Rafi menatap istri tercinta dan kedua putrinya yang tengah mengobrol di ruang keluarga. Ketiganya mengomentari acara yang sedang mereka saksikan.
"Serius banget. Sampai nggak ada yang bukain pintu." Rafi melenggang di depan mereka.
"Eh, Papa. Sorry, Pa ... lagi serius." Nasya kembali menoleh ke televisi.
Agita bahkan menghampiri sang suami dengan mata masih mengarah ke layar televisi.
"Ini bukannya film ulangan? Lagian, Maghrib kok malah pada nonton TV," protes Rafi.
"Iya, sih, nemanin anak-anak aja. Kan kamu bilang harus bisa jadi teman mereka." Agita meraih lengan sang suami dan menciumnya.
"Ya ... Namun, kenapa harus nonton Upin Ipin? Ada-ada saja," kekeh Rafi sambil mematikan televisi. Lalu meminta kedua putrinya untuk salat.
"Ah, Papa ganggu aja!" Nasya berdiri dengan manja.
"Nanti Papa panggil Opet kamu kalau nontonnya Upin Ipin terus!" canda Rafi sambil tertawa renyah.
Selanjutnya mereka pergi ke kamar untuk menunaikan ibadah, sementara Rafi pergi ke masjid dan Agita menyiapkan makanan.
Rafi berjalan kaki bersama beberapa orang tetangga yang kebetulan juga menuju masjid. Jalanan sedikit becek akibat hujan. Jadi ketika mobil melintas, cipratannya mengenai orang yang berjalan.
"Hei! Hati-hati kalau jalannya ada lubang!" teriak tetangga Rafi dengan emosi.
"Sabar, Pak. Mungkin bukan orang sini," ujar Rafi menenangkan.
Mobil itu berhenti dan seorang pria keluar dengan tersenyum.
"Maaf, saya tidak lihat ada genangan. Sekali lagi maaf," ujar pria yang ternyata Reval.
"Ya sudah! Saya harus pulang, deh," ucap tetangga Rafi dengan kesal.
Rafi hanya tersenyum dari halaman masjid, meski sepersekian detik kemudian dia menoleh kembali menatap pria yang masuk ke dalam mobil. Ia seperti mengingat sosok yang dia kenali, tapi hatinya meminta untuk tak mendekati pria itu.
Dia segera masuk ke dalam masjid meski pikirannya sedikit tidak tenang.
Jika pria itu ada di kompleks perumahan ini, apa mungkin rumahnya juga di sini? Atau hanya kebetulan lewat?
Sudah sejak menikah dengan Agita, mereka berjanji untuk tidak membahas tentang sahabat istrinya di masa lalu itu. Untuk menghormati hubungan pernikahan mereka. Karena belakangan tersiar kabar, bahwa Revaldi sesungguhnya menyukai Agita. Hanya selalu dia pendam.
***
Naya seperti biasa mengerjakan tugas di perpustakaan. Mencari referensi dari apa yang dia pelajari. Sebenarnya di Google juga banyak, tapi dia tidak menyukai berlama-lama memandang smartphone atau laptop. Dia lebih nyaman membaca.
Sementara Reval, baru saja masuk perpustakaan. Dia mulai jadi perhatian para mahasiswi di sana. Pria maskulin ini memang seperti seorang artis yang tak lekang oleh waktu. Wajahnya seolah tak tersentuh kata tua. Namun, bukan karena menolak tua alias melakukan operasi atau bahkan suntik botox, melainkan karena memang awet muda.
"Prof, di sini kosong," ujar seorang mahasiswi dengan percaya diri.
Reval mengangguk, lalu duduk di kursi dekat mahasiswi tadi. Naya sempat menoleh, tapi dia cuek pada akhirnya dan kembali membaca, lalu sesekali mencacat apa yang dia perlukan.
