Melepas Beban di Hati
"Coba ulangi lagi permintaanmu, Ziz!"
Aziz tertunduk, namun kedua tangannya masih menggosok kotoran di piring.
"Aziz ingin melamar Maryam," ulangnya.
Terdengar suara gagang sapu menghantam bangku, saat Aziz mengulangi permintaannya. Emak mulai menunjukan kekesalan, kali ini dia memberi peringatan pada anaknya.
"Keras kepala, kamu, Aziz! Sudah emak bilang berkali-kali, jangan berharap pada gadis itu! Kamu gak tau sakitnya hati emak waktu ibunya ... ah, sudahlah, kamu tak perlu tahu ceritanya."
Bi Salamah menurunkan gagang sapu, tangannya lemas saat teringat penghinaan Bi Sarah setahun yang lalu. Dan sakit hatinya atas penghinaan itu tak pernah diceritakan pada anaknya, "biarlah permasalahan itu jadi urusan orangtua saja," begitu pikirnya.
"Aziz berkeras hati, Mak. Bukan keras kepala," jawab Aziz.
"Dinasihati malah menjawab!" Emak sedikit membentak. "Cari kerjaan tetap dulu, baru mikir nikahin anak orang," lanjutnya sambil mengelap cairan yang mengalir di pipi, kemudian pergi ke kamar karena tak ingin anaknya melihat air mata itu.
Aziz menghembuskan nafas panjang, walau gagal mendapat restu, tapi dia berhasil mengutarakan keinginannya. Hilang satu beban yang selalu dipendam, hatinya menjadi lega.
Dihidupkannya keran air, Aziz meringis kesakitan menahan perih saat luka di tangannya tersiram kucuran air keran. Tapi itu tak sebanding dengan perih hatinya yang belum mendapat restu emak. Dengan menahan semua rasa sakit itu, dia melanjutkan membasuh piring-piring kotor dan merapikannya di rak piring.
Selalu ada hal yang membuat renggang suatu hubungan, begitu pula hubungan Bi Salamah dan Aziz. Jika biasanya mereka saling bersenda gurau, malam ini keduanya tak bertegur sapa satu sama lain.
Mereka bersikeras dengan keputusan masing-masing.
Aziz bersikeras ingin melamar Maryam, sedangkan emak bersikeras tak mengizinkan anaknya melamar gadis itu.
*
"Ada kabar, Maryam akan pulang dari rumah sakit sore ini," kata Mang Bubun.
Aziz yang tengah mencuci motor, menghentikan pekerjaannya, dia gembira saat mendengar kabar itu.
"Yang bener, Mang?" tanya Aziz seolah tak percaya.
"Iya, tadi rame di grup WA. Kamu gabung grup, gak?"
"Saya gak punya WA, Mang. Paling cuma Fesbuk," jawab Aziz.
Mendadak semangat Aziz membara, tenaganya bertambah kuat walau tadi pagi belum sempat sarapan. Rasanya tak sabar menantikan sore hari tiba.
Aziz melihat ada lima motor dan satu mobil masih terparkir, menunggu giliran dicuci. Dia berhenti sejenak dan menghampiri Mang Bubun, pemilik tempat cuci motor dan mobil itu tengah menyeruput segelas kopi hitam.
"Mang, benar Kang Jaki gak akan masuk kerja hari ini?" tanya Aziz.
"Iya, dia lagi ke Jawa, melamar pacarnya. Motor-motor dan mobil itu rezeki kamu hari ini. Sok, geura gawean (Cepat, segera kerjakan)," jawab Mang Bubun.
'Alhamdulillah," batin Aziz.
Dengan cekatan dia mencuci motor dan mobil itu satu persatu. Semakin banyak yang dicuci, semakin banyak pula upah yang akan diterima. Dengan uang itu, Aziz berencana membeli buah-buahan untuk menjenguk Maryam nanti sore.
Sekilas, bayangan wajah Maryam terlintas di benaknya. Gadis itu tersenyum manis saat berpapasan dengannya di pasar beberapa hari lalu. Aziz tak sabar menunggu sore hari tiba.
Dua jam kemudian, Aziz menyelesaikan pekerjaannya dan pulang dari tempat Mang Bubun dengan mengantongi upah seratus limpa pulih ribu rupiah.
