Part 7
Reval menutup pintu mobil setelah Naya masuk lebih dulu di bangku penumpang depan, lalu dia berlari ke depan mobil untuk menuju pintu sebelahnya. Mata Naya menangkap sosok kharismatik itu dengan takjub, dan tak lama pria itu sudah ada di sebelahnya. Mengusap kemejanya yang sedikit basah karena terciprat air dari luar dan juga payung.

Tarikan nafas berat dihembuskan Reval saat sudah duduk dengan tenang, dia menatap derasnya hujan yang menghujam pada kaca mobilnya. 

Keduanya saling diam, saling menerka apa yang ada dalam perasaan masing-masing. Kenapa mereka bisa berada di tempat yang sama. Maksudnya berada di mobil yang sama, sementara sejak tadi tadi tak satupun kata keluar dari bibir keduanya. Hanya insting mereka yang bekerja satu sama lain. Menarik raga ... berjalan bersama hingga menghindari derasnya curahan hujan di dalam mobil merah ini.

Kini tatapan Reval beralih pada gadis di sebelahnya yang masih diam membisu. Sesekali mengusap kemeja yang dia pakai, pun sama karena kebasahan. 

"Aku antar pulang? Atau mau nunggu sampai mata kuliah berikutnya?" Akhirnya pria itu memiliki kuasa untuk membuka suara.

"Ga usah repot-repot, Prof. Saya bisa pulang sendiri. Atau nunggu di halte sih," jawab Naya dingin.

Reval tersenyum dan menyandarkan punggung di kursi mobil, kemudian menoleh lagi pada Naya yang tengah cemberut menatap lurus ke depan.

"Marah ya?" tanya Reval lagi.

"Dari tadi nuduh marah terus, memang apa hakku marah sama kamu?" teriak Naya dengan penekanan dan nada tinggi. Bahkan merubah sebutan prof dengan kamu. 

Pria empat puluh tahun dengan pesona tiga puluhan tahun itu terkekeh sambil menatap sang gdis, "Tuh, bener kan marah?" godanya lagi sambil kembali tertawa kecil.

Sementara Naya memutar bola mata dan masih memeluk erat tas ranselnya. 

"Memang nih, aku ini nyebelin, kadang-kadang sih. Mungkin di chat seru, pas di depan orang ... jaim, iya kan?" Reval kembali menoleh dan menatap Naya yang terkejut, dan kini mata mereka bertemu satu sama lain. Menyebabkan gemuruh tak lagi dari derasnya hujan yang menimpa kendaraan itu, melainkan dari hati kedua insan yang sama-sama baru menyadari sesuatu hal.

Sesuatu yang yang terjadi di hati mereka.

"Aku takut kamu malu, kalau ... aku bersikap seperti saat kita chat di depan orang-orang. Takut orang-orang nuduh kamu ada hubungan spesial denganku, terus kamu jadi malu karena pria itu ... sudah ... tua." Reval menggelengkan kepala sambil membenturkan kepala ke sandaran kursi.

Sementara Naya tertegun, menatap pria yang entah memiliki status hubungan apa dengannya. Bahkan dia tidak sadar ketika mobil mulai melaju meninggalkan halte, bergerak menuju tempat yang tak pernah mereka rencanakan. Hanya menyusuri jalan, tanpa satu kata pun keluar dari bibir mereka lagi.

"Jadi kita mau kemana?" Tanya Reval lagi.

"Pulang saja," jawab Naya menunjuk jalan ke arah rumahnya, berbelok ke arah kiri. Reval mengikuti arahan gadis itu, hingga mereka tiba di gerbang sebuah perumahan. Perlahan mobil berwarna merah itu melaju masuk ke dalam komplek setelah meminta izin pihak keamanan.

"Tunggu, stop disini saja," pinta Naya menoleh pada Reval yang segera meminggirkan kendaraan.

"Apa ... sebaiknya aku mengantarmu sampai rumah? Hmm ... ah ya, lupa. Mungkin kamu malu dengan pria-"

"Aku belum pernah bawa laki-laki ke rumah. Kecuali teman akrab dan itu rame-rame," potong Naya. 

Tak lama gawainya kembali bergetar, meski sebenarnya itu untuk ke sekian kali.

"Ya, ma. Iya, ga kok ga kehujanan." Naya berbicara dengan Agita dalam pandangan Reval yang penuh jutaan asa. 

Menatap wanita yang selalu memenuhi pikirannya akhir-akhir ini. Bahkan menyita waktu malamnya dengan membuat selalu terjaga dan sulit memejamkan mata.

"Serius ga papa ga diantar sampe rumah?" tanya sang pria masih merasa belum puas ingin selalu bersama. 

