Halang Rintang
Aziz mencengkram kerah kemeja Agus, lalu mendorongnya dengan sangat keras, sehingga Aziz terlepas dari intimidasi Agus. Kedua pemuda yang sedang memperjuangkan cintanya itu kini terengah-engah, diburu emosi yang menyesakan dada.

"Jangan coba kau mengharapkan Maryam," ancam Agus.

"Bukan hakmu melarangku. Maryam dan aku saling mencintai sejak lama," jawab Aziz.

"Kau tak pantas untuk wanita secantik dia. Lelaki miskin sepertimu hanya akan membuatnya hidup susah!" Agus mengejek.

"Benarkah begitu menurutmu? Apakah Maryam akan bahagia hidup bergelimang harta dengan bajingan seperti kamu, bukankah itu akan membuatnya lebih menderita? Dengar, Agus! Roda kehidupan ini berputar. Sekarang aku miskin dan kamu kaya, tapi suatu hari nanti ... aku akan lebih kaya darimu! Luka di punggung telapak tanganku ini yang akan jadi saksinya!" Aziz membalas penghinaan Agus dengan begitu yakin, sambil menunjukan luka bekas tertabrak mobil itu.

Bulan di langit malam kembali meredup, sepertinya hujan akan turun. September memang musim hujan. Aziz membangunkan sepedanya yang tergeletak di tanah. Sebulir air menetes dari daun di pohon, menimpa rambutnya hingga terasa ke kulit kepala. Dingin, begitulah rasanya. Aziz menengadah, dahan dan dedaunan di atasnya bergoyang. 'Angin malam sekejam itu, mampu mengguncang dahan dan daun yang tadinya tenang,' batinnya.

Sedangkan Agus sudah meninggalkan Aziz sedari tadi, saat Aziz menyentuh sepedanya. Dia tak mengira pemuda sepolos Aziz bisa melawan.

'Pengecut,' ucap Aziz dalam hatinya saat melihat punggung Agus semakin jauh dari hadapannya.

*

Aziz membuka lakban penambal bilik kamarnya yang bolong. Seketika, angin segar menyeruak dari lubang itu diiringi hawa dingin nan basah dari hujan. Emaknya tak tahu ada tambalan itu di sana. Ketika malam lalu emak bercerita tentang adiknya yang menambal bilik pakai lakban, Aziz tertawa dalam hati, karena sebenarnya dialah yang mengajari adiknya melakukan itu.

Suasana seperti inilah yang disukai Aziz ketika menulis. Hening, sepi, diiringi angin malam dengan alunan gemerisik daun terkena angin, serta air hujan yang meluncur ke tanah. Dia duduk di meja kerjanya. Menyusun outline untuk memperbaiki alur cerita yang dirasa kurang sempurna. Cerita yang tadi sore diposting di aplikasi Ayo Menulis itu, mengisahkan tentang kisah cintanya sendiri, pemuda miskin yang tak berdaya memperjuangkan cinta. Aziz berniat untuk merubah karakter pemuda itu menjadi tangguh dan pantang menyerah. Untuk itu, dia merasa perlu merubah sedikit alur dan penokohannya.

Jam sepuluh malam, Bi Salamah mengetuk pintu kamar Aziz yang terbuka untuk memberi tanda kehadirannya di sana.

"Ziz, ada Mbok Yayu ke rumah. Temuin, gih," ucap Bi Salamah membuyarkan konsentrasi Aziz.

"Ada apa malam-malam datang kemari, Mak?" 

"Sudah, temui dulu. Sepertinya penting, sampai hujan deras begini maksain datang."

Aziz merapikan kertas di meja, diambilnya selembar dan dimasukan dalam amplop merah muda, dipegangnya sambil melangkah menuju ruang tengah untuk menemui Mbok Yayu.

Di sana, Mbok Yayu duduk di tempat Aziz dan emaknya biasa menonton TV, lantai semen beralaskan karpet plastik motif bunga abstrak. Wajahnya memperlihatkan rasa marah dan khawatir, sekaligus kebingungan karena tak tahu bagaimana caranya untuk mulai bercerita. Mbok Yayu merasa dirinya berada di posisi serba salah.

Aziz yang kini duduk di hadapan Mbok Yayu, menyapa dan menyalaminya.

"Ada apa, Mbok? Malam hujan begini datang kemari, sampai baju Mbok basah begitu. Apakah ada yang penting?" tanya Aziz.

