"Maafkan aku, Dek. Aku khilaf."
Mas Yoga berlutut, menggenggam kedua tanganku erat. Memohon maaf atas tindakannya yang telah mengkhianatiku.
"Kamu jahat, Mas. Kamu tega! Kurang apa aku, Mas?" tanyaku lirih.
🌺🌺🌺
Aku tanpa sengaja memergokinya tengah bermesraan dengan rekan kerjanya di kantor. Jangan tanya seperti apa marahku. Aku berteriak dan menerjang langsung ke arah mereka. Menarik-narik rambut perempuan itu penuh emosi.
Namun, ternyata ada hal yang lebih menyakitkan daripada melihat keduanya bermesraan. Kenyataan bahwa mereka telah menikah siri diam-diam bagaikan petir yang menyambarku di siang bolong.
Detik itu juga Mas Yoga membawaku pulang dari kantornya. Tak ada kata yang terucap. Di dalam mobil, kami berdua sama-sama diam. Hanya isak tangisku yang terdengar begitu jelas.
🌺🌺🌺
Tangan Mas Yoga terulur hendak menghapus air mataku, tapi segera kutepis.
"Cukup! Jangan sentuh aku!"
"Dek, apa pun akan kulakukan asalkan kamu mau memaafkanku," mohonnya.
"Tidak ada yang bisa Mas lakukan untuk mengobati luka hatiku."
"Dek."
Mas Yoga hendak merengkuh tubuhku, tapi langsung kudorong tubuhnya menjauh.
"Katakan ... sudah berapa lama, Mas?" tanyaku dengan deraian air mata.
Mas Yoga hanya terdiam menunduk
"Jawab, Mas!" Suaraku meninggi.
"Dua bulan, Dek," jawabnya pelan. Hampir tak terdengar.
"Ya Allah, Gusti!"
Tangisku pecah. Air mataku benar-benar tak terbendung lagi. Pantas saja Mas Yoga sering sekali ada tugas keluar kota. Ternyata itu semua hanya alasan untuk menemui istri barunya.
"Maaf, Dek. Maaf."
Mas Yoga memeluk erat. Aku tak sanggup lagi untuk menampiknya. Hanya bisa menangis sesenggukan di dadanya.
"Kenapa Mas tidak berkata jujur padaku? Kalau memang Mas sudah tidak mencintaiku, aku rela pergi dari kehidupan Mas Yoga. Tapi bukan dengan cara seperti ini," lirihku di sela isakan.
Mas Yoga melepas pelukannya, memegang erat kedua bahuku.
"Jangan berkata seperti itu, Dek! Aku mencintaimu. Perasaanku tidak akan pernah berubah sampai kapan pun!"
Aku tertawa dalam tangis mendengar kata cinta dari mulutnya.
"Omong kosong! Kalau Mas cinta, tidak mungkin Mas akan tega menyakitiku seperti ini." Aku menyentak kedua tangannya dari bahu.
"Aku akan menceraikan dia demi kamu, Dek," ungkapnya tanpa merasa berdosa.
"Mas pikir semudah itu apa?! Dia juga perempuan Mas! Dia bukan barang yang bisa dibuang seeenaknya setelah Mas puas menikmati tubuhnya!" pekikku penuh emosi.
"Tapi Mas tidak mencintainya, Dek! Mas khilaf," bantahnya.
Aku tersenyum miris.
"Lalu kenapa Mas tetap menikahinya jika Mas tidak mencintainya?"
Mas Yoga terdiam.
"Ceritakan semuanya padaku, Mas!" pintaku penuh penekanan.
Aku ingin mengetahui awal hubungan keduanya. Meskipun, dengan itu hatiku akan semakin sakit dan terluka.
"Semuanya bermula sewaktu kamu sedang pulang ke kampung untuk menjenguk Ibu, Dek. Aku mendapatkan jatah lembur di kantor. Saat itu hanya ada aku dan Wita di kantor itu. Kami khilaf, Dek. Saat itu Mas sedang rindu berat sama kamu. Wita menggodaku. Hngga akhirnya, kami terjerumus melakukan dosa besar yang tak sepantasnya dilakukan."
Mas Yoga terus menjelaskan. Mataku terpejam menahan perih yang menyayat hati. Kenyataan mereka berzina sebelum menikah diam-diam ternyata semakin menambah luka di hati. Luka ini semakin lebar dan semakin dalam. Ibarat menabur garam di atas luka. Perih!
"Sejak kejadian itu, Wita terus mengejarku untuk meminta pertanggung jawaban, Dek. Dia memaksaku untuk menikahinya. Aku juga tak bisa menolak karena aku sadar ... aku telah mengambil mahkotanya. Meskipun, dia sendirilah yang pertama memulai," lirih Mas Yoga.
