Setelah kejadian umi melihat spreiku, beliau berubah sangat perhatian. Siang harinya beberapa makanan beliau siapkan. Mbak Ami pun sampai heran melihat deretan hidangan di meja makan.
Umi juga melarang aku membantu pekerjaan rumah. Beliau hanya memintaku untuk menyiapkan keperluan mas Kholik saja.
Hari-hari ku jalani dengan tenang. Ternyata tinggal serumah dengan mertua dan ipar tak seperti yang orang-orang bilang. Aku sangat beruntung, umi walaupun sering bicara ceplas ceplos, beliau terlihat perhatian dan sayang padaku.
Mbak Ami juga terlihat sayang padaku. Dia yang terlahir sebagai anak tunggal merasa senang memiliki keluarga besar.
Semoga saja terus begitu.
***
"Umii …," suara teriakan terdengar dari arah dapur.
Aku yang sedang menyapu halaman depan bergegas menuju sumber suara.
Sampai di dapur aku melihat mbak Ami cemberut. Sementara umi terlihat diam sambil memegang toples.
"Kenapa mbak?"
"Ini, nggak tau siapa yang makan biskuitku," jawab mbak Ami.
"Biskuit apa sih?"
"Ini lo Nur, biskuit di toples ini." Umi memperlihatkan toples kosong ke arahku.
"Oh, itu. Tadi pagi di makan sama mas Kholik mbak, buat temen minum teh," ujarku.
"Hah …! Lain kali tanya dulu dong, jangan asal makan," seru mbak Ami. Aku terkejut mendengar seruannya.
Selama seminggu tinggal bersama baru kali ini dia berkata dengan nada tinggi.
"Maaf mbak, aku nggak tau kalau itu punya mbak Ami."
"Makanya apa-apa tu tanya dulu," gerutunya.
"Dah, Nur lain kali kalau ambil apa-apa jangan di rak sebelah kiri. Umi juga lupa nggak ngasih tau kamu." Umi berkata sambil meletakkan toples.
"Iya mi," jawabku.
"Terus gimana ini, aku tuh pengen ngemil sekarang." Mbak Ami menghentakkan kakinya. Sungguh aku terkejut melihat polahnya.
"Iya mbak, nanti aku minta mas Kholik buat beli biskuit,"
"Kok nanti, aku maunya sekarang Nur," sentaknya.
Aku menghela nafas.
"Ya udah, tak beli sekarang."
Sedikit kesal aku berlalu ke kamar untuk mengambil uang. Beruntung tadi suamiku memberiku uang untuk pegangan.
"Mi, Nur ke warung depan sebentar ya," pamitku pada umi.
"Hm …,"
Aku pergi setelah mendengar gumaman dari umi.
Dalam hati aku menggerutu. Hanya karena biskuit, kenapa sampai segitunya sih. Lagian kan salah mbak Ami, kalau memang tidak mau berbagi harusnya di simpen aja toples biskuit itu di dalam kamar. Biar sekalian dikerubuti semut.
Sepulang membeli biskuit aku kembali menyapu halaman. Dengan kesal ku gerakkan sapu sekuat tenaga.
Srek … srek … srek ….
"Nur, pelan-pelan to. Nanti bisa patah lidinya." Aku mendengar suara umi berteriak.
Ah, biar saja. Yang penting emosiku tersalurkan. Selesai menyapu, hatiku masih belum lega.
Ku lihat sekeliling, aha … banyak rumput di halaman. Kenapa nggak sekalian aja ku cabut?
Ku gulung lengan bajuku sampai ke siku. Dengan semangat aku mencabut rumput dan beberapa tumbuhan perdu yang mengganggu pandangan mata.
Butuh waktu sedikit lama sampai akhirnya beberapa tanaman liar teronggok pasrah bertumpuk dengan rumput.
Aku tersenyum. Halaman rumah mertua sekarang sudah tampak rapi. Bebas dari rumput dan tanaman liar.
Hatiku juga sudah lega. Emosiku tersalurkan. Penyaluran emosi yang baik bukan?
"Nur …!" Sebuah teriakan terdengar.
Sontak aku menoleh ke belakang. Aku menemukan wajah umi memerah. Matanya menyorot tajam ke arahku.
Entah kenapa perasaan tak enak kembali menjalar.
"Nur beresin halaman mi, rumput sama tanaman liar sudah Nur cabut. Rapi kan …?" Kataku.
Ibu dari suamiku setengah berlari ke arah tumpukan rumput yang baru saja ku cabut. Wajahnya kian keruh.
"Ya Tuhan …, ini bukan tanaman liar Nur, itu keladi, mahal Nur …!"
Ups …, mana yang lebih baik, ngumpet atau mendengarkan ceramah mertuaku?