"Sejak pulang kerja, Ratih mogok bicara. Setiap kali kutanya, dia gak mau jawab. Malah nangis. Aku kaget anakku kayak gitu, biasanya dia ceria. Nah, Aziz ... sepanjang sore tadi kan dia sama kamu, apa kamu berbuat sesuatu yang menyakiti hatinya?" Mbok Yayu bicara sambil menahan marah. Dia mencurigai Aziz telah melukai Ratih, ingin marah tapi merasa tak enak karena takut merusak hubungan baik yang selama ini telah terjalin.

Aziz kembali mengingat, barangkali dia telah salah bicara atau menyinggung Ratih, tapi seberapa kali pun dia coba mengingat, dia yakin tak ada yang salah dengan sikap maupun perkataannya pada gadis itu.

"Enggak, Mbok. Tadi kami malah ketawa-ketawa, Ratih mengajariku menulis di platform online dengan senang hati ... tanpa beban sama sekali. Kalau memang dia ada masalah denganku, pasti tadi dia gak akan mau bertemu denganku," jawab Aziz.

Bi Salamah datang membawa tiga gelas air hangat. Dia berdehem mendengar percakapan Aziz dan Mbok Yayu.

"Halaah ... itu mah biasa masalah perempuan. Kamu kayak gak pernah muda aja," kata Bi Salamah pada Mbok Yayu. "Cuma ada air hangat. Gak ada teh, kopi, ataupun gula. Diminum saja," lanjut Bi Salamah sambil meletakan segelas air hangat itu di depan Mbok Yayu.

"Tiap datang ke sini cuma disuguhi air putih," celetuk Mbok Yayu dengan nada bercanda.

"Ya makanya itu, jangan mau besanan sama aku, nanti anakmu minum air putih terus di rumah ini, hahaha ...," jawab Bi Salamah. Mereka berdua tertawa lepas, Aziz tersenyum memperhatikan

"Bener, Ziz, kamu gak tau kenapa Ratih nangis-nangis?" tanya Mbok Yayu pada Aziz.

"Nggak, Mbok. Mungkin dia ada masalah sama pacarnya," jawab Aziz.

"Kamu ini Yu, berlebihan sama anakmu. Ya wajar perempuan nangis. Dia itu sedang dilanda cemburu," kata Bi Salamah menimpali.

"Aku ini takut Ratih stress seperti Maryam. Aku gak mau anakku depresi, masa pulang kerja tiba-tiba nangis gak jelas, kan aneh." jawab Mbok Yayu.

"Panjang ceritanya, ayo biar aku ke rumahmu saja nemuin Ratih. Ini memang harus aku yang ngomong." Bi Salamah segera mengajak Mbok Yayu menemui Ratih. 

"Ada apa ini sebenarnya? tanya Mbok Yayu heran.

"Nanti di sana kau dengarkan saja aku ngomong sama dia."
 
Bi Salamah dan Mbok Yayu segera meninggalkan rumah, di luar hujan mulai reda, menyisakan gerimis. Aziz mengantar kedua ibu itu hingga ke ambang pintu, tak lupa dibukakannya payung untuk emaknya. Tak lama, mereka sudah menghilang dari pandangan Aziz.

Aziz membawa kembali amplop berisi surat itu ke kamar. Tadinya, dia berniat menitipkannya pada Mbok Yayu untuk Ratih. Namun urung karena malu dilihat emak. Bagaimana jadinya jika Bi Salamah tahu Aziz menitipkan surat untuk Ratih, saat Aziz berusaha meminang Maryam? Mungkin Bi Salamah akan mengira Aziz playboy.

Aziz memutuskan untuk tidur dan menunda tulisannya untuk malam ini, konsentrasinya terlanjur pecah gara-gara kedatangan Mbok Yayu. Diletakannya amplop merah muda bergambar hati itu di atas meja, dekat buku catatannya. Kini ia berbaring, terpikirkan sikap Ratih padanya yang selalu berubah murung setiap kali tahu sesuatu yang berkaitan dengan Maryam. 

'Ah ... Ratih, kamu ini ...." Aziz berbicara dalam hatinya saat terlintas bayangan gadis itu tertawa riang saat dibonceng olehnya naik sepeda.

Dia mengambil foto Ratih di bawah bantal, kemudian melihat wajah ayu itu di bawah cahaya lampu. Foto itu memang selalu disimpan di bawah bantalnya.