Dia menaiki sepedanya melewati pematang sawah seperti biasa, hendak pulang ke rumah. Di jalan, dia berpapasan dengan Ratih.
"Dari mana?" tanya Aziz.
"Ini Ziz, aku habis dari ladang. Panen sayuran," jawab Ratih sambil menunjukkan gembolan sayur di punggungnya.
"Oh ... sini, naik. Kubonceng sampai rumah," ajak Aziz.
"Aku pengen main ke bengawan, Ziz. Nongkrong di warung Mang Karyo, makan gorengan sambil lihatin nelayan menjala ikan," kata Ratih.
"Ayo, sekalian aku mau bicara sama kamu. Tapi kita pulang dulu ke rumah, kamu juga kan harus nyimpan sayuran itu dulu," jawab Aziz.
Ratih pun duduk di boncengan. Berdua, mereka berjalan menyusuri jalanan yang belum diaspal, masih tanah.
Keringat mereka mengucur sehabis lelah bekerja, tertiup angin yang berhembus dari pepohonan itu.
Hari menjelang siang, matahari sudah mulai terik. Kampung Nusawiru masih perawan, pesawahan masih terhampar luas, pepohonan juga masih berdiri kokoh.
"Sudah sampai, nanti habis duhur aku jemput kamu lagi," kata Aziz di halaman rumah Ratih.
"Aku berangkat sendiri aja. Kita ketemu di sana. Gak enak juga kalau pergi berdua, orang bisa berpikiran lain saat melihat kita," ucap Ratih.
"Ah, kamu ini. Kok jadi canggung begitu, kita ini kan teman."
"Sudahlah, Ziz. Pokoknya nanti kita ketemu di warung Mang Karyo aja," jawab Ratih singkat, lalu masuk ke dapur menaruh sayurannya yang baru dipanen.
Aziz mengayuh sepedanya lagi, sepuluh kayuhan sudah sampai di rumahnya.
Bi Salamah tengah menjemur pakaian di halaman rumah. Dia baru sempat mencuci baju karena bangun kesiangan, efek tak bisa tidur semalam setelah berdebat dengan Aziz, dia terlalu cemas memikirkan masa depan anaknya.
Aziz melihat emaknya yang lesu memindahkan baju dari ember ke jemuran. Teringat semalam dia telah berani menjawab perkataan emaknya demi sebuah restu.
'Pasti emak tak tidur semalaman memikirkan permintaanku," batin Aziz.
Merasa bersalah telah membuat sedih emaknya, Aziz menghampiri dan mencium tangan emak yang basah kena air cucian.
"Sana makan, kamu belum makan apa-apa dari pagi. Kerja apa hari ini? Tadi, pagi buta kamu sudah berangkat," kata emak, menyambut kedatangan anaknya sepulang kerja.
Seberapa pun besarnya rasa kesal seorang ibu, dia tetap akan memberi perhatian pada anaknya. Begitu pula dengan Bi Salamah, hatinya tersentuh saat melihat Aziz.
"Menggantikan Kang Jaki nyuci motor dan mobil di tempat Mang Bubun. Hari ini banyak pelanggannya, Mak. Musim liburan seperti sekarang, banyak wisatawan yang mencuci mobil dan motornya di sana. Aziz dapat rezeki banyak, ini untuk Emak, untuk beli beras dan sayuran." Aziz menyerahkan uang itu pada Bi Salamah.
"Gak usah, simpan untukmu saja. Emak sudah punya beras dan sayuran. Tadi pagi Ratih ke sini, ngasih hasil panennya untuk kita. Anak itu rajin, meski pegawai kantoran tapi enggak gengsi pergi ke ladang. Sudah tiga kali dia bolak-balik ngangkut hasil panennya," jawab emak.
"Ya, dia memang rajin, Mak. Oh ya, kenapa akhir-akhir ini emak selalu menolak pemberianku?"
"Bapakmu masih mengirimi emak uang. Sudah, simpan untukmu, ditabung!"
Aziz pun menurut, menyimpan uang itu ke dalam saku celana, kemudian pamit untuk mandi.
