Cinta Terhalang Rupiah
Bi Salamah memeluk erat Maryam, dia ikut meneteskan air mata, mengerti bagaimana perasaan gadis itu. 

Maryam tersedu, dia sembunyi di balik dada Bi Salamah, tak henti mengulangi permintaan hatinya, "Mak ... nikahkan Maryam dengan Aziz ...."

Aziz yang memperhatikannya dari luar, menyiratkan kerinduan yang mendalam dan perasaan lega, karena akhirnya Maryam mengutarakan keinginannya di hadapan emak dan Bi Sarah, keinginan yang sama dengannya yaitu menikah. Dia berpikir Bi Sarah akan terketuk pintu hatinya dan langsung memberikan restu, namun ternyata dia harus menelan rasa kecewa lagi. Kali ini bahkan lebih parah.

Bi Sarah menarik tubuh anaknya dari pelukan Bi Salamah. Maryam tak mau lepas, pelukannya malah semakin erat.

"Maryam, kembali ke tempatmu!" kata Bi Sarah. Namun Maryam bergeming, dia merasa aman berlindung di pelukan Bi Salamah.

"Neng Maryam, dengarkan kata ibumu." Bi Salamah mengerti bahwa Bi Sarah tak setuju dengan keinginan Maryam, dia pun membujuk Maryam.

"Gak mau, Mak. Maryam gak mau dijodohkan. Maryam ingin nikah dengan Aziz," jawabnya.

Spontan, Aziz masuk ke rumah dan menghampiri Maryam. Sekilas dia melirik ke arah Agus, lelaki itu membungkuk sopan kepadanya tapi tatapan matanya menyiratkan kebencian pada Aziz. Aziz menyadari itu.

Dihampiri anaknya, Bi Salamah memejamkan mata dan menghela nafas. Dia melepaskan Maryam dari pelukannya dengan susah payah, karena gadis itu tak mau lepas. 

Ratih menuntun Maryam ke kamar. Kini, di tengah rumah tinggal ustad Rahman, Bi Sarah, Agus, Aziz dan emaknya.

"Saya tidak menjodohkan Maryam. Tapi memang sudah waktunya dia menikah, makanya saya coba buka kesempatan. Sudah ada tiga orang yang bermaksud melamar, dari ketiga orang itu hanya Nak Agus yang menunjukkan kesungguhannya," kata Bi Sarah.

"Yang dua lagi siapa?" tanya Bi Salamah. Dia ingin tahu arti 'menunjukkan kesungguhannya' yang dimaksud Bi Sarah.

"Restu dan Galuh. Mereka hanya pegawai toko kelontong di pasar. Kalau saya harus menikahkan Maryam dengan salah satu dari mereka, nasib kami akan sama saja," jawab Bi Sarah terus terang.

Bi Salamah membuang nafas yang sedari tadi ditahan saat mendengar jawaban itu. Dia sudah menduga, 'kesungguhan' yang dimaksud Bi Sarah adalah kekayaan dan jabatan. Sementara dia dan Aziz tak punya 'kesungguhan' itu. Tadinya, dia berpikir jika saja kesungguhan yang dimaksud adalah kebulatan tekad, maka dia akan menawarkan Aziz untuk menikahi Maryam.

"Rezeki itu bisa datang karena menikah. Bisa saja, setelah menikah, hidup yang tadinya serba kekurangan jadi serba berkecukupan," ucap Bi Salamah pada Bi Sarah, kemudian melihat ke arah ustad Rahman dan bertanya, "benar begitu, kan, Pak Ustad?" lanjutnya.

Ustad Rahman yang sedari tadi diam saja dan hanya memperhatikan, kini menanggapi, "iya betul, Bi. Tapi untuk memilih calon menantu, adalah hak setiap orangtua menetapkan kriterianya seperti apa," jawab ustad.

"Itulah yang saya lakukan, Ustad. Saya ingin memilihkan suami yang mapan untuk Maryam, supaya nanti hidupnya tak kekurangan seperti saya. Ayahnya Maryam orang gak punya, Maryam sudah hidup susah dari kecil. Saya ingin dia merasakan hidup enak," kata Bi Sarah, matanya melirik Agus.

"Tapi, bagaimana jika Maryam tak mencintai pilihanmu?" tanya Bi Salamah.

"Cinta bisa datang seiring waktu. Kalau sudah berumahtangga, mau tak mau dia akan mencintai suaminya," jawab Bi Sarah.

