Kabar Yang Mengganggu
Angin sepoi yang berasal dari lambaian pohon kelapa di kampung Nusawiru menemani perjalanan yang diiringi tanda tanya di benaknya. 'Mobil putih siapakah yang terparkir di halaman rumah Maryam tadi, apakah milik orang kaya yang datang melamar?' Begitulah isi pikiran Aziz.

Tak lama kemudian, Aziz tiba di rumah Mbok Yayu. Ia melihat Ratih sudah rapi dengan gamis warna cokelat, tengah mengunci pintu rumah dengan terburu-buru. 

Aziz tak jadi turun dari sepeda, karena rupanya Ratih akan segera pergi. Padahal, tadinya dia ingin duduk dan ngobrol dulu, menanyakan surat yang dititipkan untuk Maryam sehari yang lalu.

"Tih, ini bubur ayam. Dimakan, ya ...." Aziz menyodorkannya pada Ratih.

"Makasih, Ziz. Padahal gak usah repot beliin," jawab Ratih. 

"Bukan aku yang beli. Tadi ibumu nitip, katanya suruh diantar untukmu."

"Kalau begitu, makasih sudah mau anterin," ucap Ratih. Ia lantas menyimpan bubur itu ke dalam rumah dan kembali lagi dengan membawa tas. Mengunci pintu rumahnya lagi.

Aziz heran dengan sikap Ratih yang terburu-buru. Ini baru jam setengah delapan pagi, biasanya gadis itu baru selesai menjemur pakaian.

"Kok gak dimakan buburnya, mau kemana buru-buru begitu?" tanya Aziz.

Ratih hampir salah memakai sandal, yang kanan ia pakai di kiri. Beruntung, kesalahan itu segera disadarinya saat Aziz menegurnya yang terburu-buru. "Ke puskesmas, Ziz. Maryam pasti sudah dibawa ke sana. Asmanya kambuh sepulang dari pasar," jawab Ratih.

"Pantas saja tadi ramai orang mendatangi rumahnya. Ternyata, inilah alasannya," ucap Aziz.

Mendengar kabar itu, Aziz langsung mengayuh sepedanya ke rumah. Sebelum menyusul Ratih menjenguk Maryam di puskesmas, dia berniat memberi emaknya sejumlah uang dari upah mengangkut sayur tadi. Walaupun bukan tulang punggung keluarga, namun dia anak berbakti, mengerti kebutuhan orangtuanya.

"Sepi," kata Aziz bicara sendiri, setelah sampai di rumah yang ternyata tidak ada siapa-siapa di dalamnya. Begitu pun rumah tetangga. Mereka sudah berangkat menjenguk Maryam ke puskesmas. Sebuah tradisi yang masih dijaga, setiap kali ada yang sakit, secepatnya pergi menjenguk.

Aziz menyempatkan diri untuk mandi sebelum pergi. Setidaknya, berpenampilan bersih dan rapi cukup membuatnya percaya diri saat bertemu dengan orangtua Maryam nanti. 

*

Di dekat bandara Nusawiru, sebuah puskesmas baru saja dibangun dan sudah sebulan ini beroperasi. Di sanalah tempat Maryam dirawat. Dari dekat gerbang, Aziz melihat tetangga-tetangganya masuk ke dalam puskesmas untuk menjenguk Maryam. Mereka sudah lebih dulu sampai.

Aziz memarkirkan sepeda onthelnya di parkiran motor. Sepeda tua itu berjajar dengan motor-motor keluaran terbaru, sangat jelas perbedaan status ekonomi Aziz dengan pemilik motor-motor itu. Namun ia tak pernah minder sedikit pun.

"Ziz, masih pakai sepeda onthel? Kredit motor sekarang gampang, DP nya juga murah," kata Mang Uday, tukang parkir di sana.

"Ah, teu nanaon (gak apa-apa) Mang. Sepeda ini bersejarah, pernah dipakai antar-jemput Maryam waktu sekolah SMK dulu," jawab Aziz.

Ingatannya mengenang kebersamaan mereka saat masih sekolah. Dulu, mereka selalu bersama, tak ada sedikit pun rasa canggung. Setiap hari berboncengan pulang-pergi sekolah layaknya sahabat sejati yang tak bisa terpisahkan. Seiring waktu, benih-benih cinta mulai tumbuh di antara keduanya, orangtua Maryam yang menyadari perasaan kedua anak muda itu langsung memisahkan kedekatan mereka. "Kalau mau berteman, boleh. Tapi kalau ada perasaan macam-macam terhadap Maryam, lebih baik kamu pulang saja," kata Bi Sarah pada Aziz di suatu malam minggu, saat Aziz hendak mengajak Maryam ke pasar malam.