*

"Hahaha ...."

Bi Salamah dan Mbok Yayu tertawa mendengar penuturan Ratih. Sementara gadis yang tengah ditertawakan itu malah kesal sendiri.

"Ratih gak mau ngalah sama Maryam!" ucapnya dengan wajah cemberut. Matanya bengkak bekas menangis.

Bi Salamah merangkul Ratih di atas tempat tidur, menenangkannya yang tersedu-sedu. Selama ini, Bi Salamah selalu menjadi tempat curhat Ratih. Dia sudah tahu bagaimana perasaan gadis itu pada anaknya. Termasuk saat pulang dari rumah Maryam beberapa jam yang lalu, Ratih bercerita pada Bi Salamah tentang kecemburuannya mendengar Aziz berkesempatan melamar Maryam. Ratih bahkan sampai meminta Bi Salamah agar tak memberikan restu untuk mereka berdua.

Mbok Yayu selesai mengganti pakaiannya yang basah, dia kembali menghampiri Ratih di kamar.

"Haduh, anakku lagi kasmaran plus cemburu! Jadi itu yang membuatmu nangis bombay kayak anak kecil? Cengeng. Sudahlah, Tih ... kan Aziz menyukai Maryam. Kamu cari lelaki lain saja," kata Mbok Yayu, santai.

"Gak mau, Bu! Aku yakin kok, Aziz juga menyukaiku," bantah Ratih.

"Kalau Aziz suka sama kamu, dari dulu dia sudah datang melamarmu." Mbok Yayu menepuk paha anaknya.

"Ratih maunya sama Aziz ...." Ratih merengek.

"Kamu ngotot mau sama Aziz? Nanti kalau kamu nikah sama dia, kamu dikasih minum air putih terus sama ibu mertuamu, lho. Di rumahnya ga ada kopi, teh atau gula ... apalagi susu," balas Mbok Yayu bercanda, untuk ngisengin Ratih.

"Hahaha ...." 

Bi Salamah dan Mbok Yayu tertawa bersama. Mereka sudah bersahabat sejak menjadi tetangga satu sama lain, jauh sebelum Aziz dan Ratih lahir. Sehingga, sudah tau cara bercanda masing-masing. 

"Benar kata ibumu, Ratih. Aziz minder sama kamu, dia kan cuma kerja serabutan, kadang nulis juga gak menghasilkan ... hanya sekedar hobi. Sedangkan kamu ini wanita karir, punya penghasilan sendiri. Emak yakin, gak cuma Aziz yang minder sama kamu, tapi lelaki lain juga," ucap Bi Salamah pada Ratih.

"Apa Emak tetap akan merestui Aziz dan Maryam?" tanya Ratih.

Mbok Yayu tak setuju dengan pertanyaan Ratih, dia menegurnya. "Hus! Kamu ini gak sopan. Sudah lah, soal cinta gak usah dipikirin. Kamu fokus saja menata masa depanmu. Beberapa tahun lagi, kampung kita akan jadi kota. Akan banyak pendatang pindah kemari, persaingan sumber daya manusia semakin ketat. Jangan lembek gara-gara cinta, halah ... apaan atuh cinta mah hanya terasa indah diucapkan, tetapi pahit dirasakan," kata Mbok Yayu, masih dengan gayanya yang suka melucu. Walau hanya seorang pedagang sayur di pasar, tapi dia pintar dan selalu mengikuti perkembangan terkini di sekitarnya. Tak heran Ratih tumbuh menjadi gadis yang pintar, karena dididik oleh seorang ibu yang pintar juga.

Bi Salamah tak menganggap pernyataan Ratih sebagai hal yang tidak sopan. Dia memaklumi bahwa Ratih hanya sedang jatuh cinta, dan takut kehilangan dambaannya. Lagipula, Ratih sudah seperti anak sendiri baginya, sudah dia asuh sejak bayi.

"Ratih, cinta lelaki itu berbeda dengan wanita. Seandainya Aziz memilih untuk menikah dengan Maryam, bukan berarti dia tak mencintaimu—seandainya dia memang punya rasa terhadapmu," ucap Bi Salamah pada Ratih. Dia menyelimuti tubuh Ratih yang terbaring di kasur. "Sudah, kamu tidur. Jangan mikirin anak emak, dia aja belum tentu mikirin kamu, hahaha ...." Bi Salamah menidurkan Ratih dengan canda tawanya. Gadis itu terhibur, dia akhirnya lelap.