"Ish, kenapa jadi pengen lihat dia mulu? Bodo amat, kan. Dia mau duduk sama siapa? Toh, kemarin sudah kukasih nomor ke dia, tapi tetap nggak ada yang menghubungiku," gerutu Naya dengan bergumam sendiri.
Dari kejauhan pria yang dipikirkan Naya tersenyum tipis menatap gadis berkerudung toska itu. Gerak bibir sang gadis membuatnya tak bosan menatap dan mengabaikan buku yang telah dia buka sejak tadi.
"Prof, emang benar, ya, belum menikah?" tanya mahasiswi di sebelah Reval.
Reval menoleh dan tersenyum, lalu mengangguk. Kemudian kembali melirik pada Naya yang kebetulan juga sedang melihat ke arah dirinya. Mata mereka bertemu untuk sepersekian detik, karena sang gadis segera memalingkan pandangan.
"Kenapa jadi berasa merinding dan gemetar gini, ya? Duh, jangan ge-er ... jangan ge-er," gumam Naya sambil pura-pura membaca. Lalu membuka smartphone dan pura-pura membalas pesan. Pinggulnya mulai terasa panas, duduk tidak tenang dan gelisah tidak keruan. Berulang kali dia mengintip Reval yang juga sama, kadang masih mencuri pandang padanya.
Naya menyerah, dia segera keluar dari perpustakaan. Lalu duduk di bawah pohon besar di taman kampus. Membuka tas dan membaca buku karya Philein. Namun, tidak juga konsen membaca, sebab ponselnya bergetar, menandakan ada pesan masuk.
Dia buka pesan Whatsapp yang masuk, dari nomor yang belum tersimpan di kontak.
Cinta kadang sulit dideskripsikan oleh tingkah laku, tapi ... kadang sangat nyata dari perilaku seseorang.
Isi pesan itu membuat Naya menautkan kedua alisnya. Lalu membuka profil orang itu, seorang pria dengan kacamata hitam dan merentangkan tangan mengarah ke tebing dan jurang. Wajahnya tidak terlihat karena foto itu diambil dari arah samping.
Kepo kan sama pengirim pesan ini? *emoji senyum*
Naya menarik napas, dari postur tubuhnya yang gagah, sepertinya bukan mahasiswa yang dia kenal. Malah terlihat sangat dewasa dan ....
"Prof. Reval?" gumam Naya dengan sedikit senyuman.
Saya nggak pernah balas pesan nyasar.
Naya menulis dengan sedikit tertawa konyol.
Di perpustakaan, Reval hampir tertawa keras membaca pesan balasan dari Naya. Beruntung dia membekap mulutnya dengan cepat, meski jadi tampak seperti anak kecil. Bahkan beberapa mahasiswi yang sedang cari perhatian padanya keheranan, karena sang idola malah sibuk dengan ponselnya. Bukan memberi perhatian pada mereka.
Reval bangkit dari kursi, berjalan keluar dengan senyuman mengembang di wajah. Mengedarkan pandangan ke sekitar taman. Dia tahu persis, seseorang yang dia cari sedang membaca buku di taman. Karena di sana banyak bunga dan pohon indah yang tak lain adalah bagian dari setiap pemujaan sang Philein.
Naya yang tengah asik membaca buku, sesekali menggaruk pipinya yang bersih dan tak lama terlihat membuang udara kantuk.
Jangan suka begadang. Jadi ngantuk deh di jam kuliah.
Tulis Reval di kolom chat Whatsapp.
Naya langsung membuka pesan dan dia tertawa, lalu mengedarkan pandangan. Sementara Reval malah sembunyi di balik tiang besar.
Cari siapa?
Tulis Reval lagi.
Naya kembali tersenyum seorang diri, lalu mengedarkan pandangan.
"Ini maunya apa sih, si Profesor sok kecakepan? Serba salah jadinya. Dia naksir aku bukan, ya? Duh kok jadi ge-er." Naya berbicara sendiri dengan ponsel. Dan semakin membuat pria yang tengah mengawasinya gemas setiap kali melihat ekspresi gadis itu.