Naya hanya mengangguk, lalu keluar dari mobil karena kini hujan hanya menyisakan embun pada dedaunan. Menemani langkah kaki si gadis belia yang tersenyum penuh makna, merasakan jutaan kupu-kupu yang seolah menggelitik relung kalbu.

Langkahnya semakin cepat karena gelisah tak menentu, hingga tiba di pagar berwarna hitam ... dia berbalik memastikan pria itu telah pergi. Namun dia salah, sang gentleman masih menatapnya dari tempat yang sama. Dengan sorot mata mengiba agar dia dapat turut serta, atau mungkin hanya sebuah cara mendeskripsikan bahwa dia selalu setia, memastikan sang gadis baik-baik saja hingga tiba di tujuan.

Reval menganggukkan kepala sedikit, disertai isyarat mata yang dirapatkan sedikit lama. Seolah mempersilahkan sang pujaan masuk dan dia akan pergi kemudian. Menunjukkan bahwa dia pria bertanggung jawab yang tidak akan membiarkan gadisnya berjalan tanpa pengawasannya.

Dan itu sukses membuat Naya mengukirkan senyum indah berhiaskan malu, rona merah begitu nyata saat dia melambaikan tangan secara spontan. Lalu membuka pagar dan menutupnya dengan menyandarkan diri di besi hitam itu. Mengatur nafas yang terasa cepat, dada yang seperti naik turun bahkan seolah ada sesuatu yang ingin melonjak keluar dari dadanya.

Reval tersenyum saat pagar tertutup rapat, dia mulai melajukan mobil dengan memundurkannya. Lalu keluar komplek perumahan, pergi dengan sebongkah harapan dan cinta yang semakin bersemi paska disirami hujan deras tadi.

*** 

Agita gelisah ketika hujan tiba-tiba turun dengan deras. Sejak tadi mendung memang membumbung, seolah menyelimuti hati yang gundah gulana. Namun kegelisahannya lebih dia tujukan pada putri pertamanya yang kuliah di jam pagi dan biasanya kembali untuk menunggu jam berikutnya di sore hari.

Berulang kali dia menghubungi nomor Naya tapi tidak diangkat, bahkan dia hampir putus asa. Dan ketika keputusasaan itu hadir, dia segera menghubungi suaminya. 

"Mungkin sedang dengan teman-temannya, sudah di telepon?" tanya Rafi yang sedang berada di luar kota.

"Sudah, tapi tidak diangkat. Gimana ga cemas coba?"

"Mungkin di perpustakaan, nunggu hujan reda. Atau keasikan baca novel sampai ga tahu HPnya bunyi." Rafi berusaha tenang meski dia sendiri cemas. Karena biasanya Naya memang pulang dulu, atau memberi kabar jika menghabiskan waktu di kampus untuk menunggu jam berikutnya.

Dan setelah tiga puluh menit berlalu, barulah Naya menerima panggilan telepon darinya. Menyatakan baik-baik saja dan tidak kehujanan. Agita lega, dan kembali menyiapkan makan siang untuk putrinya.

Tak lama Naya membuka pintu rumah, dia tampak berseri namun juka kikuk sendiri. Lalu memeluk sang ibu yang menyambutnya dengan hangat. Kemudian menyiapkan teh panas karena udara sangat dingin.

"Senyum terus, hayoo ada apa?" Agita menatap Naya dengan penuh selidik.

"Ma, Naya udah boleh jatuh cinta belum?" tanya gadis itu malu-malu.

Agita sedikit terkejut, menarik nafas panjang dan tersenyum, "Cinta kan ga bisa dilarang, boleh atau belum. Semua hadir dengan alamiah. Hanya saja, ada waktu yang tepat dan tidaknya direalisasikan."

Naya mengangguk-anggukan kepala, kemudian menyeruput teh panas yang begitu menghangatkan tubuhnya. Sehangat tatapan pria yang tadi mengantarnya pulang.

"Siapa?" tanya Agita penasaran.

Naya tersipu, lalu menutup wajahnya sendiri. Benar kata Reval, ada rasa malu yang dirasakan ketika menyadari perbedaan usia mereka. Dan mungkin akan sulit diterima. Tapi lebih dari itu, cinta Naya masih sangat besar untuk penulis favoritnya, Philein.

"Tapi ... aku masih berharap bisa bertemu Philein dulu, setelah itu baru menentukan ... menerima siapa dalam kisah cinta ini." Naya merona di hadapan sang ibu untuk pertama kali.

Sementara Agita merasa cemas, kecintaan putrinya pada sosok Philein sudah diluar batas kewajaran. Hingga dia harus tahu seperti apa pria yang didambakan putrinya itu.

