjak ke kamar mandi. 


Aku baru saja selesai mengganti sprei dengan yang baru saat suamiku kembali masuk ke kamar.


"Cuci besuk aja kalau masih capek dek," ujarnya.


"Sekalian mandi ini mas," sahutku.


"Apa nggak usah di cuci aja, di taruh di museum" godanya.


"Ih, jorok." Aku berseru kesal.


"Hahaha, dah sana mandi. Itu di ember ada air hangat. Mungkin bisa sedikit mengurangi sakit dek," kata mas Kholik.


"Iya mas, makasih ya …."


Sedikit menahan nyeri, aku berjalan keluar kamar sambil membawa sprei kotor.


Di dapur aku berpapasan dengan umi.


"Bawa apa kamu Nur?" tanya beliau.


"Hm, i-ini mi, sprei kotor. Mau Nur cuci," sahutku.


Umi menyerngitkan dahi.


"Kotor? Kotor kenapa?" 


Aduh umi … masak iya aku harus ngomong.


Bosan menunggu jawabanku, tiba-tiba umi merebut sprei dari pelukanku. Tanpa basa basi di bentangnya kain lebar itu.


"Umi …!" pekikku.


Ku lihat mbak Ami tergopoh muncul dari arah depan.


"Ada apa Nur?" tanyanya.


Aku menutup wajahku malu. Tak tahu bagaimana ekspresi umi dan mbak Ami.


"Eh, kamu masih perawan Nur?" Seruan mbak Ami tak terkontrol.


"Sekarang udah enggak," bisikku pelan.


"Nah kan … umi lihat sendiri. Nur ini masih perawan tadi. Anak kesayangan umi nggak ada kudung-kudungan ya …,"


Umi kembali menyerahkan sprei kotor kepadaku.


"Ngomong apa kamu Minah," ujar umi sambil berlalu. Ku lihat senyum merekah di bibir beliau.


"Kudung apa to mbak?" tanyaku pada mbak Ami.


"Yaitu … umi kaget waktu tiba-tiba Kholik minta dinikahkan sama kamu. Padahal kan kalian belum lama kenal. Lagian juga belum pernah ketemu to?" ujarnya cepat.


"Apa hubungannya sama kudung mbak? Emang mas Kholik kudungan?" tanyaku bingung.


"Pikir umi, kamu tu perempuan nakal. Sudah hamil duluan. Makanya ngeyel ngajak Kholik cepet nikah sama kamu," jelasnya.


Ya Allah … aku menggelengkan kepala. Sedikit kecewa dengan pemikiran umi. Ah, biarlah. Toh sekarang umi sudah tahu kebenarannya.


"Wis sana, cepetan mandi. Pakai air anget Nur, mandi yang bersih. Siapa tahu nanti ada serangan lagi habis dhuhur." Mbak Ami tergelak saat aku mencubit pinggangnya.


Aku segera masuk ke kamar mandi. Membersihkan badanku, dan membersihkan bukti kesucianku.