"Cukup, Mas! Jangan dilanjutkan!" Aku menutup kedua telingaku.
Hatiku terkoyak dan tercabik-cabik. Aku menangis pilu, menutupi wajahku yang basah oleh air mata dengan kedua tangan.
"Maafkan aku, Dek. Aku menyesal," lirihnya.
Mas Yoga hendak kembali meraihku ke dalam pelukannya, tapi langsung kudorong hingga membuatnya jatuh terduduk.
"Jangan menyentuhku! Aku jijik sama kamu, Mas," desisku.
"Dek."
Mas Yoga menatap tak percaya mendengar ucapanku.
Tak ada lagi rasa cinta dalam hatiku. Yang ada hanya perasaan benci dan jijik saat melihat wajahnya. Aku masih bisa terima jika ia melakukan kesalahan lain, tapi tidak dengan pengkhianatan dan zina. Aku bisa memaafkan, tapi tidak untuk kembali bersama.
Jika aku tetap memilih untuk hidup bersamanya, bayang-bayang Mas Yoga yang sedang bergumul dengan wanita lain akan selalu menghantui pikiran dan menyiksa batinku.
Aku tidak bisa! Aku bukan wanita yang kuat apalagi sempurna. Jika Mas Yoga berterus terang ingin menikah lagi, tentu aku tidak akan menghalanginya. Namun, dengan satu syarat. Mas Yoga harus melepasku!
Dengan segala kekurangan dan ego yang ada pada diri ini, aku benar-benar tidak bisa menerima wanita lain dalam pernikahan kami. Lebih baik, aku yang mundur!
"Ceraikan aku, Mas."
Mas Yoga terbelalak kaget mendengar ucapanku.
"Tidak!" tukasnya cepat. "Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah menceraikanmu! Aku mencintaimu, Dek. Hanya kamu! Wita itu hanya kesalahanku!"
Aku tersenyum miris. "Apa benar Mas Yoga begitu mencintaiku?" tanyaku di sela isakan.
"Tentu saja, Dek. Aku berani bersumpah! Hanya kamu satu-satunya wanita yang ada di hatiku," ucapnya sungguh-sungguh.
"Mas ingin aku bahagia, 'kan?"
Mas Yoga mengangguk pasti.
"Mas sungguh rela melakukan apa saja untuk mendapatkan maafku?"
"Apa saja," sahutnya cepat.
"Mas tidak ingin menyakiti dan melihatku menangis lagi, 'kan?"
Mas Yoga kembali mengangguk.
"Kalau begitu ... tolong lepaskan aku, Mas. Hanya dengan cara itulah aku bisa kembali bahagia," tegasku.
Mas Yoga terduduk lesu. Embun yang sedari tadi menggenang di pelupuk matanya, kini sudah jatuh membasahi pipi.
"Apa benar-benar tidak ada cara lain, Dek?" Mas Yoga memelas, menatapku penuh harap.
Aku berdiri dan menghapus air mata dari wajah.
"Tidak ada! Kalau memang Mas begitu mencintaiku, buktikan saja kata-kata Mas itu. Lepaskan aku dan biarkan aku bahagia dengan kesendirianku," tegasku, menatapnya buram karena terhalang air mata.
"Asal Mas tahu, dengan melihat wajah Mas Yoga hanya akan membuatku selalu teringat perbuatan hina kalian. Aku takut akan semakin membencimu. Aku tidak mau itu terjadi, Mas! Biarkan aku mengobati luka hati ini dengan caraku sendiri. Aku mohon ...." Air mataku kembali berlomba menetes di pipi.
Mas Yoga membisu. Hanya tetesann air mata yang mewakilinya berbicara.
"Maafkan aku, Mas. Aku beri waktu seminggu untuk Mas memikirkan semua ini. Tapi satu hal yang harus Mas ingat, jika Mas tetap tak mau menceraikanku, maka aku sendiri yang akan menggugat Mas Yoga."
Aku melangkah cepat meninggalkannya. Duduk bersandar di balik pintu kamar seraya menangis memeluk lutut.
Sungguh tak pernah menyangka jika pernikahanku dengan Mas Yoga akan berakhir karena sebuah pengkhianatan. Sudah tiga tahun kami menikah dan tak pernah ada masalah yang begitu berarti. Kami memang belum dikaruniai seorang anak, tapi justru Mas Yogalah yang selalu menguatkan aku untuk bersabar.
Lantas, kenapa sekarang Mas Yoga tega mengkhianatiku? Dengan alasan khilaf, ia berani melakukan dosa besar itu. Apa ia tidak teringat sedikit pun kepadaku ketika melakukannya bersama wanita lain?
Ya Allah ... maafkanlah hamba yang lemah ini. Maafkan hamba yang tak bisa dengan mudahnya memaafkan kesalahan suamiku.
★★★