Bi Salamah kembali menjemur baju, sambil berteriak pada Aziz yang tengah memasuki rumah, "Aziz ... daripada sama Maryam, emak lebih setuju kamu sama Ratih saja ...."
*
Aziz langsung berbaur dengan para pengunjung di warung Mang Karyo yang terletak di pesisir bengawan. Dia melihat sekeliling, mencari Ratih yang janji akan menunggu.
Tak butuh lama, pandangan Aziz bertemu dengan sosok yang dicarinya itu. Ratih melambaikan tangan, memberi sinyal bahwa dirinya berada di paling ujung.
"Ayo kita bicara di sana," ajak Aziz, menunjuk dua buah ayunan yang terpasang di pohon besar. Dia menghampiri Ratih yang tengah asyik menyantap bala-bala dengan cocolan sambal kecap.
"Di sini aja, Ziz. Biar ramai. Malu harus ngobrol berdua, kayak orang lagi pacaran aja," tolak Ratih.
"Semua orang tahu kita ini berteman. Mereka tidak akan berpikiran lain. Ayo!"
"Aziz, kita memang berteman. Tapi kita sudah dewasa, bukan anak kecil lagi. Aku malu. Di sini aja ya." Ratih bersikeras menolak.
"Kamu kenapa jadi canggung dekat denganku? Ayolah, aku mau bicara, tentang Maryam."
Ratih akhirnya mengalah. Dia mengikuti langkah Aziz menuju ayunan yang terbuat dari anyaman tali tambang tebal.
Ayunan itu ada dua, mereka duduk di ayunannya masing-masing, dan berayun seperti anak kecil.
"Ratih ... surat balasan dari Maryam itu membuatku kepikiran terus."
Aziz menahan laju ayunan dengan menapakan kaki ke tanah. Dia mengawali pembicaraan.
"Apa katanya?" respon Ratih.
"Dia memintaku untuk datang melamarnya sebelum Agus," jawab Aziz.
Raut wajah Ratih berubah. Dia tak seceria tadi. "Kupikir dia tak punya perasaan padamu, rupanya dugaanku salah," katanya bernada kecewa.
"Dia tak mau menerima lamaran Agus, tapi ibunya memaksa. Dia minta tolong padaku," jelas Aziz.
"Aku mengerti, kamu pasti kepikiran karena Bi Sarah tak akan menerimamu, kan? Dia memang begitu, tapi tak bisa disalahkan juga. Orangtua mana yang tidak ingin hidup anaknya terjamin? Memilihkan suami mapan dan kaya raya untuk anak gadisnya ...." Ratih melakukan hal yang sama dengan Aziz, menahan laju ayunan dengan kaki ditapakan ke tanah. "Sekarang, apa yang akan kamu lakukan?" lanjut Ratih.
"Aku berniat melamarnya, tapi emak tidak mengizinkan. Aku belum punya kerjaan tetap, Tih," jawab Aziz.
Ratih melihat ke arah bengawan, dia sudah menebak permasalahan Aziz. Memang tak mudah untuk mendapatkan Maryam, gadis cantik dari keluarga miskin itu, orangtuanya ingin merubah nasib dengan cara menikahkannya dengan lelaki kaya. Aziz tentu tak masuk dalam perhitungan Bi Sarah.
"Sainganmu berat, Ziz. Agus itu anak dokter. Selain itu, Agus sudah PNS, dia kerja di Dinas Kesehatan," kata Ratih.
"Aku tahu. Kemarin dia menyuruhku datang ke rumahnya untuk mengobati luka ini." Aziz menunjukkan luka yang masih dibalut perban.
"Tanganmu masih agak bengkak, apa gak sakit dibawa kerja?"
"Dipaksain, Tih. Kalau gak kerja, aku gak makan," jawab Aziz.
Ratih mengangguk, dia kagum pada Aziz yang pekerja keras dan tekun. "Tapi hati-hati nanti lukanya malah tambah parah. Oh ya, Maryam akan pulang hari ini," katanya.
Ponsel Ratih berdering, dia mengangkatnya.
"Iya, Bi? Alhamdulillah ... sudah di Parigi? Berarti sebentar lagi sampai." Dia langsung menutup teleponnya. "Ziz, Maryam sebentar lagi sampai, ayo kita menunggu di rumahnya. Tapi aku mau pulang dulu, ngambil sayur dan buah-buahan untuknya," lanjut Ratih.