Bi Salamah diam, tak ingin berdebat. Dalam hatinya dia kesal sekali, kenapa Bi Sarah tak mendengarkan keinginan Maryam yang ingin menikah dengan Aziz.

Di sudut ruangan, Agus mengangkat panggilan telepon masuk. Dia berbicara dengan serius, tak lama kemudian pamit pulang. "Bu, saya ada panggilan kerja dari Dinas Kesehatan. Saya pamit pulang sekarang, ya," katanya. Lalu mengajak ustad Rahman, "ayo, Wa!" lanjutnya.

Aziz dan Bi Salamah baru tahu bahwa ternyata ustad Rahman adalah 'uwa'-nya Agus.

Aziz teringat waktu diminta memprint selembar surat oleh ustad Rahman yang juga seorang pegawai desa. Rupanya, surat itu bukanlah surat undangan, melainkan surat pindah Agus dari kota ke kampung Nusawiru.

Setelah Agus dan ustad Rahman pergi, Bi Salamah mulai bicara serius tentang keinginan Aziz.

"Tadi Maryam bilang ingin nikah dengan Aziz, bagaimana menurutmu?" 

Bi Sarah mengerutkan kening, dia terlihat malas dan ingin menghindari pembicaraan itu, karena sama sekali tak berminat menjadikan Aziz menantu.

"Derajat kita sama. Takut gak akan ada perubahan ekonomi di keluarga ini, yang ada nanti malah makin susah," jawab Bi Sarah. Bicaranya terdengar tidak sopan, tetapi memang seperti itulah wataknya, judes. Jika tadi menjaga bicaranya, itu karena ada Agus dan ustad Rahman di sana, dia merasa harus menjaga citra.

Aziz hendak membuka suara, namun dicegah emaknya, "sudah, ayo kita pulang saja," ucapnya pada Aziz.

"Sarah, kamu terlalu cepat menilai anakku! Kudoakan, semoga pilihanmu yang orang kaya raya itu, berakhlak baik seperti Aziz!" kata Bi Salamah pada Bi Sarah, sekaligus pamit pulang.

Ratih keluar kamar, dia menyimpan baju kotor Maryam ke ember di kamar mandi, lalu kembali dan bicara pada Bi Sarah, "Bi ... badan Maryam sudah kubersihkan , bajunya juga sudah kuganti. Kasihan Maryam, Bi ... dia nangis terus, katanya gak mau nikah sama Agus. Dia bilang, Agus jahat. Oh iya, tadi Ratih suapin Maryam buah-buahan, alhamdulillah dia sudah mau makan. Ratih pamit pulang ya, Bi," katanya.

Bi Sarah beranjak dari duduknya, dia menghampiri Maryam ke kamar. Sedangkan Ratih menyusul Aziz dan Bi Salamah, mereka pulang bersama.

Aziz baru menyadari bahwa selama perjalanan pulang, Ratih hanya diam saja. Dia terlihat lemas dan tak bersemangat. 

"Kamu kenapa, Tih? Sakit?" tanya Aziz.

Ratih diam tak menjawab, dia terus berjalan. Langkah kakinya pelan. Saat tiba di halaman rumahnya, Ratih langsung menghambur ke arah pintu tanpa pamit sama sekali. Sedetik kemudian, dia sudah berada di dalam rumahnya 

"Kenapa Ratih ya, Mak?" tanya Aziz heran.

"Biasa lah, urusan perempuan," jawab Bi Salamah yang mengetahui alasan Ratih bersikap seperti itu.

*

Sehabis solat isya, Aziz dan Bi Salamah menonton televisi di tengah rumah. Mereka duduk di lantai semen dengan beralaskan karpet. Siaran televisi terganggu karena sinyal terhalang hujan. Malam ini memang hujan turun cukup deras. 

Bi Salamah mematikan televisi dan mengambil ember kecil untuk menadah tetesan air hujan di dekat pintu masuk. Rumahnya bocor. Maklum, bangunan itu lebih tua dari usia penghuninya, peninggalan mertuanya dan tak pernah direnovasi karena terkendala biaya. 

"Beginiliah kira-kiranya kalau hidup susah. Mau tidur nyenyak pun gak tenang, takut kebanjiran saat hujan turun. Rumah ini bocor, sudah dibetulkan beberapa kali juga bocor lagi-bocor lagi. Coba kamu tengok kamar adikmu, dia menambal bilik yang bolong pakai lakban. Kamu harus banyak uang, Ziz! Kalau uangmu banyak, nanti bangun rumah yang bagus. Balaskan rasa sakit hati emak sama si Sarah itu!" katanya menggebu dengan dada yang engap-engapan menahan gejolak sakit hati.