Too cute to handle.
Tulis Reval lagi, dan Naya langsung memasukkan wajahnya di antara buku Philein yang terbuka. Sementara sang pria semakin bahagia menggoda.
"Hei, Prof. Belum pulang?" tanya rekan dosennya, membuat Reval terkejut dan segera membalas uluran tangan.
"Masih ada satu kelas lagi," jawab Reval sembari menoleh ke arah mahasiswi yang beranjak meninggalkan taman menuju kelasnya.
Setelah berpamitan dan saling melempar salam, Reval segera menuju kelas terakhirnya untuk hari ini. Dengan sedikit senyuman dia menatap pintu kelas, dan segera dia hilangkan senyum itu tatkala memasuki kelas.
Selama pelajaran berlangsung, Naya memandang pria yang serius menjelaskan tentang karya tulis di hadapannya. Namun, tidak ada sedikit pun ekspresi ramah seperti ketika di perpustakaan, apalagi seperti dalam obrolan Whatsapp. Pria ini serius sebagai dosen yang dikenal dingin.
Hingga tak terasa waktu berlalu dengan cepat, Naya segera merapikan buku dan tas. Masih sempat dia memandang Prof. Reval yang juga tengah merapikan buku. Namun, pria itu tak sedikit pun peduli padanya. Jangankan menyapa, menoleh saja tidak. Lelaki itu langsung keluar dari kelas dengan gaya angkuh.
"Dih, belagu!" maki Naya sambil memasang tali dari tas ransel ke lengan sebelah kiri. Dia lantas menuju keluar kelas dan menunggu Nasya dan Nesa. Tak disangka dia dipanggil salah satu dosen dan dimintai bantuan.
"Naya, bisa ke ruangan saya sebentar?" tanya dosen berbadan subur itu. Namanya Bu Nainggolan.
Tanpa menjawab, Naya langsung mengikuti Bu Nainggolan ke ruang kantor tempat para dosen berada. Tentu saja, Reval juga ada di sana dan tengah mengobrol dengan rekannya. Pria itu sempat menoleh pada mahasiswi yang datang bersama rekan dosennya. Namun, tak menyapa sama sekali.
"Ini tolong kamu bagikan ke anak-anak yang biasa kamu kasih bantuan, ya. Jumlahnya nggak seberapa. Namun, lumayan buat tambahan anak-anak tidak mampu itu," ujar Bu Nainggolan pada Naya.
"Iya, Bu. Namun, jadwal Naya sama teman-teman ke komunitas sekolah jalanan baru besok. Jadi, Naya simpan dulu, ya." Gadis itu sedikit mencuri pandang pada pria yang masih serius mendengarkan rekannya tanpa peduli pada gadis yang sering dia goda.
Setelah memasukkan amplop ke dalam tas, Naya segera keluar dan menemui teman-temannya yang sudah menunggu untuk pulang bersama.
***
"Papa ...." Naya menatap Rafi yang tengah membantu sang istri menyemprot bunga di halaman.
"Apa? Tumben manggilnya manja gitu," jawab Rafi sambil melirik aneh.
Naya menoleh kiri dan kanan, setelah dirasa aman dari sang ibu barulah dia buka suara lagi.
"Ciri-ciri cowok tahun 90-an naksir cewek itu kaya gimana, sih, Pa?" bisik Naya dengan serius.
Rafi menautkan kedua alis, lalu menoleh dan terkekeh pelan.
"Kok pakai istilah 90-an? Apa yang naksir kamu seusia Papa?" tanya Rafi heran.
Naya tersipu, lalu menggigit bibir bawah dan mengingat-ingat.
"Itu dia, makanya nanya. Nih orang naksir Naya atau cuma baik aja sama aku? Menganggap aku seperti anak atau adik, mungkin." Gadis itu akhirnya berterus terang.