Hingga saat ini pun Aziz masih mendapatkan penolakan halus dari Bi Sarah. 

"Sok atuh geura ka jero, ulah ngahalangan nu rek parkir (cepat masuk ke dalam, jangan menghalangi orang yang mau parkir)," kata Mang Uday menyadarkan Aziz dari lamunannya.

Aziz terhenyak, ia masih berdiri di tengah-tengah parkiran. Suara klakson motor dari balik punggungnya memberi tanda ia harus segera menyingkir. Dia pun beranjak dari sana setelah meminta maaf, lalu dengan tergesa masuk ke ruangan Melati di dalam puskesmas.

Ruangan itu penuh, beberapa orang bahkan mengantri di koridor, duduk di kursi panjang menunggu giliran masuk. Termasuk emaknya ada di antara antrian itu.

"Mak," seru Aziz.

Wanita tua bernama Bi Salamah itu menoleh ke sumber suara. Dia terkejut melihat anaknya sudah berdiri di hadapan. 

"Bukannya kamu ngangkut sayur ke pasar?" tanya emaknya.

"Sudah pulang, Mak. Ngangkut punya Mbok Yayu saja, jadi cuma sebentar," jawab Aziz, lantas duduk di samping emaknya.

"Kamu ini kok malah ke sini, di sini perempuan semua. Cukup emak saja yang jenguk, kamu pulang lagi sana," bisik emaknya.

"Aziz pengen lihat kondisi Maryam, Mak."

"Nanti kalo ibunya Maryam lihat, ntar kamu diusir halus sama dia. Ayo, mending emak atau Bi Sarah yang nyuruh pulang?" 

"Gak apa-apa, Mak. Bi Sarah gak akan ngusir Aziz, masa orang mau jenguk disuruh pulang." 

"Gak apa-apa kalau kamu bawa duit banyak buat mereka, Ziz. Kamu ini kan cuma anak emak, yang gak punya harta benda. Nasibmu lahir di keluarga miskin, mau mendekati anak gadis orang saja selalu ditolak duluan."

Bi Salamah menimpali perkataan anaknya, ia merasa kesal karena Aziz tak mau menurut. Sebenarnya, hatinya merasa sakit saat mengucap kata-kata itu, ia khawatir akan menyakiti perasaan Aziz. Namun, ia terpaksa melakukan agar Aziz mengerti bahwa antara Maryam dan dirinya tidak akan terjadi hubungan istimewa, sebab hal yang telah disebutkannya tadi.

Aziz berubah sedih, ia mengangguk. Paham jika wanita yang dipanggilnya emak itu tak suka dengan Bi Sarah yang selalu memandang orang dari hartanya. Dia pun beranjak dari duduknya, hendak pulang menuruti permintaan emaknya.

Sebelum pergi, Aziz menyempatkan diri melihat Maryam dari kaca jendela. Gadis itu sedang menahan sesak dengan selang oksigen terpasang, dadanya naik turun kesulitan bernafas. Suasana di dalam ruangan menjadi panik, semua khawatir dengan kondisi Maryam. 

Perawat masuk untuk memeriksa, diiringi rombongan tetangga yang barusan mengantri di kursi panjang. Mereka memaksa masuk, terdorong oleh suara kepanikan di dalam.

Sementara itu, Ratih dan Bi Sarah keluar dengan tergesa. Aziz memutuskan untuk tak jadi pulang, dia ingin memastikan kondisi gadis pujaannya itu, namun dicegah oleh Ratih yang berpapasan dengannya di koridor.

"Ayo, ikut aku," ajak Ratih.

Mereka mengekor langkah Bi Sarah menuju ruang administrasi, dan menunggu di luar.

"Bagaimana Maryam, Tih?" tanya Aziz pada sahabatnya itu.

"Kritis," jawab Ratih singkat. "Maryam menitipkan surat balasan untukmu," lanjut Ratih berbisik.

"Beneran?" Aziz tak percaya pada Ratih, karena selama ini Maryam tak pernah mau membalas suratnya.

Ratih mengeluarkan surat itu dari tasnya, namun dengan cepat dimasukan kembali karena Bi Sarah sudah keluar dari ruang administrasi dan menghampiri mereka.