"Istighfar, Mak. Aziz memang akan cari uang yang banyak, tapi bukan untuk balas dendam."

"Dari jaman dulu, dia selalu menghina keluarga kita, bukan kali ini saja dia bicara kurang ajar seperti itu! Sejak tahu perasaanmu pada anaknya, dia selalu memandang rendah emak!" 

Bi Salamah selesai mengelap lantai yang terkena cipratan hujan, kemudian duduk dekat Aziz sambil menyantap goreng singkong.

"Sabar, Mak. Besok Aziz akan tanya Ratih, mudah-mudahan ada lowongan di tempatnya bekerja," kata Aziz.

"Emak doakan semoga ada rezekimu. Oh ya, apa kamu gak sadar kenapa Ratih tadi bersikap seperti itu?" tanya Bi Salamah.

"Mungkin dia lelah, Mak," jawab Aziz.

Bi Salamah menggelengkan kepala, dia tertawa kecil mendengar jawaban polos anaknya. Maklum, Aziz memang tak pernah punya pacar. Dia tak begitu mengerti gerak-gerik perempuan.

"Ya sudah, sana ambilin emak teh hangat," titahnya.

Semenit kemudian, Aziz kembali membawa pesanan emaknya.

"Singkong ini enak rasanya, ini pemberian Ratih, lho! Dia perhatian sama emak, lihat daster yang emak pakai ini ... dibeliin Ratih juga, Ziz!"

"Dia memang baik, Mak."

"Bukan hanya baik, tapi juga mandiri. Dia dan ibunya hidup berkecukupan, tapi enggak manja. Malah, tetap bekerja keras."

"Kok, emak jadi ngomongin Ratih?"

"Emak lebih setuju kamu sama Ratih saja. Kalau sama Maryam, kejauhan," kata emak.

"Apa sih, Mak. Mana mau Ratih sama Aziz. Dia kan pekerja kantoran, mungkin juga dia sudah punya pacar."

Aziz pergi ke kamar untuk membawa print out naskah yang dikirimnya ke penerbit.

"Mak, coba baca tulisan Aziz. Ini kemarin sempat di kirim ke penerbit tapi ditolak. Kata bapak, dulu waktu emak masih muda juga suka menulis. Nah, menurut emak kira-kira tulisan Aziz ini kurangnya dimana?" Aziz menyodorkan naskah itu pada Bi Salamah.

Beberapa menit lamanya, Bi Salamah membaca tulisan anaknya. Dia tersenyum sendiri, "ceritamu bagus, Ziz. Emak jadi teringat masa muda. Harusnya penerbit itu menerima naskah ini," katanya.

"Iya, Mak. Kata Ratih, penerbit bukannya tak mau menerima naskahku. Tapi saat ini mereka tak banyak menerbitkan buku, karena orang-orang beralih membaca cerita lewat platform online. Ratih juga menyarankan agar Aziz menulis di 'platform online' saja, tapi Aziz juga gak tahu 'platform' itu apa. Emak tahu, gak?" tanya Aziz.

"Apaan itu? Gak tahu, emak tahunya plafon, hahaha ...." 

Mereka tertawa bersama. Suaranya berlomba dengan rintik deras di luar. Hangatnya kebersamaan di rumah sederhana berdinding anyaman bambu itu menyelimuti dinginnya udara malam yang basah terkena air hujan.

"Besok akan Aziz tanyakan pada Ratih," katanya.

"Ya sudah, sekarang kamu tidur sana. Emak juga mau tidur, besok harus tandur di sawah milik Juragan Bagas," titah Bi Salamah.

*

Di depan rumah Aziz, orang berlalu-lalang. Ada yang pergi ke ladang, sawah, dan pasar. Ada juga anak-anak berlarian seolah sedang berlomba tiba lebih dulu di rumah, mereka pulang mengaji subuh dari rumah ustad Rahman. 

Pukul delapan pagi di kampung Nusawiru matahari sudah terbit setengah tinggi, ibu-ibu keluar rumah untuk menjemur pakaian, termasuk Ratih. Aziz yang melihat Ratih dari jendela kamar rumahnya, berinisiatif memanggil gadis itu.

"Ratih!"

Ratih menoleh, mencari sumber suara namun tak menemukannya, karena Aziz langsung sembunyi setelah memanggil nama Ratih.

"Ratih!" Aziz memanggil lagi, iseng.