Rafi menyimak dengan baik. Sebagai ayah, dia senang anak gadisnya tidak tertutup perihal kisah cinta pada sang ayah. Dia bangga bisa membuat Naya nyaman mencurahkan isi hati padanya.
"Oke, ceritakan seperti apa tindakan dia? Biar Papa nilai."
"Ah mungkin Naya aja kege-eran, hehe. Nggak jadi deh, Pa," kekeh Naya sambil menutup wajahnya dengan pot bunga yang ada di depan dirinya.
"Kamunya suka nggak sama cowok itu? Siapa sih? Masa Papa dapat mantu yang seusia Papa. Nggak serulah," canda Rafi sambil terkekeh juga.
"Dosen. Ah ... mungkin emang aku yang kege-eran." Naya kembali tersipu.
Sementara Agita yang sejak tadi menguping hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. Dia bergabung tapi pura-pura tidak tahu apa yang sedang dibahas oleh ayah dan anak itu.
"Pa, masih ingat nggak? Dulu kamu suka godain Mama setiap kali ketemu? Suka bikin Mama blushing gitu deh." Agita mulai memancing.
Naya diam menyimak, dia tidak tahu jika itu sebuah pancingan. Sementara Rafi menatap sang istri yang memberikan kode istimewa.
"Iyalah, dulu Papa senang godain anak SMA yang kaya anak kecil. Berasa sama adik sendiri. Tapi adik ketemu gede, kalo dekat bikin ser-seran pokoknya," jawab Rafi malah keluar dari konteks yang istrinya inginkan.
"Idih kalian!" Naya menutup mata karena papanya malah menggoda sang mama di depan dirinya.
"Kamu ini, Raf. Maksud aku pancing supaya Naya mau jujur dan cerita seperti apa perlakuan cowok itu. Kok malah jadi keganjenan," omel Agita yang diikuti kekehan Rafi.
"Tahu nih, lagi gemes aja sama istri Papa yang cantik. Ngeri juga kalau mantunya seusia Papa, nanti malah naksir Mama mertuanya," goda Rafi lagi. Membuat Agita merona seperti bunga mawar yang merekah.
"Iya, iya. Naya emang nggak secantik Mama. Aneh emang, masa Naya nggak kebagian cantiknya Mama, sih? Harusnya kombinasi Papa sama Mama bikin Naya jadi sangat cantik. Lha kok ini malah cantikan Nasya!"
"Ngomong apa, sih? Kamu juga cantik, malah mirip banget sama Mama." Rafi mengacak kepala Naya yang cemberut. Lalu mulai bercerita seperti apa cara dia mendapatkan mamanya dulu. Namun, gadis itu tidak mau mendengar karena bosan dengan modus papanya pada sang mama.
***
Seperti malam-malam lain, Rafi dan Agita melakukan obrolan ringan sebelum tidur. Keduanya mulai cemas karena Naya mulai mengutarakan soal pria. Padahal selama ini sangat cuek jika ditanya soal pacar, teman pria atau gebetan.
Selain cemas, mereka juga senang karena Naya tidak tertutup pada mereka. Karena tidak sedikit anak yang takut hingga merahasiakan kisah cintanya dari orang tua. Mungkin dikarenakan orang tua yang terlalu memposisikan diri sebagai orang yang paling benar dan tidak dapat dibantah. Sehingga anak-anak menjadi takut dan sungkan.
"Menurut Papa, siapa pria itu? Apa dosen yang bikin dia kesandung?" tanya Agita sambil meraih lengan suaminya.
"Sepertinya, iya." Rafi membalas genggaman tangan sang istri.
"Tapi di Facebook-nya nggak ada sih dia buat status soal cinta, atau menyebut nama pria yang dia suka."
"Eh? Sejak kapan kamu main sosmed?" tanya Rafi heran.
Agita tertawa kecil, "Sejak kapan, ya? Intinya mau stalking kegiatan anak-anak aja. Nggak pernah eksis, kok."