"Philein itu kan semacam artis, Nay. Tidak perlu dicintai sebesar itu. Bedakan dengan kehidupan nyatamu." Agita mencoba mengubah cara berfikir Naya.

Tentu tidak mudah, apalagi Philein telah menjadi nyata sejak ada sosial media. Setiap hari Naya akan membuka sosial media hanya demi pria misterius itu. Meski yang dia temui hanya deretan tulisan dan kata pujangga yang artinya bisa beda pada setiap pembaca.

"Masalahnya, dia dosen, ma. Ketuaan ga sih?" Naya jadi bingung sendiri.

Dan kembali Agita menarik nafas panjang menatap putrinya, "Cinta ga pandang usia, itu benar. Tapi jika masih ada pilihan yang usianya tidak terlalu jauh, ya carilah yang sepadan. Maksimal beda tujuh tahun." Sang mama mulai intens menjabarkan apa yang pantas dan tidak untuk putri sulungnya. Dan memberikan contoh perbedaan usia dia dan sang suami.

Karena perbedaan jarak usia juga akan menimbulkan ujian tambahan dari serangkaian perjalanan pernikahan. Jangan sampai setelah menikah, menyesal karena fisik tak lagi serupawan saat pertama kali jatuh cinta, kesehatan tak lagi seprima ketika mengejar pujaan, atau bahkan sisi sensitif lain ... yaitu nafkah batin yang dalam artian sebuah kepuasan dalam mengarungi syurga dunia. Dikhawatirkan beberapa tahun kemudian sang sami tak lagi mampu menampakkan keperkasaannya di ranah hasrat duniawi.

"Duh, Naya kok jadi malu mama bahas gituan hihi," kekeh Naya menutup wajahnya.

"Tapi itu benar, itu bukan vulgar. Kau harus mulai terbuka akan hal ini dengan mama." Agita tersenyum, "jika hanya sebatas obrolan mengarah pada syahwat tanpa tujuan ... ya jorok, tapi mama disini membahas apa yang harus kamu pertimbangkan dengan memilih pria yang rentan usianya terlalu jauh." Agita tersenyum meski Naya hanya manggut-manggut dengan rasa risih.

Dan itu benar, anak dan ibu harus saling ada keterbukaan. Harus menjadi teman mencurahkan isi hati, agar tidak ada orang lain yang merusak susunana ajaran yang telah dipasang sedari dini.

*** 

Naya mulai membaca beberapa buku Philein koleksi Naya yang ada di rak kamar anaknya. Beberapa puisi membuatnya sedikit dejavu. Tapi dia abaikan karena mungkin sudah banyak yang memakai kata-kata seperti ini, terutama para lelaki di masa mudanya.

Kembali dia membuka facebook dan mendapati Naya berkomentar di status Philein terbaru.

'Harapan, aku ingin terus menggenggammu. Menjadi bayangmu, agar kau tetap manjadi nyata buatku.'

Sementara Naya membalasnya dengan jawaban aneh.

'Kau adalah harapanku, Philein. Nyatalah ... aku ingin kamu. Bukan yang lain.'

Agita tersenyum bimbang membaca kegelisahan putrinya. Dia masih menganggap sang putri hanya terobsesi pada penulis misterius itu.

Namun di tempat lain, sang penulis misterius membaca komentar Naya dengan senyuman merekah. Dia menyadari gadis itu telah tersesat di hatinya.

"Jadi ... kau lebih mencintai Philein daripada Revaldi?" Tanya Reval sambil memandang foto Naya di profil facebook gadis itu.

"Haruskah aku memberitahunya bahwa aku adalah Philein? Pria yang amat dia dambakan? Tapi ... apa dia akan menerimaku? Atau tetap menolakku karena aku terlalu tua baginya?" 

Reval mengusap wajahnya dengan berat. Memejamkan mata, mencoba merasakan aura sosok wanita yang telah membuatnya memiliki harapan. Bahkan untuk pertama kali, dia lupa pada cinta pertamanya. 

Pada akhirnya, tiga manusia yang saling terikat hubungan satu sama lain itu hanya menerawang jauh. Sama-sama mencari jawaban dari perasaan mereka. 

Sang pujangga gelisah akan kisah cintanya. Kembali gagal atau harapan kian nyata? Sementara di sudut lain, sang bunga cemas dengan kegelisahan putrinya yang baru merasakan jatuh cinta. Kemudian sang pembawa harapan, gelisah untuk memilih dua cinta yang dia anggap berbeda, padahal keduanya ada dalam genggamannya.

Bersambung


Komentar

Login untuk melihat komentar!