Pertemuan Tak Berjodoh
"Itu, di dapur. Ada dua karung," tunjuk Ratih.
Disambut anak perempuan Mbok Yayu yang tengah menyiram bunga di halaman rumahnya, Aziz mulai mengangkut dua karung berisi sayuran dari dapur, lalu meletakkannya di boncengan sepeda onthel.
"Hati-hati, Ziz. Berat," seru Ratih saat Aziz mulai pergi membonceng karung-karung itu.
*
Suasana pasar sangat ramai. Semua orang berdesakan. Di antara kerumunan itu ada seorang pria lusuh bernama Aziz. Dia berjalan sambil memanggul karung berisi sayuran di pundaknya, di antara ramainya orang berlalu-lalang . Kadang, ia merasakan beberapa orang menyikut badannya akibat padat kerumunan.
Tak hanya ramai orang berdesakan, suara berisik dari pembeli yang menawar harga juga membuat suasana pasar terasa makin sesak. Walaupun bukan sekali ini dia bekerja sebagai kuli angkut, namun hari ini rasanya ada yang beda.
Aziz merasakan dadanya berdebar. Jarak antara tempatnya saat ini berdiri, sudah cukup dekat dengan jongko Mbok Yayu—orang yang mempekerjakan Aziz. Namun langkah kaki Aziz tertahan, ia tersangkut sesuatu.
Sreekk ....
Terdengar suara kain robek persis di telinganya. Suara itu berasal dari kain yang tersangkut di karung yang tengah dipanggulnya. Beruntung, kerumunan orang mulai merenggang. Aziz menurunkan karungnya dan menoleh untuk memastikan siapa pemilik kain itu.
Seorang wanita anggun mengenakan gamis polos warna merah muda dan jilbab putih tulang yang tersangkut pada karung yang diangkut Aziz, terlihat tengah menahan jilbab yang hampir lepas dari paras cantiknya.
'Subhanalloh, betapa anggunnya,' batin Aziz saat melihat kembang desa impiannya.
Pandangan Aziz hanya tertuju pada gadis desa yang masih suci itu. Dialah Maryam.
Aziz melepaskan bagian kain yang tersangkut pada karung. Sepintas, pandangan mereka bertemu dalam waktu yang sangat singkat. Saat itulah keduanya merasakan debar di dada. Aziz menggebu, Maryam tertunduk malu.
Gadis itu tahu siapa pemuda lusuh di hadapannya, karena hampir setiap tiga hari sekali, dia mendapat kiriman surat dari lelaki yang mengaku sebagai penulis itu.
"Maaf," ucap Maryam pada Aziz.
Maaf karena jilbabnya menyangkut pada karung, sehingga membuat Aziz terlambat mengantar ke pemilik sayuran. Begitu maksud Maryam.
Aziz membalas dengan senyuman. Dia tak punya cukup keberanian berkata sepatah kata pun di hadapan Maryam. Dia hanya berani berkata banyak lewat tulisan dalam surat-suratnya.
Kedua insan yang saling menyimpan rasa suka itu, sengaja tak beranjak dari tempatnya untuk beberapa saat. Jika saja waktu bisa dihentikan, mereka ingin berdekatan lebih lama lagi. Begitulah isi pikiran mereka.
Sayang sekali, kesempatan itu harus berakhir secepatnya. Ibunya Maryam yang datang menjinjing satu keresek besar berisi sayuran, dengan sigap merangkul anak gadisnya itu lantas mengajaknya menjauh dari hadapan Aziz.
"Nak Aziz, tak pantas memandangi anak gadis orang seperti itu," ucapnya pada Aziz, sambil menyembunyikan wajah Maryam di balik punggungnya.
Aziz terkesiap. Dia beristighfar kalau-kalau memang khilaf telah memandangi Maryam secara berlebihan.
Bi Sarah—ibunya Maryam— tersenyum pada Aziz, namun matanya mendelik sinis. Sedetik kemudian, ia membalikkan badan dan meninggakan Aziz, berjalan keluar pasar.
Saat itulah Aziz tersadar, cintanya pada Maryam tak akan berjalan mulus. Bi Sarah tak menyukai Aziz. Restu orangtua akan menjadi tantangan besar baginya untuk mendapatkan gadis itu.
Aziz melanjutkan pekerjaannya. Dia tiba di jongko Mbok Yayu, dan meletakkan karung sayurnya.
"Wah, Mbok laris manis ya," ucapnya pada pemilik jongko, Mbok Yayu.
"Alhamdulillah, ada yang borong," jawab Mbok Yayu.
"Siapa?"
Aziz kepo, dia menebak Maryam lah yang memborong sayuran, tadi dia melihat kantong keresek Bi Sarah penuh.
"Ah, kepo kamu!" gurau Mbok Yayu.
Aziz menggaruk kepalanya yang tak gatal sama sekali. Walaupun tahu Mbok Yayu hanya bercanda, namun ia tetap merasa malu karena ingin tahu urusan orang lain.
"Maaf, Mbok," ucapnya.
"Itu lho, tadi Maryam sama ibunya yang borong. Katanya biar Maryam belajar masak, sebentar lagi mau diperistri orang kaya," jawab Mbok Yayu.
Aziz terhenyak. Kemudian mengelap peluh di kening dengan baju lusuhnya. Hatinya mendadak nelangsa, kalau saja dia tak punya rasa malu, mungkin sudah meneteskan air mata.
"Sudah dilamar, Mbok?" tanya Aziz terbata menahan sedih.
"Baru mau. Sudah, tak perlu dipikirkan. Berdoa saja semoga dia jadi jodohmu," ucap Mbok Yayu. Dia dan semua orang di kampung sudah tahu bagaimana besarnya cinta Aziz terhadap Maryam. "Nah, ini bayaranmu. Dan ini titip untuk Ratih."
Mbok Yayu memberikan uang sebesar lima puluh ribu rupiah sebagai upah mengangkut sayur, dan menitipkan sebungkus bubur ayam untuk Ratih, anaknya.
Dengan gontai, Aziz mengayuh sepeda onthelnya, pulang ke rumah. Pijakan kakinya pada pedal terasa lemah, sehingga sepeda melaju lambat. Dalam benaknya, ia sangat ingin beristrikan Maryam, namun dalam pikirannya hal itu tak mungkin terjadi karena sebentar lagi Maryam akan dipinang. Dia harus bersaing dengan orang kaya, sudah pasti Aziz akan kalah. Hatinya nelangsa.
Jalan ke rumah Aziz masih tanah, ada genangan air terciprat saat dilindas ban sepeda, mengotori celana panjangnya. Namun Aziz tak menyadari hal itu, hatinya terlalu nelangsa sehingga tak memikirkan hal lain.
Melewati rumah Maryam, Aziz melihat orang ramai di halaman rumah itu. Namun tak bisa memperhatikan dengan jelas. Dalam benaknya ia berpikir bahwa di sana sedang acara lamaran. Ingin rasanya ia berhenti untuk memastikan, namun bubur ayam yang tergantung di stang sepedanya akan menjadi dingin jika tak segera diantarkan pada Ratih. Akhirnya, ia memutuskan untuk pulang saja.
"Ziz, Maryam, Ziz ...."
"Aziz, Maryam sedang ...."
Di tengah perjalanan pulang, Aziz mendengar warga berteriak seperti itu. Semakin menambah penasarannya.
'Ada apakah sebenarnya?' Aziz bertanya dalam hati.
❤
Bersambung ....✍
Login untuk melihat komentar!