"Maryam harus dirujuk ke rumah sakit," katanya dengan sedih.

"Apa administrasinya sudah diurus, sebaiknya cepat kita sewa ambulans," jawab Ratih.

"Saya sudah urus di dalam, tapi untuk sewa ambulans ke rumah sakit dikenakan biaya lagi, uang kami sudah habis."

Bi Sarah lantas menoleh kepada Aziz, pemuda itu membungkuk hormat. "Berapa biaya sewanya, Bi?" Ia bertanya, siapa tahu uang yang dimilikinya bisa membantu.

Bi Sarah tak menjawab, ia malah menelepon seseorang. 

"Halo, Nak Agus ... Maryam harus dirujuk ke rumah sakit ..." kata Bi Sarah diiringi isak tangis. Ia berbicara dengan seorang pemuda di telepon.

Ratih mengajak Aziz mundur beberapa langkah agar tak mendengarkan pembicaraan di telepon itu, namun Aziz sudah terlanjur mendengar Bi Sarah menyebut nama Agus.

"Siapa Agus, Tih?" tanya Aziz.

"Dia yang akan datang melamar Maryam nanti, warga baru di kampung kita. Baru saja pindah tadi pagi, dia menempati rumah besar yang di sebelah rumah Maryam itu lho. Dia orang kaya, Ziz," jawab Ratih.

"Oh, pantas tadi aku lihat ramai orang di sebelah sana. Rupanya ada yang baru pindahan ..." sahut Aziz. Hatinya mendadak tak karuan saat mendengar kabar itu, terlebih Agus tinggal berdekatan dan akan melamar Maryam.

Setelah agak lama, Aziz dan Ratih pamit pulang pada Bi Sarah. Tak lupa mereka mendoakan kesembuhan Maryam. 

Bi Sarah menahan langkah Aziz. "Nak Aziz, biaya sewa ambulans dan masuk rumah sakit jika ditotal sebesar jutaan rupiah ..." ucapnya.

Hening sesaat di antara mereka. "Eum ..." gumam Aziz tak jelas, dia bingung harus menjawab apa, sekaligus malu karena sudah menawarkan bantuan padahal ia sendiri tak pegang uang banyak.

"Tak apa jika Nak Aziz tak punya uang, kami mengerti. Ada Nak Agus yang akan mengurus biayanya," jawab Bi Sarah dengan kata halus tapi mengandung sindiran pedas.

Aziz tertunduk malu, ia merasa 'kecil' di hadapan wanita yang ia harap jadi mertuanya itu. Tapi mau bagaimana lagi, Aziz tak bisa menghindari kenyataan bahwa dirinya memang tak punya banyak uang, tak pantas menjadi calon menantu Bi Sarah.

Ratih mengerti rasa malu sahabatnya, dia menengahi Bi Sarah. "Bi, kami pamit pulang sekarang. Kabari saya nanti setelah sampai di rumah sakit, ya," katanya.

Akhirnya, Ratih menyelamatkan Aziz dari rasa malu. Mereka berjalan ke parkiran.

"Aku naik sepeda. Mau ikut denganku, dibonceng di belakang?" ajak Aziz.

"Makasih, Ziz. Aku naik ojek saja. Nanti ke rumahku, ya. Semalam******ada email masuk untukmu, dari penerbit!" kata Ratih.

"Wah, dari penerbit, serius?" 

"Iya, Ziz!"

"Oke, nanti aku ke sana ...."

Mereka pun berpisah di parkiran.

*

Sesampai di rumah, Aziz membuka surat balasan dari Maryam yang diberikan Ratih padanya.

—Aziz, aku akan dilamar oleh lelaki bernama Agus. Ibuku pasti mengatur agar aku menerima lamaran itu karena Agus seorang PNS. Tapi sesungguhnya, aku tak mau! Keluarganya akan datang ke rumah seminggu lagi ... jika kamu mau menolongku, lamarlah aku sebelum Agus. (Dari; Maryam)—

Seperti ada yang menghujam jantungnya, Aziz tersentak hebat. Dia tak menyangka Maryam akan memintanya datang melamar. Hatinya senang sekaligus gelisah, bagaimana ia akan menghadapi orangtua Maryam, mengingat pekerjaannya saja masih tak menentu. Sementara lawannya adalah seorang PNS berpenghasilan besar.

Juga, bagaimana ia akan membujuk emak dan bapaknya agar mau melamarkan Maryam untuknya?



Bersambung ....✍

Komentar

Login untuk melihat komentar!