Selanjutnya Agita menjelaskan pengamatan dia. Di Facebook, Naya hanya sering memasang foto kegiatan amal bersama rekan-rekannya atau foto-foto dari kegiatan jalan bersama.
"Sisanya status dia ya nge-share tulisan-tulisan si Philein," tutup Agita sambil menaruh kepala di pundak suaminya.
"Yang pasti kita jangan lengah, anak-anak kita cewek. Harus selalu diawasi." Rafi memandang langit-langit kamar.
"Perempuan atau laki-laki sama, kok, Pa. Harus dijaga. Jangan sampai anak lelaki juga hamilin anak orang, atau malah diserobot sesama jenis. Naudzubillah," ralat Agita.
Rafi mengangguk setuju, lalu menatap sang istri yang mulai sadar dengan kode suaminya.
"Datang bulan." Sang istri langsung memberikan punggung dan disambut colekan nakal di pinggang oleh Rafi.
***
Naya sibuk mengerjakan tugas di kamar, sedang Nasya sekarang sudah pindah kamar ke sebelahnya. Kamar mereka telah dipisah dan disekat, tidak lagi bersama. Sang kakak memang sering terganggu dengan kegiatan Nasya yang seorang gamer, jadi dirasa berisik dan selalu menyalakan lampu di tengah malam karena bertanding. Meski papa dan mamanya sudah melarang, tetap saja dia masih hobi tanding online di dunia virtual.
Namun malam ini, dia tidak terganggu omelan Naya. Begitu juga kakaknya, bisa fokus menulis tugas kuliah.
Getar ponsel kembali mengganggu kantuk Naya yang hampir terlampiaskan di atas meja belajar. Lagi, dari si pria sok cuek di depan banyak orang tapi genit di chat pribadi.
Rembulan tampak suram, apa ada seorang wanita yang tengah tidak bahagia? Gelisah? Atau merindukan seseorang?
Isi pesan itu membuat Naya tersenyum, tapi segera dia cemberut lagi mengingat sikap dingin Reval tadi siang di depan orang banyak.
"Dia malu kali, ya, kalau ketauan dekat sama mahasiswinya kalau depan orang-orang?" tanya Naya pada diri sendiri.
Hellooo, Philein KW. Maaf ... rembulan lagi banyak tugas. Dan di sini rembulan mulus, ya.
Balas Naya dengan penekanan.
Apa itu rembulan mulus?
Balasan dari Reval sangat cepat.
Rembulan itu kan aslinya penuh lubang dan terjal, nggak semulus kelihatan dari Bumi *emot kesal*
"Hahahaha!" lagi, Reval tertawa keras, beruntung dia sedang berada di kamar.
Jadi ... kita tengah memandang rembulan yang sama?
Reval kembali mengirim pesan.
Naya garuk-garuk tidak gatal, "Tuh, kan? Dia bikin aku ge-er. Duh, masa harus kasih lihat Papa chat-chat dia?"
Naya segera naik ke ranjang, menatap layar ponsel yang tertera seseorang tengah mengetik. Namun, tak kunjung juga ada pesan masuk.
Dan memang benar, Reval mengetik sebuah pesan. Namun, dia urungkan. Batal dikirim.
"Kenapa harus jadikan dia pelampiasan kerinduan ini? Bagaimana jika aku benar-benar suka sama anak ini? Namun, petaka kembali menerpa. Ditolak karena perbedaan usia." Reval mematikan ponsel dan menyandarkan tubuh di ranjang sambil menerawang jauh. Lalu kembali mengambil ponsel dan membuka halaman Facebook.
Duhai cinta ... kenapa selalu menjadi ujian terbesar dalam hidup?
Naya membaca status Philein. Kembali dia memberi komentar.
Karena manusianya yang banyak keinginan, kata Papa mah *emot ketawa sambil nangis*
Bersambung
Login untuk melihat komentar!