"Andai saja anak kita jodoh, dia akan beruntung punya ibu mertua seperti kamu," kata Mbok Yayu pada Bi Salamah, saat melihat emaknya Aziz itu begitu perhatian terhadap putrinya.

"Tapi aku ini kere ...," jawab Bi Salamah.

"Tenang ... sawah, ladang dan tanhku berhektar-hektar. Nanti kamu kecipratan, kok," kelakar Mbok Yayu.

"Hahaha ...." Mereka tertawa bersama. Begitulah kedekatan dua bersahabat itu.

*

Di pinggir perempatan jalan raya, ada konter pulsa. Aziz berada di sana, duduk di atas kursi plastik, tangannya memainkan ponselnya di atas etalase. 

Dia sedang mengecek grup Ayo Menulis di akun FB nya, banyak pemberitahuan masuk dari grup kepenulisan itu. Diantaranya adalah para pembaca yang meminta dia memposting keseluruhan bab ceritanya, mereka penasaran dengan kelanjutan bab satu yang semalam diposting Aziz di grup itu. Aziz pun menggunakan kesempatan ini untuk memperkenalkan akunnya di aplikasi Ayo Menulis, dia menyuruh pembaca agar melanjutkan baca di sana. Walaupun belum ada bab yang dikunci, tapi ini adalah awal yang baik untuk menjaring pembaca. Ratih telah menjelaskan tentang 'kunci bab' dan lainnya, juga bagaimana trik nya untuk menarik pembaca ke sana.

'Wah, pembacaku sampai lima puluh ribu orang. Jika aku berhasil membawa mereka ke akunku di aplikasi, maka penghasilanku lumayan. Awal yang bagus untuk karirku. Aku bisa secepatnya melamar Maryam,' batinnya.

[Gak ada, Thor. Aku gak nemu akunmu]

[Gak ada, Thor]

[Mana, Thor]

Dan banyak lagi pembaca yang mengirim inbox mempertanyakan akunnya di aplikasi.

Aziz pun heran, dia ingin segera mengeceknya sendiri di aplikasi yang terinstal di ponselnya itu.

"Mang, paket datanya sudah sukses belum?" tanya Aziz pada Mang Supri—penjaga konter.

"Sudah, Ziz."

Aziz membuka aplikas Ayo Menulis. Dan benar saja dia tak bisa melihat akunnya. Dia merasa kesal, padahal ini adalah momen yang tepat, tapi seseorang telah menghilangkan akunnya. Perbuatan siapa ini? 

Aziz pun pergi meninggalkan konter dengan perasaan dongkol. Dia mampir ke toko sembako untuk membeli terigu dan tepung tapioka, juga penyedap rasa. Ada kembalian tiga pulih ribu rupiah, sisa membeli paket data. Aziz mendapat upah mencuci karpet dan mengantarkan baju yang telah di-laundry, milik para wisatawan. Dia juga diberi uang tip oleh para wisatawan itu.

Aziz berencana akan menanyakan pada Ratih tentang kejanggalan akun miliknya. Kebetulan, di jalan dia berpapasan dengan Ratih yang akan berangkat kerja, tapi gadis itu tak menghiraukannya dan terus berjalan seolah tak mendengar Aziz memanggil namanya. Dia menghembus nafas dengan rasa kesal, menerima sikap acuh Ratih. Dikayuhnya kembali sepeda ontelnya menuju rumah Maryam.

Di halaman rumah Maryam terlihat berantakan dengan tumpukan potongan kayu, pasir, batu bata, dan semen. Bi Sarah sedang membereskan tumpukan itu. Aziz heran, dia merasa barang-barang itu tak ada di sini tadi malam.

"Bi, Aziz mau bertemu Maryam," ucapnya meminta izin.

Bi Sarah melihat keresek yang ditenteng Aziz. "Apa itu?" tanyanya.

"Ini terigu sama tepung tapioka. Aziz mau ngajak Maryam bikin cimol, jajanan kesukaannya waktu SMA," jawab Aziz.

Bi Sarah mendelik sinis kemudian kembali membereskan bahan bangunan itu, sambil nyerocos, "datang ke rumah calon mertua kok bawa begituan! Apa nanti anakku mau kau kasih makan terigu sama tepung tapioka?!" katanya penuh penekanan.


Bersambung ....

Komentar

Login untuk melihat komentar!