"Aku beli ya, tiga kilo," kata Aziz.
"Gak usah, nanti kukasih gratis."
Mereka pulang dengan perasaannya masing-masing. Aziz merasa senang sebentar lagi bisa menemui wanita impiannya. Ratih gembira akan bertemu sahabatnya, sekaligus merasa khawatir.
"Ayo kubonceng," ajak Aziz.
"Gak mau, aku jalan kaki aja," jawab Ratih. Rumahnya dekat dengan bengawan, sehingga berjalan kaki saja tidak masalah.
Entah mengapa Ratih jadi merasa malu dan canggung jika harus berdekatan dengan Aziz.
Di belakang mereka, para nelayan mengikatkan perahunya di tepi bangawan setelah selesai menjala ikan.
Hari menjelang sore, semua orang beranjak pulang.
*
Di rumah berbilik anyaman bambu, sudah ramai orang berdesakan untuk menjenguk Maryam. Aziz dan Bi Salamah datang bersamaan dengan Ratih. Mereka membuka sandalnya dan duduk di teras rumah berlantai semen, menunggu giliran masuk untuk melihat kondisi Maryam.
Tak lama kemudian, beberapa orang keluar. Emak mengajak Aziz dan Ratih masuk, rupanya mereka yang terakhir menjenguk Maryam.
"Silakan masuk, kami sudah mau pulang," kata Mang Dahlan pada emak.
Di dalam, Aziz melihat Maryam duduk di kasur lantai dengan wajah pucat, bibirnya kering tak berwarna merah seperti biasanya. Maryam menatap kosong ke depan, dia terlihat lesu dan tak bergairah. Seperti memendam suatu keinginan, sekaligus sedih karena keinginan itu tak akan terwujud.
Aziz iba melihat kondisi Maryam, sekaligus dongkol karena Agus tengah merangkul Maryam, menahan tubuh gadis itu yang terduduk lemah. Aziz tak terima wanita impiannya tersentuh oleh lelaki lain apalagi dirangkul seperti itu, terlebih ada ustad Rahman di sana.
'Kenapa ustad hanya diam saja melihat Maryam dirangkul oleh Agus yang belum jadi suaminya. Biasanya ustad akan langsung menegur jika melihat hal seperti ini, tapi kali ini dia diam saja. Apakah tak berani menegur karena Agus orang kaya dan punya jabatan?' batin Aziz, penuh tanda tanya dan rasa kesal.
Aziz berusaha mengendalikan emosinya. Lalu, pergi keluar karena tak tahan melihat pemandangan itu.
Bi Sarah menerima buah-buahan pemberian Ratih dan Bi Salamah, mereka berbincang sebentar.
"Asmanya sudah sembuh, tapi dia mogok makan dan tak mau bicara," cerita Bi Sarah pada Ratih dan Bi Salamah.
"Kenapa bisa seperti itu, Bi?" tanya Ratih, dia khawatir Maryam mengalami depresi.
"Gak tahu, Ratih ... tolong hibur dia, ajak dia ngobrol," kata Bi Sarah, bibirnya gemetaran karena terlalu sedih.
Ratih mendekati Maryam, dia sedih melihat kondisi sahabatnya itu. Namun Maryam tak merespon sama sekali, tatapannya masih kosong.
Agus langsung melepaskan Maryam dari rangkulannya, saat harus bersalaman dengan Bi Salamah.
"Oh, ini calon Neng Maryam," kata Bi Salamah. Dibalas senyuman oleh lelaki itu.
"Insyaalloh," jawab Bi Sarah.
Pandangan Bi Salamah beralih kepada Maryam, hatinya ikut merasakan sakit yang diderita gadis itu.
"Neng Maryam—"
Bi Salamah memanggil Maryam dengan lembut, dia ingin memberikan semangat, namun seketika Maryam menghambur ke dalam pelukannya, berteriak diiringi isak tangis dan sesenggukan.
"Maaaaakk ...! Maryam ingin nikah dengan Aziz ...."
❤
Bersambung ...✍
Login untuk melihat komentar!