Ratih kembali menoleh, gamis dan jilbab bergonya melambai-lambai tersibak angin. Lagi-lagi, dia tak menemukan sumber suara. Dia kembali khusyuk menjemur baju.

Dari dalam kamarnya, Aziz tertawa, dia merasa senang berhasil mengerjai sahabatnya sendiri. Dengan membawa pulpen dan buku catatan, dia keluar rumah dan menghampiri Ratih. Berniat menanyakan beberapa hal yang tak dimengerti seputar 'platform menulis online'.

"Dor!" Aziz menepuk keras pundak Ratih dari belakang. Ratih kaget, dia hampir menjatuhkan baju yang hendak dijemurnya.

"Ya ampun, kamu rupanya yang dari tadi manggil-manggil namaku! Ish, jahil!" gerutu Ratih.

"Ayo, ajari aku nulis di platform online," pinta Aziz.

"Nanti sepulang aku kerja, ya. Kamu ke rumahku aja, biar sekalian kuajari pakai laptop, kalau pakai HP gak leluasa," jawabnya sambil menjemur baju.

"Oh ya, di CV Hadi Jaya ada lowongan, gak? Aku bisa melamar kerja, kan?" tanya Aziz.

"Kalau sekarang belum ada, usaha lagi sulit. Apalagi kemarin aja sempat gak produksi dua minggu-an. Harga kedelai lagi gak stabil, mahal," jawab Ratih.

CV Hadi Jaya adalah perusahaan yang bergerak di bidang pengolahan bahan baku kedelai menjadi makanan dan minuman kemasan, merupakan satu-satunya perusahaan yang berdiri di kampung Nusawiru. Ratih beruntung bisa kerja di sana sebagai admin, walaupun lulusan SMA, tapi dia sempat kursus komputer sehingga melek teknologi.

Ratih melihat raut kecewa di wajah sahabatnya, "sudah, gak usah kecil hati. Nanti kuajarkan caranya menulis di platform online. Banyak kok yang sukses menjadi penulis dan berpenghasilan layak dari sana. Kamu berbakat, Ziz ... kamu pasti bisa seperti mereka," ucap Ratih, membesarkan hati sahabatnya.

*

"Maryam gak mau, Bu! Jangan bawa Maryam ...," isaknya. Gadis itu menolak saat hendak dibawa pergi ke rumah sakit menaiki mobil Agus.

"Ayo, Nak. Kamu harus berobat, kondisimu kok jadi gini ... ibu khawatir," bujuk Bi Sarah sambil menangis. Dia sama sekali tak menyangka anak gadis satu-satunya mengalami depresi.

Agus yang sedari tadi menunggu di dalam mobil, akhirnya keluar melerai Maryam dan ibunya yang saling tarik-menarik.

"Bu, sudah. Tak apa kalau Maryam gak mau. Nanti biar psikiater saja yang datang ke rumah," kata Agus.

Mereka akhirnya kembali ke rumah, tak jadi berangkat. Semenjak pulang dari rumah sakit, Maryam sering bicara sendiri dan mengurung diri di kamarnya, sedangkan Bi Sarah tak henti menangis merenungi nasib. Sudah janda, hidup susah, masa iya sekarang harus punya anak depresi ... anak gadis yang tadinya cantik jelita, bagaimana mungkin dia akan menerima kenyataan anaknya menjadi gila.

Agus pergi ke rumah Pak Herman, seorang psikiater, teman ayahnya. Dia hendak menjemputnya untuk memeriksa Maryam.

"Maryam, kenapa kamu jadi begini, Nak? Ibu harus apa agar kamu sembuh?" Bi Sarah mengajak Maryam bicara setelah masuk ke rumah. 

"Maryam tak mau menikah dengan Agus. Maryam ingin nikah dengan Aziz, Bu ..." jawabnya dengan tersedu.

"Tapi Aziz itu orang susah, sama kayak kita," jawab Bi Sarah.

Maryam pergi ke kamar dan mengunci pintu. Bi Sarah dengan perasaan khawatir menggedor pintu kamar sekuat tenaga, bahkan mendobraknya, namun tenaganya tak mampu mendobrak pintu itu.

"Maryam, apa yang kamu lakukan di dalam? Buka pintunya!" ucap Bi Sarah histeris

Hening.

Tak ada jawaban.

"Maryaaaam!" 

Bi Sarah berteriak semakin histeris saat dilihatnya seutas tali menggantung dari langit-langit kamar Maryam.


Bersambung ...✍

Komentar

Login untuk melihat komentar!