Part 1

"Kenapa kau tidak pernah menyadari bahwa aku mencintaimu? Semua pengorbananku, perlakuanku, tidakkah sedikit pun membuatmu melihat cinta itu ... di sini?" Pria itu menunjuk dada sebelah kiri.

Sementara sang gadis menatap getir, dia tidak pernah menyangka sahabatnya itu telah lama jatuh cinta padanya. Sementara, dua hari lagi ... seorang lelaki lain akan menikahi gadis tersebut.

"Maafkan aku, sungguh aku tidak pernah tahu semua itu. Karena selama ini kau sudah kuanggap seperti kakakku sendiri." Isakan gadis itu terdengar jelas.

"Bullshit!" Sang lelaki membalikkan badan, berniat menjauh dari kehidupan baru sang pujaan hati.

"Aldi!" Gadis itu berteriak menatap kepergian sang sahabat dalam derasnya hujan. Tubuhnya semakin tak terlihat karena pekatnya malam.

Kemudian dia berlari, berusaha mengejar sahabat yang selalu menemani hari-hari gadis itu. Lalu memeluk punggungnya dalam deras hujan. Menghadirkan getaran panas yang tak seharusnya.

"Malam ini ...," bisiknya kedinginan.

Lelaki itu membalikkan badan, lalu menatap dalam manik mata si gadis pujaan.

"Aku tidak mungkin membatalkan pernikahan, karena sudah ada campur tangan Ayah dan Ibu. Tidak mungkin aku menghancurkan mereka," lanjut sang gadis menatap pria yang terlihat kecewa tapi sama-sama tak berdaya.

Tangan bersih nan basah itu mengelus dada bidang sahabatnya, lalu mengecup bagian di mana hati berada dengan isakan yang tersamarkan air hujan.

"Miliki aku, malam ini saja," bisiknya lembut.

***

"Naya! Nasya! Bangun!" Teriakan sang ibu membahana setiap pagi. Membangunkan dua gadis di rumah sederhana yang selalu saja kesiangan.

"Mau jadi apa kalian ini! Perempuan tapi selalu bangun kesiangan." Omel wanita berambut hitam yang ikal di bagian ujungnya sambil membuka tirai-tirai kamar.

"Papa sudah bangun, Ma?" tanya gadis bernama Naya mencoba mengalihkan bahasan.

"Papa sudah di masjid. Cepat bangun sebelum papa kalian pulang!" Wanita yang masih terlihat cantik itu membuka selimut Naya, lalu Nasya. Dia tampak seperti kakak bagi mereka, karena penampilannya yang begitu awet muda.

Dengan malas Naya dan Nasya beranjak dari tempat tidur, menuju kamar mandi, lalu melaksanakan salat Shubuh. Setelah selesai, keduanya keluar kamar dan bersiap dengan aktifitas pagi mereka.

Naya yang mengenakan hijab biru, bertugas menyapu halaman, sedang Nasya menyapu lantai. Sementara ibu mereka memasak sarapan di dapur. Tidak ada asisten rumah tangga di rumah tersebut karena mereka ingin kedua putrinya terbiasa dengan kemandirian.

Jam enam tepat, sang Ayah pulang dari masjid, mereka duduk berempat di meja makan dan menunggu hidangan datang.

"Selalu menggugah selera," puji papa dengan tatapan penuh cinta pada sang istri.

"Eheeem," goda Naya sambil cekikikan.

"Kaya baru lihat aja." Mama mendelik dengan manis.

"Enak tidak enak, makanan yang dihidangkan seorang istri harus dipuji. Sebagai bentuk penghargaan," ujar Papa dengan senyuman.

"Nasya jadi pengin punya suami kaya Papa deh, hehe ...," celoteh si bungsu dilanjutkan dengan meneguk air putih sebelum makan, supaya tidak seret.

Keempatnya menikmati sarapan dengan suka cita. Nasi goreng buatan Mama selalu paling nikmat dan selalu dibuat dengan penuh cinta. Kala ritual sarapan tersebut berakhir, semua pergi untuk tugas rutin mereka.

Papa, namanya adalah Rafi Adrian. Seorang PNS di tingkat kotamadya. Orangnya sangat sederhana dan santun. Setiap hari berangkat kerja dengan mobil karena mengantar kedua putrinya ke kampus. Namun, , jika sendirian, dia lebih sering menggunakan motor.

Mama, namanya Agita Sanjaya. Wanita modern yang menyukai bunga. Hingga hari-harinya dia habiskan dengan merawat bunga di halaman. Sempat berkeinginan memiliki sebuah toko yang menjual aneka bunga, tapi dia urungkan karena merasa harus fokus pada kedua buah hatinya. Sekarang, hanya merawat bunga-bunga di halaman untuk dinikmati setiap saat. Selalu di letakkan dalam pot kaca di setiap kamar anak-anaknya, lalu diganti jika mulai layu.

Lalu si sulung Naya, nama lengkapnya Naya Vita Adrian. Hobinya membaca novel hingga berjam-jam. Kuliah di jurusan sastra Indonesia dan sudah berada di semester empat. Jika tidak ada kegiatan lain, dia akan menghabiskan waktu dengan membaca novel romance favoritnya. Salah satu buku yang sering dia baca adalah tentang cinta seorang sahabat yang berakhir dengan perpisahan pasca malam pertama di tengah hujan. Ditulis oleh seorang penulis misterius yang selalu menolak meet and greet atau promosi, meski bukunya selalu menjadi best seller.

Cinta yang Terlarang, karya Philein.

Naya akan membawanya ke mana saja dia pergi, dengan tujuan ketika merasa bosan dia akan membaca buku itu.

Sedangkan Nasya si bungsu adalah pecinta game. Hobinya mengalahkan gamer lain di malam hari. Bertarung game secara internasional di dunia virtual. Dia memang sedikit tomboi, meski sang Mama memaksanya berpakaian feminim jika kuliah.

***

"Telat lagi," tembak gadis bercelana jeans robek saat Naya baru saja tiba di taman kampus.

"Bukunya ketinggalan," jawab Naya, seraya membetulkan posisi tas dari belakang ke depan. Memasukkan buku tebal itu ke dalam tas.

"Yaelah, sudah kayak apa aja buku itu dibawa kemana-mana!" Protes teman Naya dengan kesal.

"Ih, lupa, ya? Ini, kan, buku keramat, hehe .... Ada tandatangan si misterius Philein." Gadis berlesung pipi itu tersenyum dan menambah nuansa manis di wajahnya.

"Philein! Philein! Philein mulu! Bosen!"

"Daripada ngarepin pacaran sama cowok begundal kayak si Rexy. Cocok sih ... kamu juga kaya preman, ya, Nes!" teriak Naya sambil lari meninggalkan Nesa yang sudah jelas kaget dan pura-pura marah.

Nesa mengejar Naya di koridor kampus dan terus mengancam akan membakar buku kesayangan sahabatnya itu.

Keduanya terus saling ejek seperti anak SMA atau bahkan SMP. Tak peduli dengan gelar kesiswaan mereka yang telah bertambah jadi maha.

"Sumpah, ngatain lagi gue suka Rexy ... buku Philein lo bakal gue bakar!" Amuk Nesa sambil terus mengejar Naya yang kadang bersembunyi di belakang mahasiswa lain yang sedang berdiri.

Hingga seseorang keluar dari ruang perpustakaan dan tanpa sengaja kaki Naya tersangkut di kaki panjang yang terhulur dari balik pintu tersebut.

Naya terjatuh hingga tasnya terlempar.

"Nay! Lo nggak papa?" Nesa segera mengangkat bahu Naya yang mengaduh sambil memegang hidungnya.

"Ini bukan play group, kenapa lari-lari seperti anak kecil?" tanya suara berat pemilik kaki yang membuat Naya tersungkur.

"Ngomelnya belakangan aja, dong, Pak. Hidung Naya berdarah." Nesa segera mengeluarkan tisu dan memberikannya pada Naya yang masih memegang hidungnya, sedang darah sudah membasahi lengan gadis itu.

"Bawa ke klinik!" Pria itu langsung berdiri.

Tapi sial, kaki Naya juga terkilir. Terpaksa Nesa mengangkat tubuh sahabatnya meski kesusahan. Mahasiswa lain hanya menonton dan salah satunya membawakan tas yang terlempar.

"Bantuin gue, dong! Ah lo pada nggak peduli banget!" Omel Nesa pada penonton.

Pria tadi berbalik, lalu mengambil tubuh Naya yang mungil dari Nesa. Mengangkat dan menggendongnya ke klinik kampus.

"Aih so sweet ... kaya di film-film, nih." Nesa malah mengabadikan adegan menggendong itu dengan smartphone.

Nesa kemudian merebut tas Naya dari tangan orang yang tengah membawanya, sejurus kemudian dia lari mengejar langkah pria tadi, menguntitnya dari belakang dengan penuh kecemasan.

"Kenapa dia, Prof?" tanya petugas klinik kampus.

"Kesandung kaki saya sampai tersungkur," jawab pria yang dipanggil Prof. Entah dosen bidang apa pria ini.

Sang Profesor menurunkan Naya ke ranjang dan selintas tatapan mata mereka bertemu.

Sejak tadi gadis itu memang diam saja, tidak hanya memegang hidungnya yang luka, tapi juga sesekali menatap pria yang menjadi orang pertama selain sang Ayah ... yang berani menggendong dirinya.

"Untung nggak patah tulang hidungmu, Mbak." Penjaga klinik itu mengoleskan salep untuk mengobati memar di hidung Naya. Beruntung darah juga sudah berhenti dan gadis itu hanya diminta rehat di ruang klinik beberapa jam saja.

"Buku aku mana, Nes?" tanyanya pelan.

"Ampun deh, Nay. Hidung lo cedera aja masih kepikiran sama buku si Philein." Nesa menaruh tas Naya di meja.

Gadis penggemar Philein itu hanya tersenyum manja. Lalu menoleh pada dosen yang sejak tadi menatapnya dalam diam.

"Terima kasih, Pak. Maaf merepotkan." Naya tersenyum manis lalu menunduk. Sorot mata pria itu terasa galak baginya.

"Lain kali jangan lari-lari di koridor kampus. Kamu bukan anak kecil." Pria itu kembali mengatakan kalimat yang mirip.

"Iya, Pak. Maaf." Naya ikut menundukkan kepalanya.

Dosen tadi lantas berpamitan pada penjaga klinik. Sesekali dia menoleh kepada Naya yang tengah memegang tas dan novel kesayangan. Cinta yang Terlarang, karya Philein.

"Dia mirip sekali denganmu," gumam pria itu. Seraya keluar dari ruang klinik dan entah pergi ke mana.

Bersambung

Ini adalah novel pertama saya yang dicetak tahun 2019. 

Atas request pembaca baru. Saya publikasikan di sini. 



Komentar

Login untuk melihat komentar!